Memaksa Gelar Pilkada adalah Bentuk Kediktatoran Konstitusional

din syamsuddin soal diktator konstitusional
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Jakarta, Hajinews.id,- Keputusan DPR bersama Pemerintah, dan KPU serta Bawaslu bahwa Pilkada serentak tetap dilaksanakan pada 9 Desember 2020, walaupun ada keberatan dari berbagai organisasi masyarakat madani, sungguh menunjukkan apa yang disebut dengan Kediktatoran Konstitusional (Constitutional Dictatorship).

Demikian pendapat Prof Din Syamsuddin, Ketua Dewan Pertimbangan MUI dalam rilisnya yang diterima Hajinews.id Selasa (22/9/2020).

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Din mengatakan bahwa aspirasi rakyat, yang disuarakan antara lain oleh NU, Muhammadiyah, Majelis-Majelis Agama, KAMI, dan berbagai Lembaga-Lembaga Swadaya Masyarakat, adalah apirasi riil rakyat yg sangat prihatin terhadap persebaran Pandemi Covid-19 yg masih meninggi.

Mereka semata-mata ingin menyelamatkan rakyat dari wabah dan marabahaya. Namun sayang suara moral dan kemanusiaan tersebut diabaikan dan tidak didengar oleh Pemerintah san DPR

“Sikap “keras kepala” Pemerintah dan DPR tersebut jelas menunjukkan pengabaian dan pengingkaran terhadap aspirasi rakyat. Pada saat yang sama sikap demikian dapat dipandang sebagai bentuk pengkhianatan terhadap aspirasi dan amanat rakyat,” kata Din.

Ditambahkan bahwa sikap Pemerintah itu jelas mengabaikan amanat Konstitusi untuk  “melindungi segenap rakyat dan seluruh tanah tumpah darah Indonesia”. Ketetapan untuk tetap melaksanakan Pilkada Serentak pada Desember nanti sebenarnya bertentangan dengan Peraturan Pemerintah sendiri (PERPPU No. 2/2020), Penjelasan Pasal 201A, Ayat 3, bahwa Pilkada serentak ditunda apabila tidak dapat dilaksanakan karena musibah nasional Pandemi Covid-19.

“Hal ini mengandung arti bahwa Pemerintah melanggar Peraturan Perundang-Undangan yang ada. Juga, pelaksanaan Pilkada serentak itu nanti tidak sejalan dengan ucapan Presiden Jokowi sendiri bahwa Pemerintah lebih mengutamakan penanggulangan masalah kesehatan dari pada stimulus ekonomo (dan tentu juga agenda politik).”

Semua itu, kata Din, baik pengabaian aspirasi rakyat, maupun pelanggaran Konstitusi dan Undang-Undang, serta adanya ketaksesuaian ucap dan laku, sangat beresiko besar. Apalagi, patut diyakini bahwa pelaksanaan Pilkada, yg niscaya mendorong kerumunan massa, sangat potensial dan rentan menciptakan klaster baru Covid-19.

“Siapkah Pemerintah menanggung akibat dan resikonya? Waktu masih ada untuk berpikir jernih dengan akal sehat untuk mengutamakan kesehatan dan keselamatan rakyat, dari pada ingin mengedepankan kekuasaan, atau mengutamakan kepentingan politik kelompok/partai politik.” demikian Din syamsuddin mengakhiri pendapatnya. (fur).

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *