HNW: Baleg DPR Harus Perhatikan Suara Rakyat Tolak RUU HIP

Hidayat Nur Wahid. (Foto: Humas MPR)
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



JAKARTA, hajinews.id – Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid (HNW) menyatakan Badan Legislasi (Baleg) DPR RI harus memperhatikan suara berbagai kelompok masyarakat yang mengkritisi dan bahkan menolak Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP).

Karena itu menurut dia, kalau RUU HIP itu tetap akan dibahas maka perlu ada perombakan yang mendasar dalam batang tubuh maupun naskah akademiknya. “Larangan Komunisme serta Pancasila yang bukan Trisila/Ekasila itu seharusnya tidak hanya ditempelkan ke dalam konsideran tetapi juga benar-benar tergambar dalam norma batang tubuh RUU itu,” kata HNW dalam keterangannya di Jakarta, Senin (15/6/2020).

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

HNW menegaskan, hal itu sejalan dengan penolakan atau kritik Majelis Ulama Indonesia (MUI), Purnawirawan TNI/Polri dan berbagai Ormas atau kelompok-kelompok masyarakat yang menolak RUU HIP karena tidak dicantumkannya sejak awal TAP MPRS no XXV/1966.

Politisi PKS itu mengatakan TAP MPRS tersebut masih berlaku, relevan dan diyakini akan membentengi Pancasila dari ideologi yang bertentangan dengan Pancasila dan sudah 2 kali melakukan pemberontakan terhadap negara Indonesia serta adanya pengaburan dengan penyebutan Pancasila yang menjadi Trisila dan Ekasila.

Selain itu, lanjut HNW, catatan kritis lainnya yang menilai bahwa RUU HIP seperti itu justru menurunkan Pancasila yang sebenarnya, yaitu Pancasila 18/8/1945 yang ada dalam Pembukaan UUDNRI 1945 sehingga hal itu semua penting didengarkan dan dipertimbangkan oleh Baleg DPR RI.

Wakil Ketua Majelis Syuro PKS ini mengatakan ketika Fraksi PDIP sebagai pengusul awal RUU HIP berubah sikap dengan menerima TAP MPRS XXV/1966 dan mengusulkan ideologi-ideologi lainnya serta penghapusan pasal 7 soal Trisila dan Ekasila, maka rasionalnya naskah akademik dan draf RUU ini juga perlu dibuat ulang dan diubah secara mendasar.

“Karena adanya perubahan yang mendasar pada konsideransnya, tentunya juga berimplikasi kepada landasan yuridis dan landasan sosiologis akibat reaksi penolakan dari banyak pihak, maka sebaiknya RUU HIP ini ditarik terlebih dahulu oleh Baleg dan tidak dilanjutkan pembahasannya. Hal itu agar disiapkan naskah akademik dan diperbaiki kontennya sesuai dengan kebenaran sejarah dan sesuai dengan kritik dan saran dari rakyat, pakar, urnawirawan TNI/Polri, dan ormas,” urai HNW.

HNW menilai dengan sikap akhir PDIP setuju dimasukannya TAP MPRS No. XXV/1966 terkait PKI sebagai Partai terlarang, dan larangan penyebaran dan pengajaran komunisme ke dalam konsideran mengingat RUU HIP, maka semua fraksi di DPR secara terbuka sepakat untuk masih tetap berlakunya ketentuan hukum bahwa PKI adalah partai terlarang dan juga larangan penyebaran dan pengajaran komunisme, marxisme dan leninisme.

“Setelah sikap PDIP menerima masuknya TAP MPRS No. XXV/1966 dalam konsideran RUU HIP, maka tidak ada lagi Fraksi di DPR yang menolak dimasukkannya TAP MPRS No. XXV/1966 ke dalam RUU HIP,” ujarnya.

Namun menurut dia, publik sudah menyikapi sangat kritis RUU HIP, bukan lagi hanya soal tidak dicantumkannya sejak awal TAP MPRS No. XXV/1966, juga “kecolongan” penyebutan trisila dan ekasila, tetapi masalah-masalah dalam RUU HIP yang tersebar di beberapa pasal, seperti yang ada di Pasal 4, 5, 6 dan 8 RUU HIP.

HNW menjelaskan dengan mempertimbangkan kondisi sosial politik dan penolakan masyarakat, saat Baleg merevisi naskah akademik tersebut maka pengusul dari Baleg juga dapat mempertimbangkan ulang apakah RUU HIP memang perlu dipaksakan untuk dilanjutkan dibahas dan disahkan, atau malah dihentikan saja.

“Karena penjabaran dan haluan ideologi Pancasila sudah disepakati dan itu ada dalam Pembukaan UUD dan dalam Bab/pasal/ayat2 UUDNRI 1945. Ia mengingatkan ada problem ketatanegaraan apabila RUU HIP ini dipaksakan untuk dilanjutkan dan disahkan,” ujarnya.

Lebih jauh HNW menilai, Pancasila adalah norma dasar yang dimuat dalam Pembukaan UUD 1945, nilainya sebagai norma dasar memang bersifat umum tapi yang disepakati oleh para “Founding Fathers” sehingga jangan sampai Pancasila “downgrade” melalui UU kontroversial seperti RUU HIP.

Namun menurut dia, apabila mau dibuat penjabaran lagi maka seharusnya dilakukan di Batang Tubuh UUD 1945 melalui amandemen lagi terhadap UUD, bukan diatur dalam UU apalagi yang kontroversial seperti RUU HIP yang malah menambah
kegaduhan publik.

“Saat Rakyat dan Pemerintah sangat direpotkan dengan bencana kesehatan nasional yaitu COVID-19 maka semestinya yang hadir adalah ketentuan UU yang kuatkan pengamalan Pancasila, untuk selamatkan bangsa dan negara, agar berkontribusi atasi COVID-19 dan dampak-dampaknya,” tegas HNW.

Adapun pengamat politik dari Lembaga ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro, menilai gencarnya penolakan publik seperti yang terakhir ditunjukan PP Muhammadiyah terhadap RUU HIP harus menjadi pertimbangan matang para pihak yang terkait. Dan ini menjadi jelas bahwa resistensi terhadap RUU tersebut sudah begitu masif.

“Resistensi terhadap RUU ini sudah menjadi kolektif. Dan pesan ini sudah sangat jelas bahwa Pancasila sebagai pandangan hidu bangsa jangan diotak atik lagi. Jangan malah di down grade. Sebab, keadaaan nanti bukan malah tambah bagus, tapi malah memburuk. Yang mendesak sekarang adalag bagaimana respons kita soal ekonomi, kemiskinan yang bertambah akibat pandemi ini. Bukan malah berdebat lagi soal Pancasila,” kata Siti Zuhro, di Jakarta, Senin (15/6/2020). (rah/berbagai sumber)

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *