Miliki Pengajar Beragama Hindu, Ngaji Kitab Kuning dengan Bahasa Bali

Pondok Pesantren Bali Bina Insani. Foto/Istimewa
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



HAJINEWS.ID-“Cai-nyai jani melajah kitab Ta”limul Muta’allim. Nunas paica Gusti Alloh pang enggal bisa. Alfatihah,” ujar Ketut Imaduddin Djamal ketika membuka kajian kitab kuning Ta’lim Muta’allim kepada santrinya.

Pendiri Pondok Pesatren (Ponpes) Bali Bina Insani itu kurang lebih mengatakan, “Kamu sekarang belajar kitab Ta’limul Muta’allim. Minta petunjuk Allah SWT supaya cepat bisa. Alfatihah”.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Di semua ponpes, Ta’limul Muta’allim menjadi semacam kajian wajib santri. Bedanya, di ponpes yang terletak di Desa Meliling, Kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan, Bali ini, mengaji kitab kuning dilakukan menggunakan bahasa Bali. Melalui penggunaan bahasa daerah, Djamal ingin menanamkan kesadaran kepada santrinya bahwa mereka saat ini hidup dan sedang menimba ilmu di Bali. “Maka harus tahu budaya Bali. jangan hidup di Bali, tapi tidak merasa sebagai orang Bali,” ujarnya.

Kini ada sekitar 440 santri yang mondok di ponpes yang berdiri pada 1996 itu. Mereka berasal dari berbagai daerah di Jawa Timur, Madura, Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan beberapa daerah di Bali. Prinsip toleransi mewarnai keseharian para santri.

Mereka diajarkan untuk selalu menyapa penduduk desa yang merupakan warga asli Bali dan beragama Hindu yang kebetulan melintas di depan ponpes menggunakan bahasa yang biasa diucapkan penduduk setempat ketika bertemu.

Saat beraktivitas di luar ponpes, santri tidak diperkenankan mengenakan peci untuk menghilangkan kesan eksklusif sehingga akan menjadi pembeda ketika berbaur dengan warga.

“Islam itu di dada dan di otak. Bukan di baju dan di peci,” ujar Djamal.

Praktik toleransi juga diterapkan di lembaga pendidikan formal yang ada di ponpes ini, yaitu madrasah tsanawiyah dan madrasah aliyah. Dari total 51 tenaga pendidik yang ada, sebanyak 21 orang diantaranya adalah guru beragama Hindu.

Djamal bahkan memberi kepercayaan kepada salah satu guru beragama Hindu untuk mengemban jabatan wakil kepala sekolah di Madrasah Tsanawiyah. “Tentu semuanya tetap dalam pengawasan, tidak saya lepas begitu saja. Mata pelajaran yang dibawakan (guru beragama Hindu) juga bukan yang bersentuhan dengan akidah,” tukas pengasuh Ponpes yang masih berdinas sebagai hakim di Pengadilan Tinggi Mataram ini.

Menurutnya, Islam adalah rahmatan lil ‘alamin yang menghilangkan perbedaan ideologis dan etnis, kecuali akidah. Dengan prinsip itu, dia bisa menerima tenaga pendidik dari agama lain untuk mengajar ilmu pengetahuan umum. Apalagi mereka adalah guru yang berasal dari sejumlah SMP dan SMA Negeri di Tabanan.

Meski berbeda agama, tak ada sedikitpun rasa canggung dalam proses belajar mengajar berlangsung. Sesuai muhkrimnya, santri dan santriwati tetap mencium tangan pengajarnya ketika bersalaman.

Kegiatan belajar mengajar di sekolah juga diliburkan ketika umat Hindu merayakan hari suci, seperti Galungan dan Kuningan. “Kita ingin menghormati mereka, sama seperti ketika telah menerima keberadaan kita di sini,” imbuh Djamal.

Pria kelahiran Singaraja ini berharap, dengan ajaran toleransi, kelak santrinya tidak memiliki sifat eksklusif dan berpandangan sempit ketika hidup di tengah masyarakat. “Saya ingin mereka menjadi orang yang toleran dan pluralis,” imbuhnya.

Toleransi yang dikembangkan telah menarik perhatian Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dan rombongan delegasi dari 60 negara dengan mengunjungi Ponpes Bali Bina Insani di sela penyelenggaraan Bali Democracy Forum, 2016 silam. Bahkan Duta Besar Arab Saudi untuk Indonesia Osamah bin Mohammed al Shuaibi saat itu berkomitmen memberikan bantuan senilai USD50.000 untuk pengembangan toleransi dan pluralisme di ponpes. (*)

(sumber: sindonews)

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *