Virtual Police, Efektifkah Untuk Menumpas Hoax Dan Ujaran Kebencian Atau Memberangus Demokrasi

banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Hajinews – Kepolisian Republik Indonesia (Polri) telah mengaktifkan virtual police atau polisi virtual. Unit yang digagas Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo itu dibentuk untuk mencegah tindak pidana terkait Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) di ruang digital.

Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri, Kombes Ahmad Ramadhan mengatakan, virtual police hadir sebagai bagian dari pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat (Harkamtibmas) khususnya di ruang digital agar bersih, sehat, dan produktif.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

“Virtual police adalah kegiatan, jadi bukan sebuah unit baru. Tapi kegiatan yang dilakukan oleh Polri dalam hal ini Direktorat Siber untuk memberikan edukasi kepada masyarakat apabila menyampaikan sesuatu atau mem-posting yang bersifat melanggar pidana, khususnya UU ITE,” kata Ramadhan saat dihubungi Liputan6.com, Kamis (25/2/2021).

Dia menjelaskan bagaimana virtual police menjalankan tugasnya. Virtual police akan mengirimkan peringatan melalui direct message atau DM kepada pemilik akun yang mempublikasikan konten yang dinilai berpotensi melanggar UU ITE untuk menghapusnya.

“Jadi kita mengedepankan persuasif dengan memberi tahu apa yang telah ditulis, apa yang telah di-upload yang bersangkutan itu melanggar. Melanggar apa? Melakukan pidana khususnya UU ITE. Kita sampaikan bahwa itu tolong dihapus,” tuturnya.

Ramadhan menegaskan bahwa peringatan virtual police kepada akun yang dianggap melanggar tidak subjektif, melainkan melalui kajian yang mendalam bersama para ahli. Mulanya, tim patroli siber menangkap layar postingan yang diduga melanggar kemudian dikonsultasikan kepada ahli pidana, ahli bahasa, hingga ahli ITE.

Apabila ahli menyatakan bahwa konten tersebut merupakan pelanggaran pidana, maka kemudian diajukan ke Direktur Siber atau pejabat yang ditunjuk untuk memberikan pengesahan. Virtual police alert secara resmi pun dikirim ke akun tersebut melalui DM.

“Contohnya ada di konten Twitter tanggal 22 Februari 2021. Kita sampaikan ‘konten Twitter Anda yang diunggah pada tanggal sekian sekian berpotensi pidana ujaran kebenciaan, guna menghindari proses hukum lebih lanjut kami mengimbau Anda segera melakukan koreksi atau menghapus konten tersebut’. Terus kita akhiri dengan ‘salam Presisi’. Peringatan tersebut kita kirim,” kata Ramadhan menjelaskan.

Namun jika peringatan tersebut tidak diindahkan, virtual police akan kembali mengirimkan teguran. Bahkan jika kemudian muncul korban yang merasa dirugikan, kepolisian tetap akan mengedepankan upaya restorative justice atau keadilan restoratif dengan melakukan mediasi.

Ramadhan menegaskan, bahwa penindakan hukum akan dilakukan sebagai jalan terakhir. “Ketika mediasi tidak ketemu, maka kita akan proses hukum. Tetapi saya sampaikan, mediasi itu diterapkan selama berkas perkara belum dikirim ke jaksa penuntut umum,” ucapnya.

Dengan begitu, maka keberadaan virtual police diharapkan dapat mengurangi konten hoaks atau ujaran kebencian di media sosial, sehingga ruang digital di Indonesia senantiasa bersih, sehat, dan produktif.

Lebih lanjut, Ramadhan menegaskan bahwa keberadaan virtual police bukan untuk mengekang kebebasan berpendapat masyarakat di media sosial. Dia kembali menekankan bahwa tujuan utama virtual police adalah untuk meminimalisasi tindak pidana, khususnya berkaitan dengan UU ITE.

“Yang tidak setuju mungkin karena miss komunikasi. Jadi sekali lagi, Polri tidak membatasi kebebasan. Kalau mau menyampaikan kebebasan tentunya boleh dan dilindungi oleh undang-undang. Tetapi kalau menyebarkan hoaks, berita bohong itu dilarang undang-undang. Jadi virtual police ini bukan membatasi kebebasan, tapi ini dilakukan untuk agar masyarakat tidak melakukan tindak pidana,” katanya menandaskan.

Hingga Rabu 24 Februari 2021, tercatat Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri telah mengirimkan 12 peringatan virtual police kepada akun media sosial yang kontennya ditengarai melanggar UU ITE.

Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Profesor Heru Nugroho mengatakan, muncul kekhawatiran pengekangan kebebasan masyarakat dalam berpendapat di ruang siber, selain juga mengapresiasi niatan kepolisian untuk menjadi pengawas interaksi di ruang digital. Kekhawatiran itu didasarkan pada cara menentukan kesalahan warganet di media sosial berlandaskan pada UU ITE yang dianggap sarat akan pasal karet.

“Di sisi lain kalau nantinya cara menindaknya itu berdasarkan UU ITE yang pasal karet itu kalau pengamat media sosial bilang, itu akan bisa mengekang kebebasan sehingga bisa jadi aspirasi tidak keluar. Kan sudah muncul toh mengungkapkan aspirasi, melakukan kritik ujungnya polisi gitu kan,” sebut Heru saat dihubungi Liputan6.com, Kamis (25/2/2021).

Heru tak bisa menerka secara pasti apakah praktik irtual police ini bakal sesuai dengan rel pembentukannya. Dia mengandaikan virtual police sebagai menara pengawas yang berfungsi untuk mendisiplinkan setiap orang yang ada di ranah dunia maya.

“Ini disebut efek panoptic, efek pengawasan. Misalnya kalau kita di perempatan itu, itukan ruang publik ya. Kemudian ada gardu polisi, gardunya pakai kaca riben. Meskipun di situ gak ada polisi tapi orang di situ merasa diawasi. Nah efeknya nanti muncul ketertiban orang cenderung tidak melanggar traffic light karena merasa diawasi di ruang publik,” papar dia.

Heru menambahkan, hadirnya virtual police ini mungkin saja untuk menertibkan dunia maya yang dianggapnya tak teratur. Di mana dalam ruang virtual banyak berseliweran kabar bohong atau hoaks dan ujaran kebencian.

“Ini kan mengganggu, oleh karena itu saya kira maksud dari polisi di satu sisi untuk menghadirkan panoptic, pengawasan terhadap ruang publik virtual ini yang dihuni oleh banyak netizen-netizen ini loh supaya merasa diawasi sehingga tidak ngawur lagi, tidak seenaknya lagi. Ada aturannya, kita mau ngeritik ya ngeritik,” beber Heru.

Heru menegaskan bahwa keberadaan panopticon dalam ruang maya memang dibutuhkan, namun ini juga bisa menjadi penekan masyarakat untuk mengungkapkan pendapat. Lebih jauh Heru memandang virtual police ini sebagai pisau bermata dua.

Untuk itu diperlukan penjelasan lebih terperinci soal kriteria atau batasan-batasan bagi polisi untuk melabeli sebuah postingan dalam media sosial yang dianggap melanggar. (dbs).

 

 

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *