PDIP Versus Istana

PDIP Versus Istana
PDIP
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh M Rizal Fadillah, pemerhati politik dan kebangsaan.

Hajinews – Tentu aneh jika dua lembaga penegak hukum ditempatkan saling bertarung. Itulah jika kekuasaan politik ikut menentukan penegakan hukum. Maka bukan mustahil antar lembaga penegak hukum pun dapat saling berkompetisi bahkan berkonfrontasi. Kepentingan politik yang memperalat hukum.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Kejagung (Kejaksaan Agung) memiliki ruang lingkup penyelidikan yang luas, termasuk kasus korupsi. Sementara KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) khusus untuk mengusut kasus korupsi. Batas pilihan penanganan oleh Kejagung maupun KPK ternyata tipis-tipis saja.

Korupsi di bawah nilai satu miliar memang ditangani polisi dan kejaksaan, KPK melakukan pengawasan dan supervisi. Perpres No. 102 tahun 2020 memberi kewenangan kepada KPK mengambil alih penanganan untuk keadaan tertentu.

Kejagung dapat menangani kasus korupsi di atas satu miliar. Kini saja Kejagung menangani kasus korupsi Jiwasraya dengan angka kerugian negara Rp 16,81 triliun, sementara Asabri mencapai Rp 23,73 triliun. Kejagung pun didorong untuk mengusut dana BPJS Ketenagakerjaan yang ditaksir senilai Rp 20 triliun. Kenapa tidak KPK ?

KPK melalui Dewan Pengawas adalah tangan presiden. Sementara Kejagung dengan Jaksa Agung ST Burhanuddin adalah milik PDIP. Sebelumnya Jaksa Agung saat dipegang Muhammad Prasetyo itu kepanjangan tangan Partai Nasdem.

Di sinilah akar pertarungan bermula. Ada nuansa politik meski samar. Begitu keras perebutan antara Nasdem dengan PDIP soal Jaksa Agung saat penyusunan kabinet dahulu.

Saling Tohok

Kasus Jiwasraya menohok Istana. Demikian juga Asabri. Karenanya Istana melalui KPK membalas dengan mengusut kader PDIP Harun Masiku dalam kasus suap Komisioner KPU Wahyu Setiawan. Sebenarnya merembet ke petinggi PDIP lain, hanya hilangnya Masiku membuat terhenti rembetan tersebut. Jadi misteri besar dari kasus ini. Istana menyerang terus PDIP melalui kasus Bansos yang membawa penangkapan dan proses hukum Mensos Juliari Peter Batubara, kader PDIP.

Melalui kesaksian dalam pemeriksaan disebut keterlibatan lingkungan Istana ’Anak Pak Lurah’ lalu sodokan lagi menuju ’Madam’ PDIP. Proses hukum masih berjalan, hanya belum terkuak rinci sampai kepada ’Anak Pak Lurah’ maupun ’Madam’. Publik menduga bargaining politik bisa saja terjadi. Konsekuensi jika penegakan hukum berada di bawah bayang bayang politik.

Semestinya jika akur tentu Kejagung dalam proses pengusutan Jiwasraya, Asabri, maupun BPJS akan melibatkan KPK. Tapi praktiknya berjalan sendiri. Karenanya wajar timbul kecurigaan tersebut. Dalam kasus mega korupsi ketiga institusi di atas mudah dipastikan akan keterlibatan kekuasaan. Tetapi dalam menarik keterlibatan lingkungan istana sangat minim. Di sini terkesan ada tarik ulur dan tekan menekan.

Bangsa dan rakyat Indonesia berharap KPK dan Kejagung bisa melepaskan kepentingan politik yang mendasari kerja keduanya. Bahkan satu dengan lain seharusnya dapat bekerja sama. Jika berlomba pun untuk berprestasi membongkar dan memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya. Bukan menjadi alat bargaining politik.

Rakyat bertanya sampai kapan Kejagung akan bertarung dengan KPK sebab justru yang dirugikan adalah rakyat. Uangnya telah dirampok habis oleh para penjahat besar dari kalangan penguasa dan pengusaha. Koruptor, terminator, dan predator.

Pepatah menyatakan gajah bertarung dengan gajah, pelanduk mati di tengahnya. (*)

Bandung, 18 Februari 2021

 

 

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *