Muhammadiyah NU di RT Kami

Muhammadiyah NU di RT Kami
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Muhammadiyah NU di RT Kami

Oleh: Dr. Mohammad NasihPengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ, Pembangun Qur’anic Habits di Rumah Perkaderan Monash Institute dan Sekolah Alam Planet NUFO Rembang ( Redaktur Ahli Hajinews.id )
Kemarin pagi, sekitar pukul 07.15, saya sudah bersiap tancap gas dari Monash Institute Semarang ke Sekolah Alam Planet NUFO Rembang. Saat memasukkan kambing kecil ke bak yang sudah terlebih dahulu saya masukkan ke dalam bagian belakang mobil, saya melihat Bu Ummul (Dr. Hj. Ummul Baroroh) lewat.

Kami bertegur sapa ala kadarnya. Ketua Aisyiah Muhammadiyah Jawa Tengah itu melanjutkan langkahnya. Ternyata menuju rumah persis nempel tembok barat Monash Institute. Itu rumah Bu Zainul, panggilan kami kepada beliau, karena istri almarhum Pak Zainul (Drs. Zainul Arifin, M.A.). Sekembali Bu Ummul dari rumah Bu Zainul itu, tiga mahasantri dan tiga anak saya sudah masuk ke dalam mobil, dan saya juga tinggal masuk, duduk, lalu melesat dengan kecepatan tinggi mengingat jalanan kini sepi dan mobil saya berCC besar.

Namun, semua harus keluar dan dikeluarkan kembali setelah Bu Ummul mengatakan dengan mimik muka khasnya: “Putra Bu Zainul meninggal?”. Setengah terkejut saya bertanya: “Kapan? Yang siapa?” “Barusan. Setelah shubuh tadi dibawa ke RS, dan meninggal.” Innaa lillaahi wa innaa ilayhi raaji’uun. Anak itu masih muda. Baru 22 tahun.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

RT VII RW V Tambakaji Ngaliyan Semarang merupakan salah satu kawasan yang menempel persis dengan bagian selatan dan barat daya kampus III UIN Semarang. Warganya sangat plural. Ada yang Muhammadiyah, NU, ada juga yang Mu-NU atau NUMu, dan ada juga yang bukan keduanya.

Bahkan beberapa tokohnya tinggal di sini. Ketua Muhammadiyah Jawa Tengah, Pak Tafsir (Drs. Tafsir, M.A.), juga tinggal di sini. Dan suami Bu Ummul tadi, Prof. Dr. Ibnu Hajar, M.Ed. adalah salah satu pengurus Syuriyah NU Jawa Tengah. Keluarga pasangan Pak Ibnu dan Bu Ummul ini sering saya sebut dalam kajian di Monash Institute sebagai keluarga unik yang bisa menjadi tempat menginap untuk belajar orang-orang yang masih sering ribut karena fanatik disebabkan perbedaan organisasi keislaman. Maksud saya tentu agar tahu bahwa ternyata ada dua orang NU dan Muhammadiyah yang setiap malam tidur sekamar.

Shahibul mushibah yang nempel tembok Omah Tahfidh Monash Institute, termasuk yang secara formal kader NU. Almarhum Pak Zainul, adalah wakil dekan saat saya mahasiswa di Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo, belasan tahun sebelum berubah jadi UIN. Sedangkan yang nempel tembok gedung sebrangnya, yang kami namai Darul Qalam III Monash Institute, adalah Dr. Zuhad, M.A., dosen UIN, salah satu tokoh pengurus Ponpes Pabelan, dan juga tokoh Muhammadiyah.

Menjelang siang, tratak mulai dipasang. Awalnya mau dipasang tepat di depan rumah dengan memotong pohon rambutan yang buahnya enak sekali. Saya dan anak-anak saya selalu ditawari Bu Zainul saat buah lebatnya mulai memerah. Namun, saya melarangnya dan saya minta pasang trataknya di sebelah timur pohon itu sampai ke depan Monash Institute.

“Yang sudah hidup jangan dimatikan; menanamnya tidak mudah”, demikian kata saya sambil sedikit tetap sedikit canda dalam suasana duka.

Kursi sudah ditata berjajar. Dan tak lama kemudian terlihat Pak Tafsir dan Kiai Miftah, pensiunan pegawai UIN, sudah duduk di depan gerbang rumah duka. Saya mengangkat galon dari catering Annasecha yang sudah saya isi air dari kran Monash Institute dan meletakkannya di atas dispenser keramik di depan Monash Institute agar bisa digunakan untuk cuci tangan para pelayat. Pak Kiai Miftah terlihat menulis berita duka di white board putih kecil dengan spidol di depan Pak Tafsir.

Tak lama kemudian, Pak Suratman, Ketua RT menginformasikan kepada Pak Tafsir bahwa belum ada mobil ambulans untuk ke makam. Mendengar itu, tanpa diminta, langsung telpon orang untuk mengirim ambulans Muhammadiyah ke lokasi. Pak Tafsir bertanya agar mudah sampai ke lokasi ini, apa alamat yang paling mudah.

Saya yang kemudian duduk di sampingnya, usul, agar sopir ambulans mengetik saja Monash Institute Semarang di googlemaps. Saya menulisnya, lalu langsung saya forward ke Pak Tafsir, agar diforward ke sopir ambulans. Tak lama kemudian ambulans datang.

Setelah ashr, makin banyak yang berdatangan dan menshalati. Saya shalat bersama dengan Pak Masrur, mantan Wakil Dekan III Fakultas Ushuluddin yang juga pengurus Muhammadiyah Jawa Tengah sebelum shalat ashr. Walaupun dari RT yang berbeda, senior saya di HMI itu termasuk paling awal datang sebelum shalat ashr.

Setelah shalat ashr bersama Mas Masrur di Monash Institute, saya kembali keluar dan melihat beberapa mantan pejabat Fakultas Ushuluddin berdatangan dan langsung shalat jenazah. Agar cepat, saya bilang saja bahwa ini shalat kloter terakhir. Menjelang keberangkatan, Mas Masrur tanpa diminta, langsung pegang mic dan menjadi pembawa acara.

Acaranya singkat. Pembawa acaranya menyebutkan sambutan shahibul mushibah dan do’a keberangkatan jenazah. Shahibul mushibah diwakili Pak Miftah dan do’a dibawakan oleh Kiai Najamuddin, yang di kawasan ini menjadi salah satu tokoh yang sehari-hari juga memimpin tahlilan di Masjid.

Setelah do’a selesai, Pak Masrur menutup acara. Mobil jenazah bergerak. Saya memilih naik motor untuk ke lokasi pemakan Giriloyo, tak jauh dari Pasar Ngaliyan. Beberapa meter bergerak, ada Pak Mustofa, dosen Fakultas Tarbiyah yang rumahnya nempel rumah Bu Ummul, hanya 20 meter dari Monash Institute. Saya tawari untuk membonceng. Kami menyalip mobil jenazah dan sampai pemakaman paling awal.

Begitu indahnya kebersamaan itu jika ditularkan di mana-mana, tanpa sekat embel-embel formalitas dan kepentingan. Wallahu a’lam.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *