Zaim Saidi, Dinar & Sufisme

Zaim Saidi, Dinar & Sufisme
Foto : dinar dirham
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh : Zaim Uchrowi, Penulis, Ketua Yayasan Karakter Pancasila

Hajinews – Kebetulan nama kami sama-sama Zaim. Nama yang tidak lazim di publik. Apalagi di generasi yang lahir awal 1960-an seperti kami. Saya Zaim Uchrowi, dia Zaim Saidi. Kami sama-sama besar di kota kecil Jawa yang sejuk. Saya di Magetan, Jawa Timur. Dia di Parakan, Temanggung, Jawa Tengah.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Mungkin karena dari daerah, kami sama-sama tertarik kuliah di IPB di Bogor. Apalagi saat itu IPB sedang menjadi model pengembangan pendidikan tinggi di Indonesia. Profesor Andi Hakim Nasution yang mengupayakannya.

Ya, Pak Andi Hakim. Salah seorang akademisi-pendidik terbesar yang pernah dilahirkan Indonesia. Beliaulah yang memperkenalkan program pendidikan sarjana 4 tahun. IPB perintisnya. Lalu diikuti seluruh universitas lain di Indonesia. Saya, dan juga Zaim Saidi, pun masuk IPB.

Kebetulan kami juga sama-sama suka tulis menulis. Kemudian juga sama-sama tertarik pemberdayaan masyarakat. Pembeda kami: Zaim Saidi sungguh jenius. Maka kuliahnya di Jurusan Teknologi Pangan. Jurusan yang hanya dimasuki anak-anak cerdas. Lagipula dia ganteng dan jangkung.

Selepas kuliah, kami menempuh jalur berbeda. Namun masih berhubungan. Saya jadi wartawan di Tempo, lalu Republika sebelum memimpin BUMN Balai Pustaka kemudian hijrah ke LKBN Antara. Sedangkan Zaim Saidi bergabung ke Yayasan Lembaga Konsumen (YLKI). LSM prestisius saat itu.

Ditempa Erna Witoelar, tokoh LSM dunia yang jadi menteri di era Pemerintahan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Zaim menjadi Sekjen YLKI di usia sangat muda. Dia aktif jadi penggerak perlindungan konsumen. Baru kemudian pemerintah membentuk Direktorat Perlindungan Konsumen di Kementerian Perdagangan.

Integritas menjadi ciri orang-orang YLKI. Riset-riset produk buat konsumen harus sepenuhnya independen. Tak boleh disponsori produsen manapun. Zaim Saidi salah satu yang terbaik di sana. Dia seorang ‘walk the talk’. Integritas dia sangat teruji.

Selain itu, di pertengahan 1980-an itu, Zaim Saidi juga menjadi kolumnis media. Sebagaimana Gus Dur, Zaim Saidi adalah kolumnis Tempo. Dia kolumnis termuda majalah itu. Artikelnya juga dimuat di berbagai media ternama lain, seperti Kompas dan Sinar Harapan.

Akademisi, wartawan, apalagi aktivis LSM di masa itu hampir pasti mengenalnya. Dia bersahabat dengan almarhum AE Priyono, pemikir dan penulis masalah sosial. Mereka sedaerah di Temanggung, Jawa Tengah. Di Depok, mereka juga bertetangga.

Dari lingkaran AE Priyono, Zaim terhubung dengan para intelektual alumni Yogya, seperti Hamid Basyaib hingga Mahfudh MD yang kini Menko Polkam. Zaim juga akrab dengan para intelektual Jakarta generasi Ade Armando, Eep Syaefulloh, Ihsan Ali Fauzi, hingga Nurul Agustina.

Kesempatan melanjutkan studi pun diambilnya. Dia mengambil master bidang kebijakan publik di Australia. Sepulang dari sana, ia mendirikan lembaga kajian publik PIRAC. Asrorun Ni’am, dulu Ketua Umum PMII (Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia) yang kini jadi salah seorang Pimpinan MUI (Majelis Ulama Indonesia) dari NU (Nahdlatul Ulama(

Di antara kawan-kawannya, gagasan Zaim Saidi sering tak terduga. Seperti tiba-tiba saja dia mendatangi lembaga sosial Dompet Dhuafa. Mengusulkan untuk membuat gerakan wakaf. Banyak yang paham soal wakaf. Tapi wakaf sebagai gerakan itu apa? Semua mengernyitkan kening saat itu.

Toh, Dompet Dhuafa menyambut gagasannya. Zaim Saidi dan Dompet Dhuafa menggulirkan gerakan wakaf itu. Banyak yang kemudian mengikutinya. Sampai pemerintah pun belakangan kemudian membentuk Badan Wakaf Indonesia. Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Nuh ditunjuk memimpinnya.

Wakaf sebagai gerakan terus bergulir. Bahkan dipandang penting buat menggerakkan ekonomi. Terutama di saat ekonomi sedang tak mudah saat ini. Maka Presiden pun meluncurkan Gerakan Wakaf Nasional. Wakaf kini menjadi gerakan muamalah nasional.

Diakui atau tidak, Zaim Saidi telah memulai menjadikan wakaf sebagai sebagai gerakan nasional. Tapi setelah itu dia malah ‘menghilang’. Ternyata dia hijrah ke Cape Town, Afrika Selatan beberapa lama. Di sana dia belajar tasawuf. Saya kaget mendengar itu.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *