SKB 3 Menteri, Indonesia Darurat Sekularisme!

SKB 3 Menteri, Indonesia Darurat Sekularisme!
ilustrasi : seragam anak sekolah
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Endiyah Puji Tristanti

Hajinews – Ada apa dengan negara mayoritas muslim ini? Tak tanggung-tanggung, tiga pejabat sekelas menteri sekaligus meneken Surat Keputusan Bersama (SKB) terkait seragam keagamaan.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Dunia pendidikan yang awalnya damai dalam pluralitas, mendadak bergejolak pasca-SKB dikeluarkan. Negara terus bikin gaduh. Negara gagal mewujudkan tujuan pendidikan membentuk manusia beriman dan bertakwa dengan dalih menutup pintu intoleransi.

Dari laman kemdikbud.go.id, pada 3/2/2021 Kemendikbud, Kemendagri, dan Kemenag menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Nomor 021/KB/2021, Nomor 025-199 Tahun 2021, Nomor 219 Tahun 2021.

SKB mengatur tentang penggunaan pakaian seragam dan atribut bagi peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan di lingkungan sekolah yang diselenggarakan pemda pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.

Ada enam keputusan utama. Pertama, keputusan bersama ini mengatur sekolah negeri yang diselenggarakan oleh pemda. Kedua, peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan berhak memilih antara seragam dan atribut kekhususan agama atau tidak. Ketiga, Pemda dan sekolah tidak boleh mewajibkan ataupun melarang seragam dan atribut kekhususan agama.

Keempat, Pemda dan kepala sekolah wajib mencabut aturan yang mewajibkan atau melarang seragam dan atribut kekhususan agama. Kelima, jika terjadi pelanggaran terhadap keputusan bersama ini, maka diberlakukan sejumlah sanksi kepada pihak yang melanggar. Keenam, peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan beragama Islam di Provinsi Aceh dikecualikan dari ketentuan keputusan bersama ini.

Sekularisme Konsep Dasar “SKB Larangan Jilbab”

Diluncurkannya “SKB Larangan Jilbab” telah menggantang asap sila pertama Pancasila yang digagas founding fathers bangsa sebagai naskah religious pengayom umat beragama.

Pengecualian Provinsi Aceh dalam SKB sangat bisa memunculkan kecemburuan di antara sesama umat Islam negeri ini, seolah Islam hanya ada di Aceh sedangkan di luar Aceh merupakan provinsi sekuler.

Terlebih bila dilihat awal, pemicu keluarnya SKB 3 menteri ini adalah kasus jilbab sekolah di Padang. Padahal Padang, Sumatra Barat, merupakan Ranah Minang yang telah dikenal sebagai provinsi religius yang memiliki jasa besar terhadap kemerdekaan bangsa sebagaimana Aceh.

Lebih prinsip lagi, SKB seragam keagamaan telah menyerang syariat Islam terang-terangan dengan cara membangun ambiguitas. Seragam busana muslim tidak dilarang namun tidak boleh diwajibkan, dan pemerintah daerah dan sekolah yang tetap mewajibkan busana muslim kepada peserta didik, pendidik dan tenaga pendidikan layak dikenakan sanksi. Narasinya hampir sama dengan penggantian draft RUU Anti Pornografi-Pornoaksi menjadi UU Pornografi yang telah disahkan. Pornografi-pornoaksi tidak boleh dilarang, namun diatur oleh UU. Narasi-narasi islamophobia yang sejalan dengan konsep sekularisme. Tuhan tidak masalah diakui atau tidak diakui, yang pasti Tuhan tidak boleh mengatur kehidupan manusia dalam politik dan pemerintahan.

Analisa ini sebagaimana pendapat Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Anwar Abbas yang menilai SKB karya Mendagri Tito, Mendikbud Nadiem, dan Menag Yaqut akan mengarahkan Indonesia menjadi negara sekuler (4/2/2021).

Menurut Abbas, UU dan peraturan serta kebijakan yang dibuat pemerintah dan DPR dalam semua bidang kehidupan, termasuk dalam dunia pendidikan, semestinya didasari pada nilai-nilai dari ajaran agama.

Abbas juga menegaskan terkait pakaian anak-anak sekolah, negara justru seharusnya mewajibkan anak didiknya berpakaian sesuai dengan ajaran agama dan keyakinannya masing-masing.

Bahaya Moderasi Agama: Sekularisme Bertopeng Toleransi

Kaum sekuler radikal telah mengisi berbagai ruang kekuasaan negeri Seribu Wali. Islamofobia telah mencocok akal sehat penguasa. Menag Yakut menilai SKB 3 Menteri ini bertujuan untuk memberikan masyarakat pemahaman keagamaan yang substantif, bukan sekadar simbolik. Menurutnya, Indonesia harus mengadopsi konsep moderasi beragama dan salah satu indikator keberhasilan moderasi beragama adalah toleransi.

Benarlah sabda Rasulullah Saw. tentang bahaya sekularisme dengan setiap cabangnya. Pemerintahan Islam yang menerapkan syariat kafah telah ditinggalkan. Sekarang syariat Islam yang cabang disingkirkan satu demi satu. Sudah sampai syariat seragam busana muslimah yang dicabut dari kultur masyarakat Indonesia.

“Tali ikatan Islam akan putus seutas demi seutas. Setiap kali terputus, manusia bergantung pada tali berikutnya. Yang paling awal terputus adalah hukumnya (pemerintahan), dan yang terakhir adalah salat.” (HR Ahmad).

Di kemudian hari pasti sederet syariat akan dicampakkan dengan dalil moderasi agama dan toleransi, bila umat diam membisu memilih comfort zone membiarkan penguasa ruwaibidhah mengikuti hawa nafsunya.

Islam akan terus “diperkosa” sebagai ajaran substantif bukan lagi ideologi, syariat terus dimodernisasi dianggap tak sesuai dengan nilai-nilai universal, hak asasi, dan kebebasan. Sementara ulamanya dikriminalisasi dituduh makar dan pemecah belah bangsa. Indonesia darurat sekularisme!

Abu Nu’aim meriwayatkan dalam Kitab Al-Hilyah, dari Abur Riqaad, ia berkata, “Hendaknya kamu memerintahkan yang makruf, melarang yang mungkar, dan menyuruh kebaikan atau kamu sekalian akan disiksa bersama atau kamu diperintah oleh orang-orang jahat di antara kamu kemudian bila para tokohnya berdoa tidak lagi akan dikabulkan.”

Butuh Peraturan yang Mendidik Warga Negara Taat Syariat

Sebenarnya krisis yang dihadapi negara ini sangat mengkhawatirkan. Negara menghadapi masalah ketidaktaatan pejabat, pegawai negara dan rakyat terhadap berbagai peraturan perundangan. Mulai dari masalah kedisiplinan memakai helm dan kepemilikan SIM bagi pengendara, kedisiplinan protokol kesehatan masa pandemi, maraknya korupsi, darurat narkoba, seks bebas, penimbunan sembako, impor ugal-ugalan, suap kasus hukum dan masalah pelik lainnya. Intinya kegagalan negara mendidik warga negara untuk taat aturan. Mengapa?

Karena berbagai peraturan yang diterapkan negara tidak memiliki asas yang sama dengan asas kehidupan yang diimani oleh warga negara. Padahal, penduduk Indonesia mayoritas Muslim ini realitas. Dasar keimanan mereka adalah akidah Islam yang memformat kehidupan untuk taat kepada syariat tanpa pilah dan pilih.

Bila negara menyadari ini, seharusnya warga negara dididik negara untuk taat syariat terlebih dahulu sehingga mereka terbiasa dengan konsep takwa, melaksanakan perintah dan menjauhi larangan.

Selanjutnya, seharusnya berbagai peraturan perundangan negara dibuat dengan tidak menyelisihi syariat Islam. Negara akan mendapatkan kemaslahatan yang luar biasa.

Warga negara yang taat kepada syariat Allah SWT dan taat kepada sunah Rasul-Nya, pasti akan mudah taat kepada peraturan yang dibuat ulil amrinya. Sebagaimana Allah SWT berfirman,

“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS an-Nisa’: 59)

Alhasil, sebenarnya Indonesia butuh syariat, butuh pemerintahan Islam (Khilafah), butuh pemimpin yang adil lagi amanah, butuh asas negara dan asas perundang-undangan yang lahir dari keyakinan masyarakatnya. Indonesia tidak boleh semakin disekulerkan dengan dalih apa pun

Sumber : muslimahnews

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

2 Komentar