Tanpa Angpao

Tanpa Angpao
ilustrasi : angpao online
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Hajinews – NANTI malam anak-cucu keluarga Tionghoa wajib berkumpul di rumah orang tua masing-masing.

Itulah inti Tahun Baru Imlek. Untuk menunjukkan bakti pada papa-mama mereka. Diiringi doa keselamatan dan kemakmuran. Lalu makan-makan. Terutama harus ada menu mi di dalamnya.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Tidak boleh ada perayaan. Tidak boleh pergi ke mana-mana –apalagi dengan alasan yang dicari-cari. Semua harus berkumpul di rumah orang tua. Perayaannya kelak, 15 hari lagi: di hari Cap Gomeh. Pergi-perginya ditunda dulu, setelah itu.

Sentral acara nanti malam hanya orang tua dan doa untuk kemakmuran. Sungkem kepada orang tua itu dimulai oleh anak tertua. Lalu adik-adik. Menantu-menantu. Lalu giliran cucu-cicit.

Itulah inti hari raya Tahun Baru Imlek. Sebelum ada pandemi. Makan malamnya pun yang paling istimewa.

Di Singapura malam Tahun Baru kali ini sangat berbeda. Gara-gara pandemi. Ada yang tetap kumpul keluarga tapi lebih terbatas.

Robert Lai, saudara saya itu, akan makan malam bersama secara virtual. Pakai Zoom. Robert punya tiga anak, wanita semua. Yang sulung tinggal di Kuala Lumpur. Bersama suami dan anak. Pandemi di Malaysia juga lagi parah.

Yang bungsu sudah setahun ini kembali ke Singapura. Dari sekolah di University of Pennsylvania. Juga dari bekerja di beberapa negara belahan lain dunia. Tapi dia tinggal terpisah. Di rumah sendiri di Singapura. Hanya yang bungsu yang bersama Robert dan istri.

Si bungsu itulah yang menyiapkan makan-malam-bersama secara Zoom.

Sejak kemarin di rumah Robert sudah dipasangi kamera baru. Untuk dihubungkan ke televisi. Televisinya didekatkan ke meja makan.

Yang di Kuala Lumpur akan menggunakan laptop. Yang ditaruh di atas meja makan. Demikian juga anak yang tinggal terpisah di Singapura. Dia akan menggunakan laptop. Dia sendirian di apartemen itu tapi tetap menyediakan mi yang sama dengan yang disajikan di rumah orang tua dan kakak sulungnyi.

Di masa lalu saya pernah bermalam-tahun-baru-Imlek di Singapura. Saya dan istri, bersama seluruh keluarga Robert. Kami makan malam bersama. Dengan sajian mi khas Singapura.

Bihun itu ditaruh di piring besar sekali. Di tengah meja. Beberapa jenis topping dihambur di atasnya. Saatnya tiba makan malam, kami yang mengelilingi meja, berdiri. Masing-masing memegang sumpit. Dengan chop stick itu kami mengaduk mi agar tercampur dengan topping-nya.

Cara mengaduknya yang khas Singapura. Tidak ada di negara lain: kami bersama-sama mengambil mi itu dengan chop stick. Sebanyak yang bisa kami jepit. Kian banyak yang bisa dijepit kian baik.

Lalu kami angkat tinggi-tinggi mi itu. Kian tinggi kian baik.

Kemudian kami jatuhkan lagi ke piring besar itu. Kami ulangi adegan itu. Berkali-kali. Adu banyak. Adu tinggi. Sampai mi itu bukan saja tercampur. Tapi sampai berantakan. Banyak juga yang terhambur. Jatuh di luar piring. Berantakan. Padahal kemampuan bisa menjatuhkan mi agar tetap di atas piring juga bagian dari harapan.

Lalu kami duduk kembali. Membenahinya dan memakannya.

Waktu mencampur mi itu kami lakukan sambil berdiri karena mejanya cukup besar. Agak sulit menjangkau mi dari posisi duduk.

Dua kali saya bermalam Imlek di Singapura. Selalu begitu. Satu restoran, di semua meja, adegannya sama.

Meski pun kali ini secara Zoom adegan itu akan tetap dilakukan Robert dan anak-anaknya. Dari rumah masing-masing.

Di Tiongkok juga kian banyak yang memilih makan malam bersama di restoran. Saya juga dua kali mengalaminya. Bersama keluarga teman di sana. Tapi tidak ada adegan mencampur mi yang atraktif seperti di Singapura.

Tahun lalu di beberapa provinsi di Tiongkok masih bisa merayakan Imlek secara normal. Terutama di provinsi yang jauh dari Wuhan. Tapi kota Wuhan sendiri sudah mulai di-lockdown. Agak telat. Lima juta orang sudah telanjur bepergian –berimlek ke kampung halaman masing-masing. Wuhan memang kota terbesar di Tiongkok tengah. Penduduknya sekitar 12 juta orang.

Saya punya teman di tetangga Hubei –yang ibu kotanya Wuhan. Hari ini –setahun yang lalu– ia sudah mendengar ada wabah besar di Wuhan. Tapi di provinsinya belum ada pembatasan apa pun. Istrinya minta agar hari itu pulang kampung ke provinsi Jiangshu. Bermalam tahun baru di kampung istri.

Teman saya itu minta-minta kepada istri agar keinginan itu dibatalkan. Wabah kian buruk. Tapi sang istri berkeras.

Maka sore itu mereka bermobil ke rumah orang tua suami dulu. Di desa. Sekitar 2 jam dari rumahnya. Setelah sungkem pada orang tua suami, mereka langsung tancap gas ke bandara. Mereka dapat pesawat jam 7 malam. Penerbangan itu satu jam.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *