Membangkitkan Spirit Wirausaha Santri

Membangkitkan Spirit Wirausaha Santri
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Membangkitkan Spirit Wirausaha Santri

Oleh: Dr. Mohammad Nasih
Pengasuh Pondok Pesantren dan Sekolah Alam Nurul Furqon (Planet NUFO) Mlagen Pamotan Rembang, Pengajar di FISIP UMJ dan Pascasarjana Ilmu Politik UI. ( Redaktur Ahli Hajinews.id )

Santri identik dengan pribadi yang sangat sederhana. Pakaian sarung dan peci, juga sikap tawadlu’ menjadi ciri khasnya. Segala tindak tanduknya tidak lain merupakan upaya peniruan kepada ustadz atau kiai. Karena segala copy paste dari guru inilah, maka muncul sebutan santri.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Sikap meniru ini sejatinya merupakan peluang besar untuk membentuk kepribadian santri. Jika guru di pesantren memanfaatkan ini dengan baik, maka akan lahir pribadi-pribadi santri tangguh, yang tidak hanya akan menguasai disiplin ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga memiliki keterampilan hidup yang tinggi. Namun, problem umum santri selama ini adalah tidak berdaya dalam aspek ekonomi.

Ada dua hal yang menjadi penyebab utamanya, yaitu:

Pertama, mayoritas santri berasal dari kalangan kalangan pedesaan yang dalam aspek ekonomi terbilang golongan menengah bawah. Mereka tidak memiliki lingkungan yang mensosialisasikan sikap hidup sebagai pribadi yang memiliki keterampilan tingkat tinggi untuk menguasai aspek duniawi.

Kedua, mayoritas santri menerima paradigma fatalistik atau jabariyah. Pandangan umum santri adalah pandangan yang tidak tepat mengenai pentingnya penguasaan dunia demi kepentingan akhirat. Walaupun do’a yang sering dibaca adalah “rabbanaa, aatinaa fi al-dunyaa hasanah, wa fi al-aakhirati hasanah, Wahai Tuhan kami, berikan kepada kami kebaikan di dunia ini, dan juga kebaikan di akhirat nanti”, tetapi keadaan hidup mereka di dunia ini tidak memadai karena serba ketinggalan.

Dimulai dari ketertinggalan dalam aspek ekonomi, kemudian berimplikasi kepada aspek teknologi. Masih beruntung, karena jumlah mayoritas santri dalam sistem politik demokrasi ini bisa relatif dimobilisasi, sehingga mobilitas sedikit elite pesantren bisa menempati posisi-posisi politik yang penting.

Santri belum begitu merasa perlu untuk memiliki keterampilan yang canggih untuk menguasai aspek ekonomi, karena mereka sering mendengar bahwa Allahlah yang akan mengatur semuanya. Dan dalam kehidupan keseharian, mereka melihat panutan mereka memiliki kemapanan ekonomi, bahkan walaupun tidak memiliki keterampilan khusus yang berhubungan langsung dengan sumber pendapatan. Bahkan bisa dikatakan bahwa kehidupan sebagian elite pesantren tergolong mewah. Di sinilah letak kesenjangan antara santri dengan panutan mereka sendiri. Sebab, elite pesantren sesungguh difasilitasi oleh ummat yang secara ekonomi dalam keadaan lemah dan sangat lemah.

Untuk mengubah keadaan ini, para elite pesantren sesungguhnya cukup hanya dengan memberikan contoh sikap hidup yang benar-benar seimbang. Perspektif yang diberikan, juga sikap hidup yang disosialisasikan kepada para santri haruslah realistis bahwa dunia ini harus dikuasai dengan cara yang baik untuk mengusahakan kebaikan yang luas.

Dan sesungguhnya itulah ajaran Islam yang bisa ditemukan baik di dalam al-Qur’an maupun sunnah Nabi. Di dalam al-Qur’an, di samping ada ajaran tentang zakat, infak, sedekah, juga terdapat ajaran jihad yang semuanya hanya bisa dijalankan dengan paripurna apabila memiliki kecukupan harta.

“Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.” (al-Taubah: 20)

Ibadah haji yang merupakan rukun Islam kelima, juga menjadi wajib bagi yang memiliki kemampuan, di antaranya mempersiapkan perbekalan. Bahkan al-Qur’an memerintahkan secara khusus untuk ini agar tidak menjadi beban orang lain.

Jangan sampai kritik al-Qur’an terhadap para ulama’ Yahudi dan Nasrani justru juga mengarah kepada kalangan pesantren, wa bi al-khusus elitenya

Nabi memberikan contoh nyata bahwa sebelum menjalankan tugas dakwah adalah seorang profesional, bahkan sejak sangat belia. Karena profesionalitas yang dimiliki itulah, maka Muhammad kecil diajak oleh pamannya Abu Thalib dalam sebuah misi dagang. Martin Lings menyebutkan bahwa keterampilan Muhammad kecil berupa menundukkan unta yang merupakan moda transportasi utama kafilah Quraisy pada saat itu.

Pengalaman inilah yang berpengaruh kepada kehidupan Muhammad berikutnya, sehingga menjadi seorang yang dipercaya oleh seorang perempuan kaya raya, yang kemudian perempuan tersebut bahkan tertarik untuk menikah dengannya. Memang bukan faktor ekonomi yang melatarbelakanginya, melainkan Khadijah memang sudah tahu bahwa pemuda profesional yang dipercayainya untuk menjadi fund managernya itu adalah calon rasul yang terakhir berdasarkan informasi yang didapatkannya dari Injil yang masih asli. Dan setelah menikah, Khadijah mengatakan kepada suaminya bahwa hartanya boleh digunakan untuk apa pun yang ia suka.

Dan benar, dalam perjalanan dakwah, Khadijah yang menjadi orang pertama beriman kepada kerasulan Muhammad, bahkan lebih dari lima belas tahun sebelum diangkat menjadi rasul, menghabiskan seluruh harta kekayaannya, sehingga meninggal dalam keadaan bajunya banyak tambalannya. Nabi Muhammad pun demikian, meninggal dalam keadaan baju besinya masih tergadai.

Sejarah hidup keluarga Nabi inilah yang mertinya menjadi contoh konkret kalangan pesantren untuk membangkitkan spirit kewirausahaan. Sebab, dakwah membutuhkan bekal yang bahkan tak terbatas jumlahnya. Bukan sebaliknya, menjadikan dakwah sebagai sarana dan sumber pendapatan. Jika paradigma ini diinternalisasikan dengan tepat, lalu dijalankan dengan konsisten, maka spirit wirausaha dan berdaya para santri akan bangkit.

Mereka bahkan bisa merasa malu jika tidak menjadi orang-orang kaya dalam arti yang sesungguhnya. Kaya (ghaniyyun) dalam perspektif hakiki adalah tidak butuh (laa haajata). Prakteknya adalah banyak harta dan tidak membutuhkannya bagi kehidupan sendiri, tetapi sebaliknya digunakan untuk kepentingan dakwah Islam yang harus dilakukan sepanjang masa.

Kalangan pesantren secara umum, perlu menjadikan kesalahan elite agamawan di masa lalu dalam hal penyimpangan materi sebagai pelajaran. Al-Qur’an melakukan kritik keras tentang hal ini dalam:

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.” (at-Taubah: 34)

Jangan sampai kritik al-Qur’an terhadap para ulama’ Yahudi dan Nasrani justru juga mengarah kepada kalangan pesantren, wa bi al-khusus elitenya. Wallahu a’lam bi al-shawab.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Komentar