Faisal Basri: Modal Asing Bakal Kabur Berjamaah pada Juli 2020

Faisal Basri. (Ist)
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



JAKARTA, hajinews.id – Perekonomian Indonesia masih akan terus mengalami masa-masa sulit, termasuk keluarnya aliran modal asing dari Tanah Air. Ekonom senior Faisal Basri memprediksi aliran modal asing keluar (capital outflow) dari Indonesia bakal marak terjadi pada bulan depan.

Kondisi tersebut terjadi sebagai dampak dari puncak pandemi virus corona (Covid-19) yang diperkirakan terjadi mulai 14 Juni 2020 di tengah masa transisi menuju tatanan hidup baru (new normal).

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Ekonom Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) itu menyebut peningkatan aliran modal asing memang cukup besar dalam beberapa waktu terakhir. Peningkatan turut memberi dampak pada penguatan nilai tukar rupiah.

Nilai tukar rupiah yang semula sempat menembus kisaran Rp 16 ribu per dolar AS saat corona mewabah di dalam negeri, kini berangsur turun ke Rp 14 ribu per dolar AS. Aliran modal asing ramai-ramai masuk ke Indonesia karena pemerintah menerbitkan banyak surat utang dalam rangka memenuhi kebutuhan dana penanganan corona.

Hal tersebut menarik minat investor asing yang kebetulan tengah memiliki kecukupan dana akibat suntikan stimulus moneter (quantitative easing) dari kebijakan di negara mereka masing-masing. “Bunganya tinggi sekali, 7 persen, 8 persen, sementara asing, sekarang kelebihan dana karena stimulus quantitative easingNah, mereka masuk ke Indonesia membeli surat utang pemerintah, tapi mereka bukan untuk jangka panjang,” kata Faisal di Jakarta, Rabu (10/6/2020).

Sayangnya, lanjut Faisal menegaskan, kehadiran aliran modal asing di dalam negeri tak akan berdurasi lama sebab perkembangan kasus virus corona akan memberikan sentimen negatif bagi mereka.

Menurut Faisal proyeksi Indef memperkirakan puncak pertambahan kasus virus corona bakal melonjak di Indonesia selepas 14 Juni 2020. Puncak tersebut terjadi karena pemerintah memaksakan berlangsungnya new normal. Kebijakan itu  akan memberi celah bagi penambahan kasus infeksi virus corona.

“Kemarin sudah mulai di atas 1.000 kasus per hari. Kemudian akibat new normal yang dipaksakan, itu munculnya nanti bulan depan. Nah, pada saat itulah asing mulai menjual bonds-nya (surat utang) lagi,” terang Faisal.

Atas proyeksi ini, Faisal menyebutkan Bank Indonesia (BI) mau tidak mau harus bersiap diri untuk kembali memborong surat utang yang dilepas asing. “Nanti BI harus turun tangan. Nah, keluarkan lagi cadangan devisa,” jelas dia.

Sebab bila bank sentral nasional tak siap membeli surat utang dan mengorbankan cadangan devisa, maka dampaknya akan ke nilai tukar rupiah. Mata uang rupiah berpotensi melemah lagi.

Lebih lanjut Faisal mengatakan pelemahan rupiah akan mudah terjadi karena selama ini sentimen penopang hanya berupa aliran modal asing. Sementara indikator lain, misalnya defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) belum bisa memberi daya tahan kepada rupiah.

“Kalau yakin rupiah akan menguat secara berkelanjutan, ya itu karena current account-nya sudah positif. Nah, sampai sekarang current account masih defisit. Jadi kalau capital inflow keluar lagi jadi outflow, maka rupiah akan melemah lagi,” urai Faisal.

Dia menambahkan bahwa indikator lain juga masih belum memberi daya dukung ke rupiah. Misalnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang hanya 2,97 persen pada kuartal I 2020. Menurutnya, kondisi ini jauh lebih parah dari krisis ekonomi 2008. “Tingkat kerentanan kita (Indonesia) sekarang lebih buruk dari yang lalu pada 2008. 2008 masih bisa melenggang 4,6 persen tatkala dunia sudah mengalami resesi,” imbuhnya.

Adapun di sisi lain Faisal turut menyoroti perubahan tren sentimen ekonomi saat ini. Pasalnya, ada sedikit anomali, di mana biasanya pasar akan bereaksi negatif bila indikator ekonomi memburuk, namun yang terjadi saat ini justru sedikit berbeda.

Lantas Faisal mengambil contoh tingkat pengangguran di Amerika Serikat. Saat ini, tingkat pengangguran naik ke kisaran 14 persen, meski kemarin sempat turun jadi 13 persen. Namun, ketika tingkat pengangguran buruk, kondisi pasar keuangan AS justru menguat. Begitu pula dengan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Indonesia.

“Jadi banyak yang bertanya-tanya juga ekonom di berbagai negara, saat ini semakin tidak ada hubungannya antara kinerja pasar modal dan pasar uang dengan kinerja ekonomi,” tegas Faisal.

Lebih jauh Faisal menilai kondisi ekonomi Indonesia sendiri masih akan mencari cara untuk bisa tumbuh dalam beberapa tahun ke depan. Melalui sektor andalan yakni konsumsi rumah tangga.

Namun, tidak dalam jangka pendek pertumbuhannya akan melesat. Sebaliknya, perlu waktu hingga beberapa waktu ke depan. “Sampai 5 tahun ke depan kita punya trek baru, dalam pertumbuhan ekonomi itu yang lebih rendah dari potential outputnya,” ungkap Faisal. (rah/berbagai sumber)

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *