Pemerintah Harus Hati-hati, Bank Tak Bisa Dipaksa Berikan Kredit

Ekonom Indef, Aviliani. (Foto: Bisnis)
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



JAKARTA, hajinews.id – Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani mengingatkan pemerintah untuk berhati-hati menempatkan uang negara di perbankan mengingat penyaluran kredit oleh lembaga keuangan itu tidak bisa dipaksakan.

“Menurut saya pemerintah harus hati-hati dalam memberikan dana kepada bank Himbara atau pun swasta yang sebenarnya tidak bisa dipaksakan untuk memberikan kredit,” katanya kepada Antara di Jakarta, Selasa (30/6/2020).

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Aviliani mengatakan pemerintah tidak bisa memaksakan perbankan untuk menyalurkan kredit saat Indonesia masih berada dalam kondisi yang penuh ketidakpastian akibat COVID-19 seperti ini. “Bank itu menciptakan supply side jadi tidak bisa dipaksakan misalnya diberi dana oleh pemerintah Rp30 triliun lalu bank harus kasih kredit Rp90 triliun berarti kan itu memaksakan,” ujarnya.

Menurut Aviliani, permintaan kredit saat ini masih sedikit karena mayoritas industri maupun UMKM belum pulih secara maksimal dan bahkan banyak yang mengajukan restrukturisasi agar beban berkurang.

Tak hanya itu, ia menuturkan jika penyaluran kredit tetap dipaksakan sedangkan permintaan tidak ada maka akan menimbulkan risiko yaitu rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL) yang meningkat signifikan.

“Kalau memaksakan kredit tapi tidak ada demand nya maka itu malah jadi kredit macet. Kecuali ada potensi banyak tapi uangnya enggak ada itu boleh,” ujarnya.

Ia menjelaskan tanpa pemerintah menempatkan dana Rp30 triliun, perbankan sudah menyalurkan kredit yang bergantung pada permintaan yakni terbukti pertumbuhan kredit pada Maret sebesar 8 persen dan April sebesar 5 persen.

“Jadi kalau menurut saya harus hati-hati juga karena dengan diberikan dana dan dipaksa agar kredit tumbuh menurut saya itu belum tentu dibutuhkan,” katanya.

Aviliani pun memberikan masukan kepada pemerintah untuk segera mempercepat belanja agar mampu mendorong perekonomian yang salah satunya dengan memaksimalkan penyerapan anggaran kesehatan.

“Itu menciptakan demand karena begitu dia membayar dari anggaran kesehatan maka dia dapat di farmasinya dan lain-lain. Ditahannya uang pemerintah untuk tidak di spending itu mempengaruhi ekonomi,” katanya.

Ia menyatakan realisasi penyerapan anggaran seperti untuk kesehatan, UMKM, insentif dunia usaha, sektoral dan pemda, serta perlindungan sosial yang rata-rata masih di bawah 5 persen akan menahan pergerakan ekonomi.

“Realisasi anggaran itu akan menggerakkan ekonomi. Menurut saya belanja pemerintah daerah dan pusat ini lah yang harus dipercepat sehingga itu akan menciptakan demand side sehingga otomatis supply side akan jalan,” katanya.

Ketua Dewan Komisioner LPS Halim Alamsyah mengatakan, bank-bank pelat merah yang ditunjuk sebagai bank peserta dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) harus membayar premi ke LPS.

Bank pelat merah yang dimaksud adalah bank yang mendapat penempatan dana Rp 30 triliun dari pemerintah, yakni Bank BRI, BNI, Mandiri, dan BTN. “Mekanisme pembayaran premi mengikuti pasal 9, pasal 12, dan pasal 13 UU Lembaga Simpanan (LPS),” ujar Halim di Jakarta, Senin (29/6/2020).

Dia menegaskan, bank peserta penjaminan wajib membayar premi penjaminan sebesar 0,1 persen dari rata-rata saldo bulanan total simpanan dalam setiap periode yang dibayarkan dua kali setahun.

Dengan demikian, lanjut Halim, premi penjaminan dibayarkan oleh bank, bukan oleh pemerintah. Premi tersebut menjadi bagian biaya dana bagi bank, namun dengan mendapatkan manfaat proteksi penjaminan dari LPS. (rah/berbagai sumber)

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *