Tak Berdamai dengan Covid-19, Kita Kehabisan Pasukan dan Amunisi?

Presiden Joko Widodo ketika menyatakan damai dengan Covid-19 (dok)
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh Masrifan Djamil*

Seorang warga masyarakat yang tidak berhasil shalat Jum’at di masjid karena masjid terkunci marah-marah mengatakan: “Daerah kita kan masih hijau, nggak apa-apa kalau jum’atan, shalat taraweh jamaah di masjid dan lain-lain kegiatan kumpul-kumpul, mengapa masjid dikunci, tapi mall mall dibuka….”. Kalimat ini menunjukkan suatu kebodohan atau gagal paham (tidak literasi) apa dan bagaimana COVID-19 menular.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Kalau kebijakan menyatakan “moda transportasi baik dalam negeri maupun luar negeri boleh beroperasi”, apakah bisa dijamin bahwa orang yang bercampur dalam moda transportasi itu sudah dipastikan NEGATIF SEMUA, tak ada positif (OTG) atau bahkan menderita COVID-19 tapi ringan sehingga bisa bepergian kemana-mana?

Kalau ada jamaah masjid mulai jum’atan di masjid lagi, dan menyatakan semua bersih (lihat ILC TV ONE ketua takmir masjid di Kab Tangerang bilang begitu). Bisakah melarang orang yang kebetulan lewat masjid Anda untuk ikut jum’atan? Apakah Anda sebagai takmir menjamin pemeriksaan deteksi COVID-19 secara lengkap dan pasti semua jamaah, SEHINGGA DIPASTIKAN YANG JUM’ATAN SEMUA NEGATIF COVID-19 DENGAN PASTI?

Kita harus taat kepada sabda Nabi Muhammad ﷺ “Tidak boleh membahayakan atau diperlakukan bahaya atas dirinya” (laa dhororo walaa dhiroro). Kalau sampai suatu kebijakan membahayakan rakyat, kelak kan ada hisab dan pengadilan akherat. Jangan berani-berani sedikiptpun untuk “melawan” perintah Allah dan Rasul-Nya.

Sudah terbukti satu pabrik positif lebih dari 50 orang buruh karena mereka berada dalam satu ruangan pabrik, dan tidak diketahui siapa diantara mereka yang positif COVID-19 ringan sehingga masih bisa bekerja atau OTG (orang tanpa gejala / CARRIER).

Sudah terbukti jamaah suatu pengajian akbar di Gowa, sepulangnya ke daerah masing-masing, diperiksa ternyata positif. Padahal tujuan pengajian baik, kumpul orang baik, banyak dzikir dan doa dipanjatkan.

Tetapi virus penyebab COVID-19 itu jelas punya sunnatullahnya sendiri, jadi apakah itu masjid yang suci atau Profesor dokter yang alim atau jamaah yang ikhlas karena Allah dan tak takut apapun kecuali Allah, ya kalau mengenai sunnatullah virus yang menular dengan caranya, kena lah dia/mereka.

Itu semua fakta, dan jelas TAQDIR ALLAH, IJIN ALLAH. Faktual, jejaring hebat Kemenkes sampai Puskesmas dibantu Posyandu, UKS (usaha kesehatan sekolah), PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga), didukung BABINSA, dll ternyata gagal memahamkan rakyat perihal cara penularan COVID-19 yang amat sangat menular dengan cepat dan diantaranya ada bahaya kematiannya. Kalah dengan medsos dan kurang konsistennya kebijakan pusat dan daerah.

KITA WAJIB MELINDUNGI RAKYAT

Meskipun semua teriak-teriak, “kecil persentasinya kematian akibat COVID-19”, tetapi kalau kejadian cepat dan masif, maka tersebarlah ketakutan. Apalagi setiap hari diumumkan. Nah pemimpin bisa memanfaatkan ketakutan ini untuk edukasi, agar taat protokol dll, PESAN PARA PAKAR, JANGAN SAMPAI MALAH DIUPAYAKAN “REKAYASA ANGKA” AGAR KEMATIAN TERUS TURUN, KESEMBUHAN MENINGKAT, TERUS DIUMUMKAN DENGAN TUJUAN AGAR RAKYAT TIDAK RESAH.

Dunia Internasional juga mengumumkan kematian karena COVID-19, tetapi diiringi dengan kebijakan ketat (bahkan keras) mencegah PENULARAN COVID-19, karena kalau satu kena, penyebarannya dahsyat (ingat kasus 1 di Depok kan, tahu2 Papua kena). Ketat menjaga jangan sampai dunia luar masuk NEGERI KITA. Kalau orang harus masuk diperlakukan sebagai OPD, dan  tidak pilih bulu. Di Shanghai, pendatang dari luar negeri ditracing, diperiksa, ditest, diwawancarai, ditelpon, dikontrol, dan diberi ransum selama diperlakukan untuk protokol deteksi COVID-19 (silakan dibaca https://www.disway.id/r/928/pilih-shanghai). Ini baru bener.

Kalau dibuka lebar-lebar bandara kita, pelabuhan kita, semua moda transportasi kita, BUKANKAH ITU MEMBAHAYAKAN RAKYAT? Pasti itu bertentangan dengan sabda Nabi ﷺ “Laa dhororo wa laa dhiroro. Dan semua perundang-undangan khususnya UUD45, UU Wabah dan UU yang terkait Karantina.

Mengapa? KARENA SUDAH TERBUKTI PENULARANNYA DAHSYAT DAN TIDAK DISADARI (DI ATAS). Kedua, KITA WAJIB MELINDUNGI RAKYAT YANG SEHAT, JANGAN SAMPAI TERTULAR COVID-19, APALAGI KELOMPOK RENTAN (BERPENYAKIT LAIN YANG TERBUKTI JIKA KENA COVID-19 FATAL) DAN LANSIA. Dan terbukti kalau sampai COVID-19 menyebar/menular, negara sekuat apapun bisa-bisa terpuruk, atau malah terancam SHUTDOWN.

Jadi silakan pilih, cepat teratasi wabah COVID-19, dengan bersakit-sakit dahulu, “puasa” ekonomi perdagangan dll sementara (ulangi SEMENTARA SAJA), lalu pulih dan let us begin again our new adventure. Atau mau sama2 jalan, pencegahan COVID-19 (tidak ketat aau sekedarnya) berjalan tetapi ekbis (juga) berjalan, maka ya penularan memanjang jauh, sejauh Bengawan Solo, puncaknya wabah akan tinggi sekali laksana Gunung Mount Everest, ada plateau-nya lebar kayak Gunung Batur, dan lama, maka penderitaan akibat wabah tak habis-habis.

Itu semua sunnatullah, silakan dilanggar sunnatullah itu….apa akibatnya bisa dikalkulasi. Riil.

Mengapa? Kebijakan yang satu (perang melawan COVID-19) melarang pertemuan, apalagi kerumunan, membatasi kontak, mobilitas (pergerakan orang), yang kedua (ekonomi tetap jaan) sebaliknya, perlu kontak, perjalanan atau pergerakan orang dan barang disertai orang, bahkan kerumunan (mall, resto, pertandingan sepak bola, pasar, hotel, dalam moda transportasi, dll).

Mau disatukan? Baik, silakan. Tapi piranti dan protokol kita tidaklah sehebat Shanghai. Apa saja piranti dan protokolnya?

Test harus dua metode sekaligus siap, RAPID TEST YANG BERMUTU dan TEST KONFIRMASI YANG HANDAL DAN CEPAT HASILNYA. Kedua, tracing dan tindak lanjutnya, pengawasan ketat. Ketiga, Isolasi. Jebol juga. Keempat, Edukasi agar masyarakat paham benar apa dan bagaimana virus menularnya, taat, disiplin. Kelima, kalau diisolasi dan tidak ada penghasilan, negara hadir, memberi SUPPORT, baik makanan, psikis, atmosfir (misal jangan ada stigmatisasi) kepada kelompok tersebut. Bisakah?

Mengatur (baca: mengendalikan) perdagangan bebas masker, sanitizer, apalagi RAPID TEST, kita faktanya gagal. RAPID TEST mana yang bermutu tinggi dan disahkan negara? Negara lain bisa mengendalikan, mengapa kita tidak bisa? (Prof. dr. Zainal Muttaqin, PhD, SpBS tadi pagi di Pengajian Pagi Bulan Romadlon, https://meet.google.com/zze-oeex-pbx)

TINGKAT-TINGKAT PENCEGAHAN PENYAKIT

Semua bicara “kita putus rantai penularan”, tetapi bagaimana duduk soalnya, ada baiknya kita ulang uraikan lagi, agar semakin paham, bagaimana status kita, atau jangan sampai gagal paham.

Pertama, Primary prevention. Pencegahan primer ialah upaya untuk mencegah terjadinya penyakit, baik penyakit menular maupun penyakit tidak menular. Dalam kasus COVID-19 ini maksudnya jika di Wuhan China ada COVID-19 yang dikabarkan menular, dan ternyata amat menular dengan cepat ke seluruh daratan China yang besar, maka tindakan preventif yang tepat adalah menutup semua pintu masuk Indonesia agar tidak ada orang masuk dari luar negeri apalagi dari Wuhan atau pernah ke Wuhan.

Atau tindakan praktis lain ialah melakukan upaya deteksi penderita/CARRIER Covid-19 kalau telah sampai ke Bandara atau pelabuhan di NKRI untuk WAJIB dikarantina sebelum boleh masuk Indonesia. Seperti kisah SHANGHAI di atas.

Pada fase ini, bagaimana daerah hijau jangan sampai jadi kuning, oranye atau merah, apa saja yang harus dikerjakan agar tetap hijau. Maka jangan malah bilang “Kita aman, maka ayo ke masjid taraweh, jum’atan, dll”. Protokol WHO atau PPI (Program Pencegahan Infeksi) di RS terakreditasi KARS (Komisi Akreditasi RS) atau Kedokteran Komunitas atau Primary Health Care semua sama.

Tetapi, tanpa menjelaskan letak penderita di peta terkecil (RT atau RW) kepada masyarakat, jangan harap mereka bisa berpartisipasi memenangkan peperangan (pencegahan primer atau sekunder ini).

Jika penyakit menular itu penularannya melalui DROPLETS yang mengandung virus yang berasal dari OTG dan penderita, maka bagaimana upayanya agar droplets tidak menyembur keluar dan sebaliknya orang sehat diproteksi dari droplets yang tersembur atau membentuk aerosol (aerosolisasi, berputar-putar di udara).

Kedua, Secondary Prevention (pencegahan sekunder, bolehlah dibilang level ke 2). Bila telah terjadi penularan, ada WNI positif, harus dijaga jangan sampai menular ke orang sekitarnya, secara ketat, sementara yang posotif diobati agar sembuh. Kita gagal juga, secara cepat, 34 Provinsi tertulari penduduknya, karena apa? Karena ada pergerakan manusia modern melalui pesawat terbang, kapal, KA dan bus atau mobil dan bertemunya mereka, kontak dekat. Ada kontak massal di berbagai wahana (pasar, mall, bioskop, masjid, gereja, loby hotel panggung hiburan, kenduri, pengajian, pesta pernikahan dll).

Sepanjang literasi masyarakat payah, secondary prevention pasti ya payah. Terbukti kan? Lha mengapa malah relaksasi, didahului kalimat “Mari kita damai dengan COVID-19” (padahal sebelumnya perang…. Dan kita yakin bisa menang. Apa jangan-jangan kita telah menyerah karena pasukan habis, amunisi habis dan musuh sudah telak menaklukkan kita?), lalu “Semua moda transportasi boleh berjalan”. Kata peguyon, “Ya ambyar….”, sampai-sampai menyanjung Didi Kempot alm, dia “weruh sedurunge winarah” (dia tahu sebelum diberitahu). Alhasil, kita hanya berharap pertolongan Tuhan.

Ketiga, Tertiary Prevention (pencegahan tersier). Mencegah penderita COVID-19 positif yang tidak sakit, agar negatif dan jangan menularkan, misal memakai masker, isolasi mandiri, isolasi di RS, tergantung kasusnya. Atau mencegah progresi penyakit pada penderita yang dirawat jangan sampai memburuk atau bahkan menemui kematian.

Di titik ini pun kita dikenal dunia dengan jumlah kematian (Case fatality rate/CFR) tertinggi no 2 setelah Italy. Apalagi jika mengikuti protokol WHO, ODP dan PDP yang meninggal, meskipun hasil lab pasti belum ada, dicacat dan dilaporkan kematian akibat COVID-19. Atau kematian karena penyakit lain, tetapi diketahui ada gejala dan tanda COVID-19 serta riwayat tracing bertemu dengan penderita COVID-19 maka dimasukkan sebagai kematian karena COVID-19. Besar kan aslinya?

BAGAIMANA SAYA BERSIKAP DAN BERTINDAK PAK DOKTER? KOK SIMPANG SIUR?

 Jamaah pengajian saya dan teman-teman saya bertanya, dalam situasi demikian saya harus bagaimana ak dokter? Saya bilang, kembali ke perintah Allah ﷻ di Surah At-Tahrim 6 saja sebagai analogi, SELAMATKANLAH DIRIMU DAN KELUARGAMU DARI API NERAKA… kepada usaha menyelamatkan diri dari penularan virus korona penyebab COVID-19. Jangan pedulikan omongan orang “yang mungkin ngaco” karena mereka aslinya juga bingung. Kebingungan itu wajar, “Ketua Gugus Tugas, Bu Chofifah Gubernur saja bingung, apalagi Anda, wajar lah kalau bingung”, saya memberi kalimat yang menenangkan.

Pokoknya “perlakukan orang lain sebagai ODP, PDP, OTG atau sakit COVID1-9” dalam arti karena kita tidak tahu statusnya, maka kita ketat menjaga diri agar tidak tertular. Tingkatkan daya tahan tubuh dengan gizi cukup, istirahat cukup, OR teratur, berjemur sinar matahari agar vitamin D terbentuk. Selalu memakai masker jika keluar rumah, menjauh dari orang, biar dikatakan takut tertular atau curiga dengan orang.

Dan “semua barang dari luar bersihkan dengan cermat, jika memakai “plastik kresek” manfaatkan untuk melengkapi tempat sampah. Semua bungkus dari luar kita buang. Kalau yang kita masukkan rumah kita itu makanan, mari kita panasi ulang dengan cara sesuai kemampuan”, dan cuci tangan dengan sabun setiap memegang benda di luar rumah, kalau ada stock ya “hand sanitizer” dulu ketika di perjalanan, sepulang di rumah cuci tangan dengan sabun dulu sebelum memegang barang lain di rumah, apalagi berinteraksi dengan keluarga. Kalau ragu-ragu karena bekerja bertemu orang lain dalam waktu lama, ya lepas pakaian masukkan wadah untuk dicuci, lalu mandi “junub” atau mandi gajah (besar), tentu memakai sabun.

Tanyalah bagaimana sikap dan tindakan dokter, perawat dan petugas RS ketika bekerja di kamar bedah, kamar bersalin atau Lab atau ruang perawatan bayi atau ruang untuk orang sakit yang menurun daya tahannya (kanker, HIV dll) agar tenaga kesehatan selamat dan pasien tidak ketularan dari pasien lainnya atau dari buangan akibat perawatan. Berlebihan? Ya lah…. Mau terhindar atau mau tertular?

Selanjutnya terserah Anda.

*) Masrifan Djamil adalah dokter, doktor ilmu kedokteran, ahli kesehatan masyarakat, ahli manajemen RS, Ketua Bidang Litbang PP IPHI, dosen Poltekkes Kemenkes Semarang, Ketua Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI) Jateng, anggota Kolegium Dokter Indonesia PB IDI.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *