LP3ES: Indonesia Alami Kemunduran Demokrasi Mulai 2016

Direktur Center for Media and Democracy LP3ES Wijayanto. (Foto: rri.co.id)
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



JAKARTA, hajinews.id – Direktur Center for Media and Democracy Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Wijayanto menyebutkan, Indonesia sejak 2016 berada dalam proses kemunduran demokrasi secara perlahan. Kemunduran demokrasi itu semakin terjadi pada level serius pascapemilu 2019.

“Kemunduran itu terus berlanjut dalam gradasi yang lebih serius setelah pemilu 2019 yang ditandai dengan konsolidasi oligarki, hilangnya oposisi dan pelemahan KPK,” ungkap Wijayanto dalam diskusi virtual bertajuk ‘Kebebasan Akademik dan Demokrasi’ di Jakarta, Senin (1/6/2020).

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Dia menegaskan bahwa satu di antara beberapa indikator penting dari kemunduran demokrasi itu adalah semakin tergerusnya kebebasan sipil. Menurut Wijayanto hal itu tampak sangat jelas dalam upaya pelemahan KPK yang ditandai dengan disahkannya revisi UU KPK pada 17 September 2019.

Wijayanto menjelaskan pada saat itu para pihak yang tidak setuju pengesahan revisi UU KPK, terutama para akademisi mengalami teror telepon, penyadapan hingga peretasan WA (WhatsApp). “Juga kekerasan ratusan mahasiswa yang turun demonstrasi dan penembakan dua mahasiswa hingga meninggal tanpa sanksi tegas,” lanjutnya.

Selain itu,  dia juga mencontohkan aksi teror terbaru yang dialami panitia hingga pembicara diskusi di UGM. Menurutnya, teror di diskusi UGM memiliki kemiripan dengan teror terhadap aktivis antikorupsi 2019, melibatkan penyadapan dan peretasan gadget dan teror berupa telepon atau pengiriman teks melalui WhatsApp.

“Bedanya jika para mahasiswa UGM Ini mendapat ancaman pembunuhan, akademisi mendapat teror telepon tanpa suara dari nomor luar negeri,” terang Wijayanto.

Lebih jauh Wijayanto menjelaskan tergerusnya kebebasan akademik belakangan ini merupakan penanda kemunduran demokrasi terburuk yang belum pernah terjadi sebelumnya sejak Indonesia memasuki era reformasi politik pada 1998.

Menurutnya,  teror terhadap dunia akademik akan terus berlanjut seiring dengan tergerusnya kebebasan sipil. “Teror siber yang mengancam kebebasan akademik ini tampaknya masih akan terus berlanjut di masa yang akan datang seiring dengan semakin tergerusnya kebebasan sipil dan tren kemunduran demokrasi yang telah berlangsung bertahun-tahun sebelumnya,” tegas Wijayanto. (rah/tribun)

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *