Pilkada: Vaksin ataukah Virus Pandemi Korupsi

Pilkada: Vaksin ataukah Virus Pandemi Korupsi
N Ghufron Saubari
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Pilkada: Vaksin ataukah Virus Pandemi Korupsi

Oleh N Ghufron Saubari

Covid 19 yang melanda seluruh dunia memberikan pelajaran bahwa pendekatan terhadap penyakit itu tergantung pada jenis penyakitnya, kalau sindrom yang menjangkiti sangat personal maka pendekatannya secara kasuistis, namun kala penyakit melanda secara merata dengan karakter yang sama kita sebut sebagai pandemic, pendekatannya pun harus secara sistematis, tidak saja Kesehatan bahkan dengan kebijakan social dan hukum secara komprehensif. Angka pemberantasan korupsi KPK dari 2004 sampai 2020 jumlah pejabat daerah yang dihukum: DPRD 274, Gubernur 21, Walikota/Bupati dan Wakil 122. Area dan modus korupsinya relative sama berkisar pada Pengadaan Barang dan Jasa, Perijinan, dan Sumberdaya Manusia. Modus tersebut hampir merata disemua daerah. Berkiblat kepada pandemic covid 19, mungkin tidak terlalu berlebihan kalau kita menganggap korupsi sebagai pandemic,

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Pendekatan kasusistis menangkap secara heroik Penyelengara Negara dari Menteri sampai Kepala Daerah, dan menghukumnya dengan pidana setinggi-tingginya justifikasinya “supaya Pelakunya Jera” dan mencegah Penyelenggara Negara lainnya agar tidak melakukan korupsi juga. Justifikasi ini hampir tidak teralisasi, banyaknya koruptor tertangkap tangan terbukti tidak pernah mencegah korupsi selanjutnya, yang terjadi hanyalah, “kenapa kamu kok bisa tertangkap, kenapa kok bisa ketahuan dan seterusnya”. “Oh karena saya kemarin di transfer, sehingga mudah dilacak dari rekening bank, kalau begitu cash saja ya !. Metode cash terendus: “kalau begitu jangan bertemu, taruh saja ditempat sampah nanti saya remot lokasinya !. Pola dengan menepatkan ditempat tertentu semakin ribet karena tetap size nya besar, berganti dengan pecahan Uang Asing (USD, SGD atau lainnya supaya lebih simple), pola ini terendus berganti dengan memberikan kartu ATM. Ketahuan pola ATM : “ diluar negeri saja, semua tempat di Indonesia tidak aman ! Begitu seterusnya pelaku korupsi hanya berganti modus karena motivasinya masih harus korup.

Pilkada & Korupsi

9 Desember 2020 nanti akan dilaksanakan 270 Pemilihan Kepala Daerah terdiri dari 9 Gubenur, 224 Bupati, dan 37 Walikota. Berdasarkan kajian Kementerian Dalam Negeri biaya setiap pasangan calon yang dihabiskan untuk pilkada ini tidak kurang 20-30 M untuk kabupaten/kota dan 20 – 100 M untuk Gubenur kemungkinan dilapangan lebih dari itu, biaya tersebut untuk pelaksanaan kampanye dan saksi pada saat pemilihan. Belum lagi biaya mahar untuk mendapatkan rekomendasi parpol pengusung dan biaya yang akan diberikan kepada pemilih baik tunai ataupun natural. Semua biaya tersebut dalam kajian KPK hanya 18 % saja yang didanai secara pribadi sehingga 82% didanai pihak lain.
Secara alami maka setiap pasangan yang menang menjadi Kepala Daerah akan berfikir untuk mengembalikan modal biaya politik apalagi yang 82% sudah tergadai pada sponsor, sementara gaji, tunjangan dan insentif Bupati sekitar 30 juta – 50 juta sampai lima tahun tak lebih dari 3 Milyar.

Artinya biaya politik tersebut tidak akan kembali selama menjabat kalau tidak ada sumber penerimaan lainnya. Latar ini yang mendorong siapapun pasangan yang menang menduduki jabatan publik tersebut berfikir untuk “memperdagangkan perijinan, potensi daerah dan sumberdaya alam, proyek pengadaan barang dan jasa, tata kelola sumberdaya manusia dan lainnya, itu semua adalah Korupsi. Dalam proses demokrasi yang seperti ini Pilkada menjadi faktor kuat terjadi pandemic korupsi. Proses penindakan hanyalah melahirkan proses kucing-kucingan, bagaimanapun korupsi tetap dibutuhkan bagi paslon pemenang untuk mengembalikan modal apalagi juga untuk persiapan proses pilkada selanjutnya namun hanya bagaimana caranya agar tidak terendus penegak hukum. Dalam kondisi pilkada menjadi jual beli kewenangan, Pendekatan kasuistis hanya berlarian dari modus yang satu berganti ke lainnya, sementara calon koruptor terus berinovasi mencari modus baru yang dianggap aman. Ditebas 100 koruptor, akan tumbuh 1000 calon penggantinya.

Saatnya memikirkan penyelesaian pandemic korupsi ini secara sistematis, terpadu dan komprehensif dari hulu. Proses demokrasi untuk memilih pemimpin harus mampu meminimalisir salah/gagal produk. Demokrasi harapannya melibatkan semua warga untuk menentukan pemimpinnya, harapannya semakin terpilih yang mampu memikirkan kepentingan semua pemilihnya. Namun proses demokrasi yang rusak karena adanya politik uang berubah menjadi proses jual beli kuasa dari rakyat dijual belikan untuk kemudian digunakan dengan tanpa lagi memikirkan kepentingan rakyat, karena pilkada berubah menjadi transaksi jual beli kuasa, setelah dibayar paslon merasa telah membeli kuasa wewenang publik.
Untuk itu guna mengembalikan proses politik pilkada kembali kejalannya yang benar, sekaligus mencegah agar tidak berubah menjadi cluster baru pandemic korupsi, Pilkada 2020 harus dilaksanakan dengan perbaikan dalam 3 stakeholder, pertama Penyelenggara Pilkada (KPU), kedua Peserta pilkada dalam hal ini paslon yang diusung oleh Parpol maupun independen, dan ketiga masyarakat pemilih, ketiganya adalah penentu pilkada akan sukses menemukan Pejabat Publik ataukah Penjahat Publik.

KPU wajib untuk menjadi wasit yang netral dan adil dalam penyelenggaraan kontestasi demokrasi ini. Jangan sampai KPU merupakan kader yang gagal dalam pemilu kemudian dikaryakan ke KPU. Untuk itu persyaratan untuk menduduki jabatan penyelenggara pemilu minimal tidak memiliki hubungan keanggotaan parpol dalam waktu yang cukup lama agar menjamin imparsial dan bebas dari intervensi peserta.

Paslon idealnya adalah dari kader parpol, penelitian KPK menjelaskan biaya mahar untuk parpol itu tinggi karena kebanyakan paslon bukan kader Parpol, kalau kader Parpol relatif kecil bahkan tidak ada. Namun dalam sistem demokrasi yang liberal seperti ini, masyarakat pemilih masih menunggu serangan fajar, Parpol pun realitis memilih paslon yang tentu memiliki elektabilitas tinggi atau memiliki modal untuk mebiayai pesta demokrasi, maka sirnalah arti kaderisasi parpol. Bahkan jangan salahkan kalau kemudian melahirkan diaspora politik, kader parpol yang satu pindah dan didukung parpol lain begitupun sebaliknya. Untuk itu perlu perbaikan dua hal pertama syarat untuk mencalonkan harus dari kader parpol yang usia kaderisasi sudah cukup lama dan perlunya peningkatan penambahan biaya pembinaan bagi Parpol.

Pemilih pilkada haruslah disyaratkan yang memiliki kedewasaan politik cukup, selama ini pemilih pemilu diatur mereka yang telah berusia 17 tahun keatas dan/atau telah kawin, ukuran ini perlu ditinjau ulang. Karena faktor pendidikan dan kemampuan ekonomi yang menjadi pengaruh besar intergitas pemilih tidak diukur sedikitpun. Perlu dipikirkan kedepan mencari indikator syarat pemilih yang berintergitas misalnya dengan mendasarkan pada “pemenuhan kewajiban pajak”, asumsinya warga negara yang telah memenuh kewajibannya pada negara berhak untuk memilih pemimpinnya. Pajak sekaligus indikator kemampuan ekonomi, bagi warga yang kemampuan ekonominya sudah cukup maka integritas untuk memilih karena adanya serangan money politic akan cukup kuat untuk menjaganya.

Vaksin ataukah Virus Korupsi

Hanya dengan menjamin pilkada beritegritas kita mampu mencegah pilkada menjadi cluster pandemic korupsi, jika tidak maka siap-siaplah akan terbentuk cluster pandemic korupsi baru. Inilah masalah bersama bangsa yang tidak dapat dibebankan hanya dengan penegakan hukum, penangkapan demi penangkapan koruptor selama tidak diselesaikan dari hulu dan secara sistemik, agar angka demi angka pemberantasan korupsi hanya menjadi angka semu yang tidak menyelesaikan dan memberantas korupsi . Perlu diingat biaya Pilkada 2020 ini lebih dari Rp 15,195 T, kita semua berharap biaya tersebut merupakan biaya untuk membeli vaksi anti korupsi yaitu menemukan Kepala Daerah berintergitas, melayani dan mendorong kemajuan daerahnya, dan bukan biaya untuk membeli virus pandemic korupsi, karena proses pilkadanya pilkada yang rusak. Alih-alih memilih Aparat Pejabat Publik yang melayani rakyat, bisa jadi yang terpilih penjahat public yang siap untuk memperdagangkan kewenangan, asset dan fasilitas public lainnya.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *