Fundamentalis Agama, Fundamentalis Ilmu Pengetahuan, Fundamentalis Filsafat

banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



FUNDAMENTALIS AGAMA, FUNDAMENTALIS ILMU PENGETAHUAN, FUNDAMENTALIS FILSAFAT

Oleh : Denny JA

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Seorang pemikir yang serius pastilah ia seorang fundamentalis.

Terminologi ini awalnya merujuk pada paham keagamaan yang merasa hanya paham yang ia yakini sebagai satu satunya kebenaran mutlak. Di luar itu hanya sebagian benar, atau semata ilusi.

Fundamentalisme terjadi pada banyak agama. Tak hanya pada Islam namun juga pada Kristen, Buddha, Hindu, bahkan aliran kepercayaan yang kecil.

Namun ternyata sikap fundamentalis itu juga terjadi pada dunia ilmu pengetahuan. Sebagian penggemar fanatik ilmu pengetahuan meyakini informasi yang bisa dipercaya hanyalah kesimpulan berdasarkan metode ilmiah belaka. Di luar itu semata keyakinan buta, atau bahkan halusinasi.

New Atheisme, yang meyakini tak ada grand design atas kejadian alam semesta berdiri kokoh pada fundamentalisme ilmu pengetahuan. Bagi mereka model penjelas asal usul semesta dan kehidupan yang diberikan oleh science sudah memadai dan teruji.

Di luar kedua itu, tersisa sikap fundamentalisme paham filsafat, khususnya filsafat pluralisme.

Paham ini berpandangan bahwa tak hanya ada satu paham tapi banyak paham, tak hanya ada satu cara tapi banyak cara untuk menjelaskan realitas.

Aneka penjelasan atas realitas pada dasarnya reduksi atas realitas itu sendiri. Ini seperti kisah beberapa orang buta yang meraba gajah.

Yang kebetulan memegang buntut gajah menyatakan realitas itu panjang sebagaimana buntut gajah. Yang memegang perut gajah menyatakan realitas itu bundar sebagaimana perut gajah.

Yang menyatakan realitas final itu hanya ada pada agama. Yang menyatakan realitas final itu hanya ada pada ilmu pengetahuan. Yang menyatakan realitas final itu mustahil kita ketahui, kita hanya menduga berdasarkan konstruksi pikiran. Ketiga tiganya adalah kaum fundamentalis.

Sungguhlah beruntung peradaban modern membiarkan para fundamentalis di atas menyebarkan pahamnya masing masing. Khususnya di negara maju, prinsip hak asasi manusia menjadi pedoman di ruang publik.

Saya sendiri mungkin seorang fundamentalis juga tapi tipe yang lain. Saya seorang sinkretis.

Untuk wilayah yang bisa difalsifikasi, yang bisa disalah benarkan secara empirik, saya beriman pada ilmu pengetahuan.

Namun hadir lebih luas lagi area yang tak bisa difalsifikasi. Itu justru area yang acapkali membuat saya mengharu biru. Berzikir di tengah malam, ketika yang ada hanya hening, menyatu segala yang ada, air mata menetes.

Hadir sesuatu yang agung, yang rahasia, jelaslah tak bisa difalsifikasi. Ini bukan area ilmu pengetahuan. Namun memberikan saya makna, kedalaman, keharuan, yang tak tergantikan.

Saya biarkan ruang sakral di dalam hati menjadi misteri. Ruang ini memang bukan milik ilmu pengetahuan.

Sayapun memberikan ruang kepada filsafat keberagaman. Biarlah itu hak setiap individu untuk menjadi fundamentalis satu paham agama, fundamentalis satu paham ilmu, atau fundamentalis satu paham filsafat.

Biarkan seribu bunga mekar bersama di taman kesadaran. Bukankah melalui sejarah kita menyaksikan penjelasan atas realitas memang selalu mekar, selalu berubah?

-000-

Bahkan penjelasan ilmu pengetahuanpun saling berbantah. Newton datang menjelaskan yang ada hanya tiga dimensi. Kita bisa bergerak ke kiri atau ke kanan, ke atas, atau kebawah. Tapi kita berada dalam waktu yang sama.

Namun Einstein datang mengubah penjelasan ilmu pengetahuan. Ada dimensi keempat bernama waktu. Kita bisa berbeda dalam soal waktu jika kita bergerak mendekati bahkan melampaui kecepatan cahaya.

Pasca Einstein, ilmu kembali berubah. Realitas tak hanya empat dimensi, seperti yang diklaim Einstein. Tapi kini kita tahu ternyata realitas itu ada 11 dimensi.

Penjelasan agama atas realitas juga bisa berubah dengan datangnya arkeologi. Agama menceritakan kisah Nabi Adam, Nabi Nuh, Nabi Musa.

Kini arkeologi menggali peninggalan sejarah dan membantah kisah sejarah di kitab suci.

Tak hanya ada homo sapiens, tapi juga homo nanderthal, homo erectus dan sebagainya. Aneka homo ini pun berevolusi dari hewan yang lebih rendah.

Kisah Nabi Adam kini dianggap hanyalah kisah moral bukan kisah yang riel terjadi dalam sejarah.

Hal yang sama menimpa Nabi Nuh, Nabi Musa. Bahkan Nabi Isa, Yesus pun kini dipilah menjadi Yesus of faith versus Yesus of History.

Historicity bahkan juga melanda dunia Islam. Lahir gerakan revisionism. Salah satu temuan yang kontroversial: asal mula Islam bukan di Mekkah tapi di Petra.

Filsafat yang menghargai keberagaman, bahkan yang dirumuskan dalam hak asasi manusia, juga terus berubah. Dulu bahkan di negara maju, mereka yang LGBT, menjadi musuh bersama.

Butuh waktu 70 tahun kemudian, pada tahun 2016, LGBT barulah dilindungi sebagai bagian deklarasi hak asasi manusia.

Di satu sisi, kita melihat pemikir yang serius pada dasarnya memang seorang fundamentalis. Di sisi lain, kita juga menyaksikan kesadaran terus berevolusi dan berubah, baik itu di dunia agama, ilmu pengetahuan dan filsafat.

Sekitar 200 ribu tahun usia Homo Sapiens, kita menyaksikan kuburan besar peradaban. Begitu banyak paham agama, ilmu dan filsafat yang mati, tak lagi diyakini karena zaman membutuhkan narasi yang berbeda.

Siapa yang bisa menduga? Seratus tahun dari sekarang, 4300 agama yang kini ada, ratusan cabang ilmu pengetahuan, dan puluhan paham filsafat yang kini berjaya, pada waktunya sebagian dari mereka akan pula terkubur?**

-000-

Catatan: Berikan pandanganmu.

Di aneka media sosial, secara organik berlangsung polemik soal sikap kita atas agama ataupun ilmu pengetahuaan. Setidaknya polemik ini berisi 24 tulisan di Media Sosial.

Apakah evolusi peradaban ini membawa kita pada arah yang semakin jelas? Bahwa pada waktunya hanya ilmu pengetahuan (science) menjadi satu- satunya narasi yang valid, untuk menjelaskan realitas, untuk merumuskan moralitas?

Dimana posisi agama? Apakah pada waktunya agama akan menyesuaikan diri? Yang bertahan hanya yang bisa diinterpretasi ulang saja, yang sesuai dengan prinsip ilmu pengetahuan?

Tapi bukankah alam kesadaran kita lebih kaya dari yang sekadar bisa diukur, difalsifikasi, disalah- benarkan secara empirik? Dimana posisi mistisisme, spiritualitas, dan kesadaran non-science?

Berikan pandanganmu. Sahabat dapat menuliskannya di media soal masing masing. Jangan lupa mengirimkannya ke facebook Esoterika_Forum Spiritualitas, untuk didokumentasikan.

-000-

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *