Hijrah, Bersaudara Karena Allah dan Rasulnya

sukiman azmy
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh; HM. Sukiman Azmy

Bupati Lombok Timur, Ketua IPHI NTB

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Prof. Dr. Mahmud Syaltut dalam buku  Min Taujihatil Islam  membagi hijrah  menjadi dua macam; (1) Hijrah qalbiyah (hijrah mental) yang sering disebut juga hijrah hati nurani atau rohani. Rasulullah Saw berda’wah secara  sembunyi maupun terang-terangan selama tiga belas tahun di Makkah, hijrah dari wataknya orang-orang jahiliyah yang ugal-ugalan,  penyembah berhala,  suka berperang,  pemabuk dan penjudi, menguburkan anak perempuan hidup-hidup dan berbagai sifat buruk lainnya, dan (2) adalah Hijrah badaniah, yaitu hijrah yang bersifat fisik, jasmaniah.

Hijrah qalbiyah yang menentukan selama 13 tahun lamanya itu nampak kurang efektif jika dipertahankan, karena itulah beliau harus hijrah badaniyah, yaitu pergi dan menetap di Madinah.  Mengapa ?  Sebab jika dipertahankan hijrah qalbiyah saja tentu kehancuran yang didapat.  Penderitaan akibat penganiayaan kaum musyrik Makkah kepada kaum Muslimin yang minoritas semakin keras, bahkan Rasulullah  Saw sendiri terancam akan dibunuh.

Ketika kaum Muslimin secara bertahap, gelombang demi gelombang berangkat ke Madinah yang pada waktu itu masih bernama Yatsrib, meninggalkan keluarga, harta benda, rumah, ternak, kebun dan ladangnya karena cinta kepada Allah Swt dan Rasulullah Saw,  ternyata masih ada diantara kaum Muslimin  yang tidak mau berhijrah karena mereka lebih sayang kepada harta benda dan keluarga besarnya. Mereka sebenarnya sanggup untuk hijrah namun tidak melaksanakannya.

Mereka inilah yang dipaksa oleh kaum musyrik  untuk ikut memerangi Kaum Muslimin pada perang Badar Kubra dan diantaranya ada yang mati pada perang tersebut.  Malaikat bertanya kepada yang mati dalam perang Badar itu; “Bagaimana kamu ini ?”, mereka menjawab;”Kami orang-orang yang tertindas di bumi (Makkah)”. Malaikat menjawab;”Bukankah bumi Allah itu luas sehingga kamu dapat hijrah (berpindah-pindah) di bumi itu ?”. Mereka tidak dapat menjawab dan akhirnya dilemparkan ke dalam neraka jahannam yang merupakan tempat terburuk untuk kembali. Peristiwa itu dijelaskan Allah Swt dalam Surat An Nisa (4) ayat 97.

Pada awalnya ketika ancaman dan penganiayaan kaum musyrik semakin dahsyat, bukan  hanya mengancam keselamatan jiwa umat Islam, namun juga sudah susah sekali menjalankan ibadah, maka Rasulullah mengijinkan umat Islam untuk berhijrah ke Habasyah. Pada periode pertama hijrah ke Habasyah itu hanya beberapa orang saja dipimpin oleh Utsman bin Affan dan berlangsung hanya tiga bulan. Mereka kembali ke Makkah karena mengira situasi dan kondisi sudah membaik, namun ternyata justeru tambah parah. Melihat kenyataan seperti itu, kembali Rasulullah Saw meminta mereka untuk hijrah ke Habasyah dalam jumlah yang lebih besar sehingga berangkatlah sekitar delapan puluh lima orang dan disambut dengan baik oleh masyarakat dan para pemimpinnya.

Periode inilah yang disebut dengan hijrah secara fisik, berpindah tempat dari kota Makkah menuju Yatsrib.  Kegiatan yang  beliau lakukan selama berada di Madinah,  diawali dengan  mendirikan  Masjid di Quba  yang jaraknya sekitar 5 Km dari kota Madinah. Sampai akhir hayat,  beliau tetap mendatangi masjid ini hampir setiap hari dengan berjalan kaki untuk mengajarkan firman Allah bagi ummat Islam. Hal inilah yang membuat salah satu faktor beliau tidak pernah sakit karena setiap hari olahraga jalan kaki 10 kilometer.

Kegiatan lain yang beliau lakukan sesampainya di Madinah, selain mengadakan perjanjian dengan pimpinan kabilah yang non muslim  adalah mempersaudarakan  golongan Anshor (penduduk asli Madinah) dengan kaum Muhajirin (pendatang dari Makkah). Persaudaraan antar kedua golongan ini benar-benar tulus dan suci, hal ini dibuktikan dengan pembagian harta benda, ternak, rumah bahkan isteri  dari golongan Anshar kepada kaum Muhajirin yang ditetapkan oleh Rasulullah sebagai saudaranya.

Dalam sebuah riwayat kita temukan dialog yang humanis ketika Rasulullah Saw mempersaudarakan umat Islam waktu itu; “Ya Abdullah (Anshar), maukah engkau saya persaudarakan dengan Ammar (Muhajirin)?”,  tanya Rasulullah. Abdullah menjawab; “Mau ya Rasulullah”. Rasulullah melanjutkan; “Atas dasar apa engkau bersaudara ?”. Abdullah menjawab; “ Persaudaraanku dengan Ammar atas dasar cintaku pada Allah dan RasulNya”.

Rasulullah kembali bertanya; “Apa yang kau miliki dan berapa dari milikmu itu akan kau berikan pada saudaramu Ammar ?”. Abdullah menjawab; “Ya Rasulullah, saya punya kurang lebih seratus ekor onta, separuhnya saya berikan pada Ammar. Saya punya kurang lebih seratus lima puluh ekor kambing, separuhnya untuk Ammar.

Saya punya empat rumah dan disetiap rumah itu ada isteriku, kupersilahkan Ammar memilih dua rumah beserta seluruh isinya dan isteriku itu untuk dia miliki”. Masya Allah, sungguh agung sifat kaum Muslimin kala itu, sangat jauh dengan sifat kita sekarang yang terkadang bersaudara kandung banyak berkelahi dan tidak bertegur sapa seumur hidup gara-gara orang tuanya dianggap tidak adil dalam membagi warisan. Bukankah tidak sempurna iman seorang Muslim jika dia tidak bertegur sapa dengan sesama muslimnya lebih dari tiga hari ? Wallahu a’lamu bishshawab. (*)

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *