Jangan Takut Diteror Atau Meneror Musuh Islam

Jangan Takut Diteror Atau Meneror Musuh Islam
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Jangan Takut Diteror Atau Meneror Musuh Islam

Oleh Irfan S. Awwas

Bersyukur kepada Allah Swt yang telah menakdirkan kita menjadi generasi yang menyaksikan kebenaran nubuwah Rasulullah Saw, tentang salah satu fenomena akhir zaman.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Suatu hari, Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu menyampaikan nubuwah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, tentang munculnya situasi dan kondisi masyarakat yang penuh tipu daya.
Nubuwah Rasulullah Saw 14 abad yang lalu tersebut, sangat relevan dengan fenomena sosial- politik yang terjadi di zaman kita sekarang.

Rasulullah Saw bersabda:
سَيَأْتِيَ عَلَى الناَّسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتٌ يُصَدَّقُ فِيْهَا الْكَاذِبُ وَيُكَذَّبُ فِيْهَا الصَّادِقُ وَيُؤْتَمَنُ فِيْهَا الْخَائِنُ وَيُخَوَّنُ فِيْهَا الأَمِيْنُ وَيَنْطِقُ فِيْهَا الرُّوَيْبِضَةُ قِيْلَ وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ قَالَ الرَّجُلُ التَّافِهُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ

“Akan tiba pada manusia tahun-tahun penuh tipu muslihat. Ketika itu, orang bohong dianggap jujur. Orang jujur dianggap bohong. Pengkhianat dianggap amanah. Orang yang amanah dianggap pengkhianat. Saat itu, Ruwaibidhah berbicara. Ada yang bertanya, “Siapa Ruwaibidhah itu?” Nabi menjawab, “Orang bodoh yang mengurusi urusan orang banyak.” (HR. Hakim).

Hari-hari ini kita menyaksikan banyaknya orang berdusta atas nama rakyat. Kita menyaksikan adanya pejabat negara yang diberi amanah, tapi kemudian mengkhianati amanah tersebut. Kita juga menyaksikan, seorang presiden, gubernur, bupati, wali kota, camat, lurah, dipilih oleh rakyat melalui pemilu, pilkada maupun pilkades. Tapi setelah berkuasa mereka menipu, berbohong dan menindas rakyatnya.

Kita menyaksikan penguasa zalim menutupi kezalimannya dengan menebar berita hoax melalui lisan dan tulisan para buzzer dan influencer bayaran. Lalu, mereka meneror rakyat yang bersikap kritis terhadap aturan dan kebijakan penguasa yang menyengsarakan kehidupan masyarakat. Kita menyaksikan orang bodoh jadi pemimpin, bicara manis atas nama rakyat, tapi hakekatnya boneka piaraan asing dan aseng.

Kini, kita semakin sering menyaksikan teror terhadap ulama, kyai, ustadz. Tidak saja dilakukan melalui persekusi, bullying, tapi juga teror secara pisik. Ada ulama ditusuk saat berceramah. Ada kyai dibunuh saat mengimam shalat di masjid, atau sedang berzikir di mihrab masjid. Sudah banyak pembunuhan, pemukulan terhadap para ustadz di berbagai daerah yang dilakukan orang yang “tidak dikenal”. Para pelaku penganiayaan ini, ada yang dihukum tapi lebih banyak distigma sebagai orang gila oleh aparat kepolisian.

Peristiwa tragis ini terjadi, bukan di masa konflik, tapi di masa damai, sedang dilanda pandemi covid 19, dan di tengah masyarakat mayoritas muslim negeri ini. Segala kesaksian ini, akan dipertanggung jawabkan kelak di hadapan Mahkamah Ilahy. Apakah kita termasuk pendukung dan pengikut ruwaibidhah, ataukah pendukung dan pembela kebenaran Agama Allah.

Perang Zatur Riqa

Segala bentuk teror, baik persekusi maupun penganiayaan fisik, terhadap ulama maupun tokoh agama yang terjadi di negeri kita, biasanya dilakukan oleh mereka yang berideologi sosialis komunis, yang menganggap agama dan orang beragama sebagai musuh yang harus disingkirkan.

Di zaman awal Islam, teror terhadap Da’i muslim yang sedang menjalankan misi menyebarkan ajaran Islam, juga pernah terjadi.

Suatu ketika Rasulullah mendapat kabar gembira, tentang beberapa kaum yang ingin memeluk Islam. Kaum itu meminta Rasulullah mengirim utusan untuk mengajarkan Islam kepada mereka.

Permintaan itu dijawab Rasulullah dengan mengirim 70 sahabatnya yang sangat istimewa. Dalam bahasa kita sekarang, para sahabat yang dikirim sebagai duta Islam, adalah mereka yang penguasaan atas ilmu agama mumpuni, hafidz Qur’an dan good looking.

Begitu istimewanya para sahabat ini, hingga mereka tidak dibolehkan ikut perang. Ini semata-mata agar mereka mendalami ilmu agama seperti diajarkan Rasulullah secara langsung sehingga bisa menyebarkan Islam.

Mereka adalah kader Da’i terbaik Rasulullah. Mereka sudah mencapai derajat qurra’, yang tidak hanya hafal Alquran, melainkan juga paham hukum-hukum syariat dan berpengetahuan luas. Para sahabat itu kemudian berangkat melaksanakan perintah Rasulullah, mendakwahkan dan mengajarkan Islam kepada kaum Bani Sulaim.

Namun tragedi kelam menimpa para Du’at Islam itu ketika mereka sampai didekat sumur bernama Bir Ma’unah.
Di dekat sumur itu, mereka dibantai secara biadab oleh kaum kufar Bani Sulaim. Kabar pembantaian tersebut sampai kepada Rasulullah, yang membuat Sang Nabi sangat terpukul.

Maka pada bulan Rabiul Awal tahun 7 H. Rasulullah mengirim pasukan yang terdiri dari 700 orang mujahid siap perang, menuntut balas terhadap para teroris yang telah membunuh para Du’at muslim itu.

Rasulullah Saw memimpin pasukan perang menempuh jarak perjalanan hampir sejauh 100 kilometer, yang ditempuh selama beberapa hari. Siang malam beliau dan para sahabatnya menerobos masuk ke pedalaman padang pasir bersama sahabat-sahabat yang setia. Berhari-hari berjalan kaki, tertampar panas dan debu pasir. Berselimut malam yang dingin. Mereka tak mengeluh menemani utusan Allah yang mulia. Hingga akhirnya mereka tiba di perkampungan Ghatafan yang terletak di timur laut Kota Madinah.

Imam al-Bukhari meriwayatkan kisah Abu Musa al-Asy’ari tentang perjalanan jauh dan beratnya perjalanan menuju Ghatafan.
خَرَجْنَا مَعَ النَّبِيِّ فِي غَزْوَةٍ، وَنَحْنُ سِتَّةُ نَفَرٍ، بَيْنَنَا بَعِيرٌ نَعْتَقِبُهُ، فَنَقِبَتْ أَقْدَامُنَا وَنَقِبَتْ قَدَمَايَ وَسَقَطَتْ أَظْفَارِي، وَكُنَّا نَلُفُّ عَلَى أَرْجُلِنَا الْخِرَقَ؛ فَسُمِّيَتْ غَزْوَةَ ذَاتِ الرِّقَاعِ لِمَا كُنَّا نَعْصِبُ مِنَ الْخِرَقِ عَلَى أَرْجُلِنَا

“Kami keluar bersama Nabi dalam suatu peperangan. Enam orang bergantian menaiki satu onta. Kaki-kaki kami terluka. Demikian juga dengan kakiku, hingga kuku-kukunya lepas. Kami balut kaki-kaki kami dengan kain. Karena itulah perang ini dinamai Perang Dzatur Riqa’. Dikarenakan apa yang kami lakukan, (yaitu) membalut kaki-kaki kami dengan kain.” (HR. al-Bukhari, Kitab al-Maghazi Bab Ghazwah Dzatu ar-Riqa’, 3899).

Dalam Fath al-Bari, Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Na’taqibuhu artinya bergantian satu per satu menaikinya. Mereka mengendarai onta sebentar lalu turun dan gantian dengan yang lain. Hingga sampai tempat tujuan.” (Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari. Cet. Dar al-Ma’rifah 1379, 7/421).

Bayangkan! Sejauh-jauhnya kita berjalan kita hanya punya pengalaman kaki kita lecet karena sepatu. Kemudian kita pun berhenti dan tertatih. Para sahabat nabi menempuh suatu perjalanan hingga kuku-kuku kaki mereka lepas. Tapi mereka tidak mengeluh. Betapa capeknya badan. Betapa perihnya luka. Tapi jiwa mereka tak bosan. Semangat mereka tak mengendur menemani kekasih mereka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Jika umat Islam hari ini, ingin tahu filosofi cinta, kesetiaan, dan loyalitas pada kebenaran dan pembela kebenaran. Maka, ittiba’lah pada para sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bukan ittiba’ pada kyai, ustadz, ulama zaman sekarang.

Sebab prilaku ulama, kyai, ustadz di zaman sekarang, tidak semuanya layak ditiru. Bahkan cenderung sesat dan menyesatkan.

Ada kyai, yang memimpin ormas para ulama, mengatakan, “Cina bukan komunis, yang komunis itu bangsa Arab.” Kyai ini juga mengatakan Islam nusantara lebih baik dari Islam Arab. Lalu dengan bangga mengatakan, siap membuka cabang kafir, bagi ormas yang dipimpinnya. Sehingga, diantara pengikutnya ada yang ceramah di greja, melakukan sinkretisme shalawat dan lagu-lagu kristiani. Ada juga ustadz yang tadinya kritis, tapi setelah jadi abdi istana, dia memuja muji penguasa melebihi keimanan dan akal sehat.

Ada juga ulama yang menebar syubhat atas nama menangkal radikalisme. Lalu mengusulkan pada penguasa supaya mengkaji ulang pelajaran fiqih di pondok pesantren. Karena, kata sang ulama yang bertindak sebagai imam besar masjid ini, pelajaran fiqih yang ada saat ini masih produk era perang salib; yang mempertentangkan negara Islam dengan negara non Islam.

Nabi diteror

Sepulang dari Perang Dzatur-Riqa, Nabi Muhammad duduk sendirian di bawah sebatang pohon. Ghaurats Ibnul Harits melihat saat itulah kesempatan emas untuk membunuh beliau.

Ghaurats mendekat dan diacungkannya pedang ke arah wajah Nabi Muhammad. Dengan siap menantang, ia bertanya, “Siapa yang dapat melindungimu dariku?”

Dengan yakin dan tenang,
Muhammad menjawab, “Allah.”

Tiba-tiba saja pedang di tangan Ghaurats itu jatuh. Nabi kemudian memungutnya dan mengacungkannya ke arah Ghaurats lalu bertanya, “Sekarang siapa yang dapat melindungimu dariku?”

“Maafkanlah saya,” pinta orang itu.

“Ucapkanlah, ‘Asyhadu ala ilaaha illallah wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah.”

“Tidak”, kata Ghaurats, “tetapi aku berjanji kepadamu untuk tidak memusuhimu, dan tidak akan bergabung dengan orang-orang yang memusuhimu!”

Memang, tidak ada paksaan dalam memeluk Islam. Ketika tiba kembali di antara kaumnya, setelah Rasulullah memaafkan dan celana penerornya itu. Ghaurats berkata, “Aku baru saja kembali dari sebaik-baiknya orang di dunia ini.”

Di zaman fitnah penuh tipu muslihat ini, kerjakeras kaum zionis, kristen ekstrim, komunis radikal, nasionalis sekuler, munafiq fasik untuk mendiskreditkan Islam, menggunakan teror, persekusi, intimidasi, akan gagal total. Apabila umat Islam melaksanakan syariat Islam secara konsisten. Berani diteror dan meneror untuk kepentingan agama dan negara.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ- رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا-، قَالَ‏:‏ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ- صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ-‏:‏ ‏”‏ خَيْرُ النَّاسِ فِي الْفِتَنِ رَجُلٌ آخِذٌ بِعِنَانِ فَرَسِهِ- أَوْ قَالَ‏:‏ بِرَسَنِ فَرَسِهِ- خَلْفَ أَعْدَاءِ اللَّهِ يُخِيفُهُمْ وَيُخِيفُونَهُ، أَوْ رَجُلٌ مُعْتَزِلٌ فِي بَادِيَتِهِ يُؤَدِّي حَقَّ اللَّهِ تَعَالَى الَّذِي عَلَيْهِ

“Dari Ibnu Abbas, Rasulullah Saw bersabda: ‘Manusia terbaik di masa munculnya fitnah terhadap Islam, yaitu seorang muslim yang memegang kendali tali kekang kudanya berjalan di belakang musuh-musuh Allah untuk meneror mereka dan merekapun menerornya. Atau seorang muslim yang mengasingkan dirinya di perkampungan daerah pegunungan untuk menunaikan kewajibannya pada Allah”. (HR. Imam Al- Hakim dalam Al-Mustadrak)

Jogjakarta, 25/9/2020
IRFAN S. AWWAS

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *