Koalisi Masyarakat Sipil Kritik Prosedur Pembubaran FPI-Berlawanan dengan Prinsip Hukum

Foto istimewa
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



HajinewsKoalisi masyarakat sipil yang terdiri dari KONTRAS, Institute Perempuan, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, LBH Pers, PBHI, PSHK, SAFENET, YLBHI YPII, membagikan pers rilis, sebagai bentuk kritikan terhadap pemerintah dalam proses pembubaran organisasi FPI yang bertentangan dengan prinsip hukum.

“Melawan Kekerasan Berbasis Agama Dengan Tetap Memperhatikan Prinsip Negara Hukum: Pernyataan Koalisi Masyarakat Sipil akan SKB Larangan Kegiatan,Penggunaan Simbol dan Atribut serta Penghentian Kegiatan FPI. Tertulis tanggal 30 Desember 2020.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

 

Surat Keputusan Bersama tentang Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut, serta Penghentian Kegiatan Front Pembela Islam (SKB FPI) bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum, khususnya terkait kebebasan berkumpul dan berserikat.

Dalam SKB FPI tersebut, salah satunya, didasarkan pada UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 16 Tahun 2017 (UU Ormas) secara konseptual pun sangat bermasalah dari perspektif negara hukum. Sebab UU Ormas memungkinkan pemerintah untuk membubarkan organisasi secara sepihak tanpa melalui proses peradilan _(due process of law)._

Beberapa permasalahan yang terdapat dalam SKB tersebut di antaranya:

Pertama,- pernyataan bahwa organisasi yang tidak memiliki Surat Keterangan Terdaftar (SKT), Front Pembela Islam (FPI) sebagai organisasi yang secara de jure bubar, tidaklah tepat. Bertentangan dengan UUD 1945. Konsekuensinya, organisasi yang tidak memiliki SKT dikategorikan sebagai “organisasi yang tidak terdaftar”, bukan dinyatakan atau dianggap bubar secara hukum.
Sebab baik Putusan MK No. 82/PUU-XI/2013 maupun UU Ormas tidak menentukan ataupun mengatur hal tersebut.

Kedua,-Pelarangan terhadap kegiatan serta penggunaan simbol dan atribut FPI pun tidak memiliki dasar hukum. Pasal 59 UU Ormas hanya melarang kegiatan yang pada intinya mengganggu ketertiban umum dan/atau melanggar peraturan perundang-undangan. UU Ormas ‘tidak melarang suatu organisasi kemasyarakatan untuk berkegiatan sepanjang tidak melanggar ketentuan Pasal 59 tersebut’.

Ketiga,- prosedur pembubaran organisasi tanpa melalui peradilan. SKB FPI menjadikan UU Ormas yang bermasalah secara konseptual sebagai dasar hukum. Sejak UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan diubah dengan Perppu No. 2 Tahun 2017 dan kemudian disahkan menjadi UU No. 16 Tahun 2017, prosedur pembubaran organisasi kemasyarakatan tidak lagi melalui mekanisme peradilan, tetapi hanya dilakukan sepihak oleh pemerintah. Sejak perubahan tersebut, setidaknya sudah dua organisasi dibubarkan, yaitu Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Perkumpulan ILUNI UI.

Seharusnya, mekanisme penjatuhan sanksi—termasuk berupa pembubaran—terhadap organisasi, dilakukan melalui mekanisme peradilan. Hal ini mengingat bahwa, pada dasarnya, setiap kesalahan subjek hukum harus ‘dibuktikan’ terlebih dahulu ‘di hadapan pengadilan’ sebelum subjek hukum tersebut dijatuhi sanksi.

Koalisi Masyarakat Sipil menekankan, penjatuhan sanksi, pelarangan kegiatan, ataupun pembubaran organisasi secara sepihak oleh negara berbahaya bagi keberlangsungan demokrasi. Sebab ketentuan tersebut berpotensi disalahgunakan oleh siapapun yang menjadi penguasa untuk membungkam organisasi-organisasi warga—baik berbentuk perkumpulan, yayasan, maupun organisasi tidak berbadan hukum—yang dianggap terlalu kritis, bertentangan, atau memiliki pendapat berbeda dengan pemerintah. Dan mengarah para otoritarianisme. *Ingeu-dsb

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Komentar