Tak Bisa Jadi Alasan, Pertumbuhan Ekonomi Kuartal I Jeblok karena Corona

Chatib Basri. (dok)
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



JAKARTA, hajinews.id – Ekonom sekaligus mantan Menteri Keuangan era SBY, M. Chatib Basri  mengaku tidak terlalu terkejut mengenai pernyataan pemerintah soal pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal I 2020 hanya di angka 2,97 persen akibat situasi pandemi dan ketidakpastian yang tinggi.

“Jadi saya tidak terkejut pada persepsi orang bahwa situasi ekonomi menjadi lebih buruk sejak Maret dibandingkan dengan Juni. Selama 2020 semua orang tahu bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di 2,97 persen,” ujar  Chatib  di Jakarta, Kamis (25/6/2020).

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Chatib mencermati ada hal yang menarik yakni pemerintah mengumumkan adanya Covid-19 itu awal Maret. Jadi secara logika ekonomi Indonesia pada Januari tidak terpengaruh Covid-19.

Dia menegaskan bahwa jika terpengaruh Covid-19 mestinya pertumbuhan ekonomi normal di sekitar 5 persen. “Katakanlah Februari Covid-19 itu mulai outbreaknya di Wuhan akhir Januari, mungkin dampak ekternal ekspor itu Februari dari 5 turun ke 4 persenlah, kemudian baru bulan Maret dampak PSBB, yang menarik tiga bulan Januari, Februari dan Maret itu angkanya ke 2,97 persen, artinya ada sesuatu yang menarik di bulan Maret rata-rata ke bawah,” urai Chatib.

Chatib menerangkan, penurunan itu tidak mungkin terjadi di Januari karena belum ada covid-19 di Indonesia, kemudian pada Februari masih yang terkena ekternal saja hanya ekspor yang kena turun bisa dikatakan turun dari 5 persen ke 4 persen. Tapi kemudian drop 3 persen di bulan Maret, berarti situasi di Maret itu parah.

“Cerminan dari situasi Maret ini adalah Cerminan yang terjadi di April, Mei, dan Juni, kenapa? Karena dampak dari sosial distancing mulai terjadi sejak Maret. Jadi saya bisa membayangkan bahwa kalau saya lakukan Ekstrapolasi (memperkirakan nilai) dari angka itu, mungkin ekonomi kita akan kontraksi di kuartal kedua 2020, pertumbuhannya mungkin akan negatif,” beber dia.

Sekarang masuk ke pertumbuhan konsumsi, sektor mana yang masih lumayan, ia mengatakan sektor yang berhubungan dengan kesehatan dan edukasi masih dianggap baik.  “Atau yang tinggi growth nya adalah online farmasi, beli obat secara online. Kenapa sektor online bisa relatif baik? Karena esensi dasar dari ekonomi adalah pasar, aktivitas ekonomi itu bisa jalan kalau pasarnya ada,” tutur dia.

Menurutnya, pasar itu adalah tempat pertemuan orang untuk melakukan barang dan jasa secara visual atau fisik. Tapi secara sosial distancing fisiknya tidak boleh, jadi esensi dari aktivitas konomi adalah pasar. “Pasar adalah tempat bertemu, tapi justru tidak bertemu, makannya pasar yang aktivitasnya fisik maka collapse, kecuali kalau pindah ke online,” tegas dia.

Adapun Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai kondisi perekonomian Indonesia masih tergolong lebih baik dibandingkan negara lain di tengah adanya pandemi Covid-19.

Kondisi itu sejalan dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang masih mampu tumbuh sebesar 2,97 persen pada kuartal I-2020 meskipun untuk kuartal II diyakini mengalami kontraksi akibat penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). “Kalau dibandingkan negara lain kita pasti lebih baik. Kita seperti China karena konsumsi kita kuat,” katanya kepada Antara di Jakarta, Rabu (24/6/2020).

Tauhid mengatakan faktor Indonesia lebih baik dibandingkan negara lain karena tingginya daya beli masyarakat domestik yang menyumbang hingga sekitar 58 persen dari PDB. “Artinya separah apapun kondisinya, kita masih ada kegiatan ekonomi dari basis konsumsi. Ini sebagai modal dasar agar ekonomi kita tetap bertahan,” ujarnya. (rah/berbagai sumber)

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *