Chatib Basri: Perluas BLT, 115 Juta Warga RI Rentan Miskin

Chatib Basri. (dok)
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



JAKARTA, hajinews.id – Ekonom senior Chatib Basri menyatakan perekonomian Indonesia bisa mengalami kontraksi jika terlalu cepat melakukan pengetatan defisit fiskal karena dampak pandemi COVID-19 diperkirakan masih akan terasa dalam tahun mendatang.

“Keputusan membuat defisit fiskal itu disiplin harus melihat data. Kalau situasi ekonomi belum memungkinkan, ekspansi saja,” ujar Chatib di Jakarta, Selasa (28/7/2020).

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Mantan Menteri Keuangan ini menegaskan, ekspansi defisit fiskal masih diperlukan salah satunya dalam penanganan soal perlindungan sosial sebagai dampak pandemi COVID-19 yakni dengan memberikan bantuan langsung tunai (BLT).

BLT, kata dia, perlu diperluas tidak hanya kepada kelompok miskin tetapi juga kepada masyarakat rentan miskin akibat dampak virus corona, apalagi Bank Dunia memperkirakan ada 115 juta orang Indonesia yang rentan miskin. “Perluas coverage-nya jangan hanya yang miskin,” tegas Chatib.

Chatib meyakini dengan adanya BLT akan mendorong daya beli atau konsumsi sehingga pada akhirnya mendorong masuknya investasi.

Menurutnya, BLT lebih efektif karena penetapannya tidak harus lewat proses demokrasi, tidak ada ‘titipan’, beda dengan bantuan yang bahan sembako. “Kenapa pesta perkawinan efektifnya kasih uang karena yang paling gampang cash transfer.”

Dia menjelaskan dana BLT itu bisa direalokasikan dari kementerian/lembaga salah satunya dengan menunda proyek-proyek infrastruktur namun lebih memprioritaskan perawatan selama sekitar enam bulan.

Selain itu, lanjut Chatib, pemerintah juga harus melakukan diskresi dengan memotong belanja karena penerimaan negara menurun namun belanja untuk sosial ekonomi terus naik dan belanja bersifat wajib misalnya pendidikan tapi defisit fiskal harus dikecilkan.

“Penerimaan turun, spending naik tapi defisit malah dikecilkan, apa yang terjadi? Ada spending discretionary di tangan pemerintah yang harus dipotong,” katanya.

Dampak COVID-19, lanjut dia, sejumlah negara menetapkan defisit fiskal yang besar di antaranya Amerika Serikat sebesar 10 persen dari produk domestik bruto (PDB) dan Singapura sebesar 12 persen dari PBD.

“Soal utang itu selama tingkat bunga murah sekarang di luar, growth lebih tinggi dari utang maka rasio utang terhadap PDB akan turun dengan sendirinya,” terang Menteri Keuangan 2013-2014 itu.

Pemerintah memperlebar defisit fiskal menjadi 6,34 persen pada 2020 atau mencapai Rp 1.039 triliun. Tahun 2023, defisit fiskal akan kembali pada batas maksimal 3 persen.

Pemerintah baru saja merevisi besaran defisit fiskal dalam RAPBN 2021 mencapai 5,2 persen setelah sebelumnya dalam desain awal yang disepakati dengan Badan Anggaran DPR RI mencapai 4,17 persen. Revisi defisit fiskal 2021 itu untuk mendukung pembiayaan program prioritas termasuk penanganan COVID-19 dan pemulihan ekonomi nasional (PEN). (rah/berbagai sumber)

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Komentar