Godaan kekuasaan kadang mendera. Jika membaca apa yang dituliskan Prof. Harry Azhar Azis (Tanjungpinang Pos, 2021) terkait dengan PB HMI tandingan, maka bolehjadi ini diprakrasai sekelompok alumni.
Keberadaan alumni HMI justru menjadi boomerang bagi keberadaan organisasi. Tidak saja HMI, tetapi bahkan sampai KAHMI dalam satu kurun waktu di masa lalu, juga pernah mengalami kondisi dualisme.
Perhelatan Rapat Anggota Komisariat (RAK) lebih mengemuka pada pencalonan ketua umum. Sebelum pembukaan RAK bahkan sudah dibuka pendaftaran calon, pemaparan visi-misi, kampanye di media sosial, dan pengerahan massa untuk menghadiri RAK.
Jika ini dilangsungkan, maka perlu jawaban atas pertanyaan ini “apa pasal sehingga proses seleksi ketua umum diutamakan? Berbanding dengan penjelasan tema RAK, juga road to RAK dengan diskusi, bedah buku, panel, seminar, peluncuran buku, dll”.
Gugatan untuk mengembalikan tradisi HMI juga turut disuarakan (Hidayat, 2005). Ada kegelisahan internal, betapa politik praktis mengemuka berbanding tradisi intelektual yang sudah melekat sebelumnya.
Dalam Bahasa Prof. Oman Fathurahman (2015) dinyatakan dengan perlunya “reaktualisasi tradisi intelektual Islam Indonesia”. Aktualisasi budaya akademik perlu mendapatkan adaptasi dengan perkembangan blog, media sosial, dan perangkat digital lainnya.