Pakar Hukum: Pembubaran FPI Berkaitan dengan Kekalahan Ahok di Pilkada DKI

foto antara
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Hajinew – Keputusan pembubaran FPI masih terus menjadi bahasan, terutama para Pakar Hukum, salah satunya, Pakar Hukum  Pidana Dr Muhammad Taufiq yang juga turut memberikan opininya. Muhammad Taufik sendiri menduga pembubaran Front Pembela Islam (FPI) ini, justru ada kaitannya dengan kekalahan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dalam Pilkada DKI Jakarta 2017.

FPI dibubarkan dengan begitu saja tanpa melewati peradilan itu menunjukkan bahwa, Pemerintah sudah kebelet karena dirongrong dan didesak oleh kelompok tertentu. Tindakan ini pun bisa dibilang sebagai balasan karena FPI saat Pilkada DKI memberikan dukungan kepada pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

“Pembubaran FPI tidak melakukan tahapan sebagaimana yang diamanatkan dalam UU Ormas. Yang saya lihat, ini seperti orang kebelet karena marah luar biasa,” kata M Taufik dalam kanal Bravos Radio Indonesia di YouTube. dilansir jpnn, Sabtu (2/1/2021).

“Saya tidak tahu, apakah itu ada kaitannya dengan Pilkada DKI. Yang pasti pembubaran HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) dan sekarang FPI itu masih terkait erat dengan kekalahan Ahok dalam Pilkada DKI,” sambungnya. Sepertinya, kata Taufik, ada pihak-pihak tertentu yang mendesak pemerintah segera membubarkan FPI. Jadi hal ini tidak ada dari sisi hukum mana pun, maka itu semua ditabrak.

 

Tak diberi kesempatan menjalani proses peradilan seperti HTI

Mestinya, pembubaran FPI harus lewat empat tahap. Mulai dari pemberian peringatan hingga tiga kali. Kalau tidak diindahkan nanti digugat ke pengadilan. Dalam tempo 30 hari persidangan itu akan diputuskan. Di situ, kata Taufik, baru muncul FPI ini diteruskan atau tidak. Karena lewat proses peradilan mereka punya hak untuk mengajukan banding, kasasi seperti yang dilakukan HTI. Sayangnya untuk kasus FPI tidak demikian.

“Saya melihat ini sangat kacau, jadi ini ada dua kesalahan fundamental memahami hukum. Perkumpulan itu ada dua yang berbadan hukum dan tidak berbadan hukum,” ujarnya.

Yang tidak berbadan hukum, jelasnya, seperti CV, firma, UD dan sebagainya. Contohnya itu perkumpulan. Yang berbadan hukum itu antara lain yayasan dan salah satunya itu adalah bentuknya ormas. “Nah, kalau kita bertanya apakah yang dibubarkan Menko Polhukam Mahfud MD beserta lima petinggi, itu ormasnya atau perkumpulannya?” ujarnya, bertanya. Kalau perkumpulan yang sifatnya private itu tunduknya bukan pada UU Ormas, tetapi pada KUHP di mana diatur di Pasal 1338 bahwa perjanjian itu berfungsi sebagai undang-undang.

“Apa maksudnya undang-undang, bahwa semua orang yang di situ sepakat maka selesai sudah, berdirilah itu perkumpulan. Enggak perlu ada persetujuan pihak ketiga apalagi didaftarkan di Kemenkum HAM. Itu yang namanya perkumpulan yang tidak berbadan hukum,” bebernya. Baru menjadi masalah kalau perkumpulan itu berbadan hukum. Sebab, harus ada rekomendasi Pengadilan Negeri setempat kemudian dibuatkan anggaran dasar rumah tangga (AD/ART). Selanjutnya, didaftarkan di Kemenkumham, diundangkan. Baru itu menjadi perkumpulan yang berbadan hukum. Kalau tidak berbadan hukum maka tidak perlu. “Jadi negara ini kacau maka yang dibubarkan yang mana? FPI sebagai perkumpulan yang tidak berbadan hukum ataukah yang berbadan hukum,” sergahnya.

Dari kacamata hukum, lanjutnya, ini bukan hanya sekadar abuse of power, tetapi mereka sama sekali tidak menghormati hukum termasuk hukum positif. “Itu undang-undang kan mereka yang buat, tetapi mereka tabrak sendiri karena kebelet (marah) itu tadi,” ujar M Taufik. *iu–dbs

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

2 Komentar