Teror Diskusi Pemberhentian Presiden Provokasinya Mirip Tahun 1965

Ilustrasi - Universitas Gadjah Mada (UGM). (Foto: Shutterstock)
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



JAKARTA, hajinews.id – Teror ancaman pembunuhan dari orang tak dikenal terhadap pelaksana kegiatan diskusi mahasiswa Constitutional Law Society (CLS) Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM) bertajuk “Persoalan Pemecatan Presiden di tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan”, mengancam kebebasan daya kritis mahasiswa.

Ancaman yang dilakukan tidak hanya dengan pesan singkat dan telepon. Tapi sudah dilakukan secara fisik dengan mendatangi keluarga pelaksana acara diskusi. Selain itu, si pengancam mencatut nama Ormas Islam, Muhammadiyah dalam melancarkan ancamannya itu.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Merespons peristiwa tersebut mantan Menteri Pemuda Olahraga (Menpora) yang juga alumnus UGM Roy Suryo menyatakan bahwa apa yang terjadi di Kampus UGM dan Dosen UII di Yogyakarta tak bisa dianggap remeh karena menyangkut marwah-marwah “Kampus nDeso” (Merakyat) yang menjadi kebanggaan masyarakat dulunya. “Tetapi saya sekali lagi percaya, gusti Allah SWT tidak Sare,” tulis Roy Suryo melalui Twitter pribadinya, Sabtu (30/5/2020).

Menurut praktisi multimedia dan telematika ini, bila dicermati dari penjelasan Dekan Fakultas Hukum UGM, Prof Dr Sigit Riyanto, biang keladinya adalah provokasi oknum yang bermaksud CarMuk (baca: Menjilat) bak #Pekingese. “Silakan googling orang yang gagal saat nyalon Rektor Kampus tersebut, jelas? Provokasi mirip-mirip tahun 1965,” ungkap Roy di cuitan berikutnya.

Roy Suryo mengingatkan untuk segenap keluarga besar UGM Yogyakarta dan UII harus mawas diri dan satukan langkah karena pola-pola provokasi semacam yang dilakukan oleh oknum yang disebut-sebut Dekan FH UGM memang sekali lagi mirip tahun 1965-1966 silam. “Kondisi +62 mirip di tahun 1965-1966 silam. Jas Merah, Gusti Allah SWT tidak Sare,” ujar Roy Suryo yang juga mantan politisi Partai Demokrat.

Adapun SETARA Institute mendesak pemerintah dan aparat hukum untuk menindak orang yang mengintimidasi dan meneror penyelenggara diskusi mahasiswa bertema pemberhentian presiden di UGM. Menurut SETARA, pemerintah tak boleh membiarkan pelanggaran kebebasan berserikat, berkumpul dan berpendapat.

“Sikap proaktif negara diperlukan untuk menunjukkan bahwa elemen negara atau organ lain yang disponsori negara tidak berada di balik peristiwa persekusi akademik di UGM,” kata peneliti HAM dan Perdamaian SETARA Institute, Selma Theofany, Ahad (31/5/ 2020).

Pemerintah, lanjut Selma, bisa saja mengklaim tidak berada di balik teror tersebut. Akan tetapi, pemerintah dapat dianggap mengambil keuntungan apabila membiarkan teror tersebut tak diselesaikan secara hukum.  Sebab, pemerintah memperoleh keuntungan politik dari aksi pembungkaman tersebut.

Sebelumnya, Dekan Fakultas Hukum UGM Profesor Sigit Riyanto mengungkapkan adanya teror hingga ancaman pembunuhan yang disampaikan orang tak dikenal terhadap pelaksana kegiatan. Bahkan teror pun dikirim kepada keluarganya.

Acaman muncul satu hari sebelum pelaksanaan kegiatan diskusi, yang rencananya digelar 29 Mei 2020. Bentuk ancaman yang diterima beragam. Mulai dari pengiriman pemesanan ojek online ke kediaman penerima teror, teks ancaman pembunuhan, telepon, hingga adanya beberapa orang yang mendatangi kediaman mereka. Teror dan ancaman ini terjadi hingga 29 Mei 2020.

Selain mendapat teror, nomor telepon serta akun media-sosial perorangan dan kelompok CLS juga diretas pada tanggal 29 Mei 2020.

Peretas, disebutkan Sigit Riyanto, menyalahgunakan akun media sosial yang diretas untuk menyatakan pembatalan kegiatan diskusi, sekaligus mengeluarkan semua peserta diskusi yang telah masuk ke dalam grup diskusi. “Selain itu, akun instagram CLS sudah tidak dapat diakses lagi,” tambahnya.

Demi alasan keamanan, akhirnya pihak Dekanat dan penyelenggara membatalkan kegiatan diskusi yang semula bertajuk “Persoalan Pemecatan Presiden di tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan”, menjadi “Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan”. “Pada siang hari tanggal 29 Mei 2020 siang, mahasiswa penyelenggara kegiatan memutuskan untuk membatalkan kegiatan diskusi tersebut,” ungkap Sigit. (rah/berbagai sumber)

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *