Rezim Jae dan Dewan Pengkhianat Rakyat

Ilustrasi Sidang Paripurna DPR. (Foto: Detik)
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



CATATAN KRITIS IDe#39

Institute for Democracy Education

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Jakarta, 13 Mei 2020

Penulis: Smith Alhadar 

Editor: Abdurrahman Syebubakar

Rakyat terheran-heran menyaksikan kelakuan para wakilnya di Senayan, kemarin, 12 Mei. Para wakil dengan senang hati dan gegap gempita mengesahkan Perppu No 1 Tahun 2020. Betapa tidak, Perppu ini melanggar Konstitusi dan merampas kekuasaan DPR.

Orang-orang pun saling bertanya: jimat apa yang dipakai Jae sehingga wakil rakyat di DPR berubah menjadi kancil pilek? Kecuali PKS, mereka selalu manut pada keinginan Jae. Bahkan yang biasanya galak pada pejabat negara kini nurut saja apa pun yang dikehendaki rezim.

Publik bertambah heran karena setahu mereka Jae tidak cerdas, tidak punya kharisma, dan merupakan presiden Indonesia paling lemah sejauh ini. Mereka juga tahu rezim Jae tidak kompeten dan korup. Sudah tahu begitu, mengapa DPR masih mempercayakan kekuasaan besar padanya, bahkan dengan mengebiri kekuasaannya sendiri?

Jae tidak menggunakan jimat. Diloloskannya Perppu itu merupakan kesepakatan tiga pihak untuk menyelamatkan kepentingan masing-masing: rezim, DPR, dan oligarki.

Memang persetujuan DPR atas Perppu itu merupakan kejadian aneh! Pantas kalau rakyat goyang-goyang kepala. Perppu itu memberi kekuasaan kepada rezim untuk menentukan besarnya APBN tanpa perlu persetujuan DPR. Gila, bagaimana rezim yang korup ini diberi kekuasaan mengelola APBN sendiri tanpa pengawasan rakyat? Jelas ini melabrak Konstitusi.

Bukan cuma itu! Rezim yang korup ini diberi hak oleh DPR melebarkan defisit APBN melebihi ambang 3% yang ditetapkan DPR sendiri dengan melanggar UU. Ini membahayakan negara karena defisit itu harus ditutupi dengan utang baru. Padahal, pada saat ini utang negara sudah menumpuk, yang membutuhkan dua generasi untuk melunasinya. Itu pun berdasarkan  asumsi ke depan ekonomi Indonesia akan tumbuh stabil secara signifikan.

Yang lebih menyedihkan rakyat, ketentuan-ketentuan dalam Perppu itu membuka pintu lebar-lebar bagi terjadinya KKN secara besar-besaran tanpa sanksi hukum. Kendati banyak jalan tersedia tanpa penggunaan Perppu itu, fraksi parpol-parpol pendukung rezim di DPR tidak melihat jalan lain untuk menyelamatkan rezim kecuali implementasi Perppu yang dibuat khusus untuk menanggulangi wabah Covid-19 dan dampaknya terhadap kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Tentu kejatuhan rezim akan berdampak besar terhadap parpol pendukung rezim, terutama PDIP di mana Jae adalah kadernya, dan kepentingan kaum oligark.

Dengan kata lain, parpol pendukung rezim tersandera. Apa boleh buat mereka harus mendukung rezim Jae. Kalau tidak, sama artinya dengan menghancurkan diri mereka sendiri seiring dengan kejatuhan rezim.

Selain DPR, tangan-tangan tak terlihat, yaitu kaum oligark, berada di balik disetujuinya Perppu ini. Mereka yang telah banyak mengeluarkan dana dalam pilpres tentu berkepentingan terhadap keberlangsungan hidup rezim ini. Rezim Jae periode kedua baru berjalan beberapa bulan. Karena itu,  modal mereka belum kembali. Lagi pula, naiknya penguasa baru belum tentu bisa mereka setir. Dus, dalam situasi sosial-ekonomi yang sulit ini mereka yang berkepentingan saling menyandera. Mereka bekerja bahu-membahu dalam kejahatan.

Konteks inilah juga yang bisa menjelaskan mengapa DPR yang dikendalikan para oligark meloloskan Perppu itu. Hanya PKS yang tidak setuju pengundangannya. Sebagaimana kita ketahui, sebagian besar anggota DPR mendapatkan kursi di Senayan berkat bantuan finansial dari para oligark, baik melalui parpol maupun langsung kepada individu bersangkutan.

Akibatnya, suara rakyat tak didengar. Kerja sama eksekutif, legislatif, dan oligarki dalam meloloskan Perppu ini memperlihatkan ketakutan mereka pada keadaan sosial dan ekonomi rakyat yang diproduksi wabah Covid-19. Dus, Perppu ini harus dilihat sebagai upaya menyelamatkan  rezim, parpol, dan kepentingan oligarki.

Bukan baru ini saja pengaruh kekuatan oligarki di eksekutif dan legislatif terlihat. Hampir semua kebijakan rezim, yang fasilitasi oleh produk UU yang dihasilkan DPR, berorientasi pada kepentingan oligarki. Yang paling menonjol dan ditentang rakyat, di antaranya, adalah proyek mercusuar pemindahan ibu kota negara, dan Omnibus Law.

Bagaimanapun, diloloskannya Perppu itu telah memperlebar luka di hati masyarakat. Berakumulasinya berbagai masalah bangsa yang diciptakan rezim, tak pelak semakin mengeringkan modal politiknya. Maka, wajar kalau ada yang memprediksi rezim ini akan terperosok ke dalam lubang yang digali sendiri, bersama DPR –Dewan Pengkhianat Rakyat. Bukan lagi Dewan Perwakilan Rakyat!

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *