New York Times (NYT)

banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



New York Times (NYT)

Oleh: Joko Intarto

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Covid-19 benar-benar membuat beberapa sektor industri ambruk. Antara lain: Media cetak. Pun begitu di Amerika Serikat. Apa kabar New York Times (NYT)?

Sudah 2 minggu ini saya berlangganan koran terkenal di Amerika Serikat: New York Times (NYT). Setiap hari saya menerima update informasi dari koran itu 3 kali.

Pertama: Morning Brief. Isinya rekomendasi apa saja yang perlu saya baca hari ini. Redaksi mengirimkan informasi berdasarkan pilihan jenis berita yang saya minati. Ada form khusus yang saya isi saat registrasi.

Kedua: News Today. Isinya berita-berita pilihan sesuai rubrik yang saya sukai. Redaksi mengirimkan berita itu berdasarkan formulir yang saya isi ketika registrasi.

Ketiga: Cooking & Receipt. Isinya informasi kuliner seperti cara memasak menu tertentu. Redaksi mengirimi saya resep harian karena saya mengisi kolom hobi dengan kata “makan-makan”.

Tiga layanan itu saya peroleh secara gratis. Selama 3 bulan pertama. Berarti masih 2,5 bulan lagi.

Nanti setelah layanan gratis selesai, NYT akan menanyakan sekali lagi apakah saya akan berlangganan dengan berbayar atau berhenti.

Sebenarnya saya penasaran. Saya hanya ingin tahu bagaimana koran-koran di Amerika Serikat bermetamorfosis menyiasati gelombang shifting konsumsi media dari konvensional menjadi digital.

Banyak koran legendaris di Amerika Serikat yang sudah menghentikan versi cetaknya. Tetapi masih mempertahankan versi onlinenya. Bagaimana strategi bisnisnya?

Apalagi di tengah pandemi Covid-19. Amerika Serikat telah menjadi nomor satu: Dalam jumlah penderita dan jumlah korban yang meninggal dunia.

Mencari loper di saat pandemi seperti ini pasti menjadi masalah besar. Kalau pun ada tentu ongkosnya mahal.

Jangankan di Amerika Serikat. Di Jakarta saja, koran di rumah saya sudah tidak pernah datang lagi. Sejak PSBB diberlakukan layanan antar koran mendadak berhenti. Bahkan penagihnya pun tidak datang lagi.

Loper adalah ujung tombak dalam distribusi koran. Tanpa loper, koran tidak akan pernah sampai ke tangan pelanggan.

Merekalah orang-orang yang sangat tekun dan disiplin menjalankan tugasnya. Saat pelanggan masih terlelap, mereka sudah menyusuri jalan dan gang untuk mengirimkan koran ke alamat pelanggan.

Saya pernah menjalaninya. Saat menjadi direktur utama koran “Indopos” tahun 2003-2007. Jadi saya punya banyak jabatan saat itu: Dirut, merangkap agen sekaligus loper.

Saat itu koran “Kompas” begitu kuatnya. Begitu banyak media lain yang menjadi grup usahanya. Dengan kekuatan pasarnya, tidak ada agen yang berani menjadi agen “Indo Pos”.

Padahal “Kompas” tidak melarang mereka menjadi agen “Indo Pos”. Hanya menghentikan kiriman “Kompas” dan media grupnya kalau ketahuan mengageni “Indo Pos”.

Apakah tindakan “Kompas” berlebihan? Tentu tidak. Anda pun akan melakukan hal yang sama. Tidak mungkin Anda membolehkan jaringan agen Anda mendistribusikan produk lain yang menjadi kompetitor.

Maka tidak ada pilihan. Semua karyawan wajib menjadi agen. Yang tidak bisa menjalankan sendiri boleh menunjuk orang lain: istrinya, anaknya, ponakannya, atau tetangganya. Karyawan itu penjaminnya. Lewat gaji bulanannya.

Ilmu ini saya contek habis-habisan dari Pak Dahlan Iskan. Saat itu Bu Dahlan Iskan yang mengelola agen koran di rumah lama: kawasan Tenggilis Mejoyo, dekat Universitas Surabaya. Pelanggannya tidak main-main jumlahnya: 9 ribu orang.

Jumlah itu tergolong sangat besar. Untuk ukuran agen koran di Surabaya. Apalagi 100 persen pelanggan. Tidak ada eceran sama sekali. Dugaan saya: penghasilan Bu Dahlan Iskan sebagai agen koran “Jawa Pos” saat itu lebih besar ketimbang gaji Pak Dahlan sebagai dirut “Jawa Pos”.

Apalagi, Bu Dahlan hanya perlu bekerja 3 – 4 jam sehari. Sementara Pak Dahlan setahu saya bekerja 24 jam sehari. Bahkan bisa lebih dari itu.

Saat masih menjadi wartawan “Jawa Pos” di Surabaya, saya pernah membuat liputan kisah sukses para agen “Jawa Pos” saat ramai-ramainya serial Ketoprak Sayembara Ampak-Ampak Singelo Puro di TVRI.

Tayangan itu merupakan strategi pemasaran koran yang sangat kreatif. Cerita bersambungnya terbit setiap hari di “Jawa Pos”. Begitu pula kuponnya. Video ketopraknya tayang seminggu sekali di TVRI.

Gagasan itu benar-benar jitu. Saya bertugas meliput kisah-kisah agen yang ketiban duren. Gara-gara oplahnya melonjak nggak kira-kira. Nasirun yang pengasong koran di SPBU Rembang sampai bisa berangkat haji gara-gara jualan “Jawa Pos” berkupon ketoprak sayembara.

Sekitar 10 tahun lalu, saya mengisi BBM di kota Rembang. Eh, Nasirun masih ingat saya.

Rupanya ia punya kenangan mendalam terhadap saya. Gara-gara berita yang saya tulis itu, Nasirun diundang ke kantor pusat “Jawa Pos” di Surabaya. Ialah yang naik panggung mengundi jutaan lembar kartu pos kiriman pembaca. Sementara Pak Dahlan hanya senyum-senyum di kursi tamu.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *