Hoaks Dan Fakta Omnibus Law UU Cipta Kerja Yang Belum Dipublikasikan

Hoaks Dan Fakta Omnibus Law UU Cipta Kerja Yang Belum Dipublikasikan
Chazali H. Situmorang
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Hoaks Dan Fakta Omnibus Law UU Cipta Kerja Yang Belum Dipublikasikan

By: Chazali H. Situmorang, Pemerhati Kebijakan Publik/Dosen FISIP UNAS

Sampai hari ini pihak DPR, seperti yang dikatakan Ketua Baleg DPR di TV ONE malam ini (11/10/2020), belum mengedarkan hasil keputusan Sidang Paripurna DPR tanggal 5 Oktober 2020 yang lalu, tentang penetapan Omnibus Law UU Cipta Kerja, yang katanya merupakan produk UU dari 76 UU, seribu halaman lebih, yang dilebur atau dikandangkan dalam Bus yang bernama Omnibus Law.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Oleh karena itu dalam tulisan saya sebelumnya “Korelasi Sebab Akibat Demo Buruh Dengan Omnibus Law UU Cipta Kerja” tidak menyinggung soal isi UU Cipta Kerja itu, karena memang belum ada hasil Keputusan Paripurna DPR.

Memang tidak masuk dalam akal sehat manusia, suatu produk UU yang meleburkan puluhan UU lainnya, dengan ratusan atau mungkin ribuan pasal dan ribuan halaman, diputuskan dalam suatu Sidang Paripurna tanpa bahan final, dimana implikasi UU itu mempunyai dampak yang luar biasa dalam perjalanan kebijakan publik yang dilakukan pemerintah di masa mendatang.

DPR sepertinya tidak punya tanggung jawab moral kepada rakyatnya, bahkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa Allah SWT, menghasilkan suatu UU yang belum dapat diperhitungkan sejauh mana daya rusak maupun daya ungkit untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat banyak, dan mempertahankan kelestarian asset isi bumi negeri Indonesia.

Pengakuan Ketua Baleg DPR, “Kan memang sudah diumumkan, naskah final itu sudah. Cuma kita sekarang… DPR itu kan punya waktu 7 hari sebelum naskah resminya kita kirim ke pemerintah. Nah, sekarang itu kita sisir, jangan sampai ada yang salah pengetikan, tapi tidak mengubah substansi,” kata Ketua Panja RUU Ciptaker Supratman Andi Agtas saat berbincang dengan detikcom, Jumat (9/10/2020) pukul 10.56 WIB.

Pertanyaan, siapa yang bisa menjamin bahwa tidak sekedar perbaikan salah ketik, tidak merubah substansi?. Kalau memang ada waktu 7 hari, kenapa Sidang Paripurnanya tidak diundurkan 7 hari, artinya bukan tanggal 5 Oktober 2020, tetapi 12 Oktober 2020, sambil disisir mana yang salah ketik, mana yang belum sinkron atau apa masih ada yang bertolak belakang?.

Dengan demikian, pada saat Sidang Paripurna, bahannya sudah sempurna, baru ketok palu, dan dipublikasikan kepada stake holder terkait. Jika hal seperti itu dilakukan, tidak ada muncul UU Cipta Kerja hoaks dimasyarakat, karena sudah dapat di bantah dengan fakta UU Cipta Kerja hasil keputusan Paripurna.

Hari-hari ini pemerintah, bahkan Presiden Jokowi ikut turun tangan membantah hoaks yang berkembang di masyarakat, yang mencakup ada 7 isyu yang dibantah Presiden, mulai soal hak mendapatkan cuti buruh, sampai dengan upaya upaya untuk memutus mata rantai korupsi.

Bantahan Presiden itu belum bisa disertai dengan pasal-pasal terkait sebagai fakta dalam Omnibus Law UU Cipta Kerja yang diputuskan DPR. Karena DPR belum siap dengan UU Cipta Kerja yang final. Jadi siapa yang mau dituduh menyebarkan hoaks , sedangkan yang benar saja belum ada.

Boleh jadi, kalau DPR mau bersabar, tidak terburu-baru, tidak arogan, menyelesaikan pekerjaannya dengan hati-hati, teliti, karena begitu banyak tenaga ahli yang pintat-pintar di Baleg DPR yang dapat mengerjakan penyusunannya dengan baik, dikawal oleh Tim Kerja DPR yang sudah ditetapkan, mungkin hasilnya lebih baik.

Kalau yang dikerjakan DPR dengan pemerintah itu betujuan baik, untuk kepentingan pekerja, dan semua kelompok masyarakat termasuk pengusaha, dituangkan dalam pasal-pasal yang jelas dan tidak multitafsir, boleh jadi tidak akan ada demo. Tidak ada ruang untuk pihak-pihak yang membonceng untuk melakukan pembakaran, pengerusakan sarana umum, kendaran dan pos-pos polisi. Polisi tidak perlu repot-repot menangkapi anak-anak muda, yang menurut polisi tidak paham kenapa mereka ikut demo.

Tetapi jika isinya ( belum tentu benar) karena belum ada dokumen resmi, antara lain, memberikan karpet merah bagi investor asing, mengurangi hak-hak normatif pekerja, mereduksi wewenang Pemerintah Daerah Kab/Kota, potensi melemahkan otonomi daerah dan memperkuat sentralisasi, sehingga kekuasan full power pada pemerintah pusat. Maka demo bukan saja dilakukan oleh para buruh, tetapi juga masyarakat lainnya, terutama di daerah-daerah yang tentu merepotkan para Gubernur/Bupati/Walikota, dan dampak kerusakan yang menjadi beban Pemerintah Daerah.

Bagi pemerintah, Omnibus law UU Cipta Kerja, sepertinya sudah harga mati. Tidak akan mundur, apapun terjadi. Presiden menyilahkan masyarakat untuk menggugatnya (Judcial review) di Mahkamah Konstitusi. Mungkin pemerintah yakin menang di MK, karena Presiden sudah meminta pihak MK mendukung. Demikian juga DPR sudah memberikan umur panjang bagi para Majleis Hakim MK.

Jika MK memenangkan pemerintah, maka tiga pilar kekuasaan negara, pemerintah, DPR, MK, bekerja sama untuk melawan dan mengalahkan rakyatnya. Lantas apa yang bisa dilakukan Muhammadiyah, NU, KAMI sebagai kekuatan moral ekstra parlementer untuk melindungi rakyat dan ummatnya?. Sekedar bertanya. Cibubur 12 Oktober 2020

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Komentar