Anak Yatim

Anak Yatim
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh Hasanuddin

Hajinews – “Anak yatim”, memiliki tempat sangat istimewa dalam ajaran Islam. Tidak mengherankan jika para founding fathers Indonesia yang memiliki kedalam pemahaman akan ajaran Islam, memasukkan prihal pemeliharaan anak yatim ini dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Terdapat sejumlah ayat dalam Al-quran yang membahas tentang anak yatim. Bahkan pada surah Al-Mauun di bawah ini, pengabaian terhadap anak yatim dikatakan sebagai bukti atas penghianatan terhadap ajaran Islam. Allah SWT berfirman:

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ (1) فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ (2) وَلَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ (3) فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (4) الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ (5) الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ (6) وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ (7)

“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang salat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna”

Pengertian tekstual ayat ini, sangat “terang”, sehingga dengan mudah di pahami. Secara batin terdapat banyak makna yang terkandung di dalamnya, antara lain: “anak yatim”. Kehadiran ruh yang ditempatkan (dengan cara “ditiupkan”) Allah ke dalam diri kita, menunjukkan bahwa ruh bukanlah bagian dari jasad, atau terpisah dari jasad. Namun ruh bukanlah anak keturunan dari Allah, ( lam yalid, wa lam yulad) pun bukan anak keturunan dari ibu dan bapak kita. Sebab itu kehadirannya adalah seperti “anak yatim”. Oleh sebab itu secara batin, anak yatim yang berpredikat al-fakir ini, sebagaimana yang dimaksud dalam frase kalimat “Tidak (menganjurkan) memberi makan kepada fakir miskin”.; diumpamakan sebagai “anak yatim”. Di mana kehadiran ruh dalam diri kita juga memerlukan pemeliharaan, memerlukan asupan gizi, agar berkembang secara sehat, berupa dzikir kepada Allah. Dengan dzikrullah pancaran cahaya Allah-lah akan membuat ruh ini dapat tumbuh dan berkembang secara sehat, sehingga kapasitasnya makin bertambah kuat, cahayanya makin terang. Sebab itu “celakalah orang yang shalat”, yaitu mereka yang ketika sholat mengabaikan esensi sholat yakni dzikrullah. Seseorang yang sholat, tapi tidak terkoneksi dengan Allah, selain berpotensi melakukan kemusyrikan, (menyembah selain Allah), juga sama sekali tidak bermanfaat bagi ruh. Sholat adalah “asupan gizi bagi kesehatan ruh”. Sebab itu sholat itu untuk kebaikan diri kita sendiri. Melalui sholat, Allah swt memenuhi kebutuhan ruh. Disebut kebutuhan ruhani, karena ruh yang menikmati “asupan gizi” berupa pancaran cahaya Ilahi. Sebagaimana tumbuhan menerima asupan gizi dari pancaran cahaya matahari.

Kata kunci berikutnya adalah “berbuat riya”. Pelaksanaan sholat umumnya dan utamanya, melenceng dari tujuannya dikarenakan ada unsur riya, dalam pelaksanaannya. Dan sebab itu, menjadi “barang yang tidak bermanfaat bagi pemenuhan kebutuhan ruh”.

Dalam perspektif sosial, implikasi dari ketercerahan, implikasi dari peningkatan kapasitas ruh, akan meningkatkan kemampuan aql dalam memahami sesuatu. Kepahaman kita terhadap kebutuhan akan ruh, membuat kita memiliki kepahaman terhadap orang lain, termasuk makhluk yang lain. Sehingga berimplikasi melahirkan sikap sebagai makhluk sosial. Kepedulian sosial, yang didorong oleh pemahaman bhw pada diri kita, dan pada diri orang lain, terdapat “makhluk suci” berdimensi Ilahiah, memunculkan respect yang berdimensi Ilahiah. Kita kemudian mencintai sesama, bukan semata karena kesadaran sebagai sesama etnis, suku, bangsa, atau sesama manusia, namun dimotivasi oleh kesadaran Ilahiah. Yang kita liat pada diri orang lain, adalah tajalli dzat-Nya yang terpancar dari ruh seseorang. Sehingga kita tidak terpengaruh oleh penampakan pisik dalam mencintai seseorang.

Kesadaran seperti itu akan memunculkan Akhlak dalam pergaulan, sebagaimana yang telah Rasulullah teladankan kepada kita semua, yang tidak membeda-bedakan budak hitam seperti Bilal, dengan para sahabatnya yang lain.

Memahami surah ini, melampaui dari pada sekedar teori-teori ttg toleransi, dan persamaan hak dan kedudukan sebagai warga negara.

Kita tentu berharap persoalan anak yatim, fakir miskin ini, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara memperoleh perhatian serius pemerintah.

Rabbi dzidni ilman warzukni fahman.

Depok, 3 Januari 2020

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *