Kenapa Ada Pasien COVID-19 Parah dan Ada Juga Tanpa Gejala?

Ilustrasi (Foto: Jawa Pos)
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



JAKARTA, hajinews.id – Mereka dengan COVID-19 bisa mengalami kondisi kesehatan yang menurun sehingga membutuhkan perawatan intensif di rumah sakit, tetapi di sisi lain, ada juga orang tanpa gejala atau OTG dan tidak membutuhkan pengobatan. Mengapa bisa berbeda-beda?

“Ada yang langsung drop, kematian tinggi. Ada juga yang tanpa gejala atau gejala ringan. Apa penyebabnya? imunitas yang baik, lalu tidak ada penyakit kronis,” kata dokter spesialis jantung dari Mount Elizabeth Novena Hospital, Singapura, Nikolas Wanahita, dalam webinar “Jantung Sehat & COVID-19: The Dos and Don’ts”, Jumat (21/8/2020).

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Selain itu, ada juga peran viral load yang diasosiasikan dengan keparahan infeksi COVID-19. Saat virus masuk dalam jumlah tidak banyak, maka ada waktu untuk respon imun primer tubuh bekerja lebih cepat untuk membendung replikasi virus.

Selanjutnya, respon imun sekunder mengambil alih untuk mengeluarkan sel spesifik melawan virus yakni B-cell dan T-cell.

“Tubuh butuh waktu bergerak ke secondary immune response sekitar 5 hari, mereka keluarkan sel spesifik melawan virus termasuk B-cell dan T-cell, untuk mengeluarkan antibodi spesisifik, membuat virus tidak aktif dan mati. Sekitar 1-2 minggu setelah infeksi lalu kita sembuh,” jelas Nikolas.

Pada skenario buruk, virus load dalam jumlah banyak menyebabkan respon imun primer kewalahan sehingga tidak bisa membendung virus dan terjadi badai sitokin berlebihan.

“Produksi primary immune response berlebihan, sitokin akan menyerang badan sendiri, menimbulkan radang atau inflamasi berlebihan. Ini berbahaya menyebabkan kondisi orang dengan COVID-19 cepa drop,” kata Nikolas.

Selain viral load, penggunaan masker bisa menjadi faktor penentu tingkat keparahan COVID-19 versus hanya bergejala ringan atau bahkan tanpa gejala.

Saat seseorang batuk atau pilek (kemungkinan COVID-19) mengenakan masker dan menjaga jarak berada di sekitar orang lain yang juga bermasker, maka jumlah virus masuk ke hidung dan mulut orang-orang lebih kecil.

Jika nantinya orang di sekitar terkena COVID-19, maka kemungkinannya tidak parah, ringan atau bahkan tak bergejala.

Terkait hal ini, Nikolas menilai penggunaan masker dan menjaga jarak lebih efektif ketimbang strategi lockdown.

“Memang bukan jaminan tidak terkena COVID-19, tetapi kalau memakai masker dan menjaga jarak, COVID-19 yang didapatkan jenisnya ringan atau tidak bergejala,” demikian kata dia. (ant)

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *