Mengejar Kebahagiaan

Mengejar Kebahagiaan
Hasanuddin (Ketua Umum PBHMI, periode 2003-2005)
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Hasanuddin (Ketua Umum PBHMI, periode 2003-2005)

Hajinews – Bahagia, kata yang penuh misteri. Diimpikan, diinginkan oleh tiap manusia, sekalipun banyak diantara manusia tidak kunjung mengenalinya.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Usaha para ilmuwan memecahkan misteri kata “bahagia” ini terus berlangsung. Ada yang melakukan penelitan lintas bemua, menyebarkan quisioner, hanya untuk mengetahui negara mana yang penduduknya paling bahagia, sistem politik apa yang mendorong atau mengejar kebahagiaan, apa relevansinya sebuah revolusi sosial dengan kebahagiaan, kenapa orang beragama tidak menjamin kebahagiaan dan seterusnya. Apa relevansinya kepemilikan uang yang banyak, harta benda, pangkat dan jabatan, anak, pernikahan, pendidikan dan seterusnya dengan kebahagiaan. Tidak ada hasil penelitian yang menemukan jawaban yang sama. Orang yang berada di dasar jurang kemiskinan memandang mereka yang tinggal di kompleks perkotaan dengan semua fasilitas modern yang menyertai sebagai telah bahagia, karena mereka belum mampu merasakan hal demikian. Namun orang yang sudah mapan secara ekonomi, dalam pandangan si miskin tadi bukannya telah bahagia. Si kaya ini sedang di dera kepedihan menyaksikan putra-putranya dimanipulasi oleh narkoba. Yang lain senantiasa dihantui kecemasan akibat hobby balapan anaknya yang setiap saat bisa celaka, yang lain sedang di pusingkan oleh jatuh tempo pajak, gaji karyawan yang mesti mereka bayar tepat waktu dan seterusnya.

Para politisi menyaksikan bagaimana sistem sosial di negaranya amburadul, banyak kemiskinan, pengangguran, korupsi, hukum diperjual belikan, populasi penduduk yang tidak terkontrol, infrastruktur publik yang buruk, kejahatan kemanusiaan terjadi mana-mana. Lalu merasa bisa bahagia jika mampu membenahi itu semua. Namun semakin ia memikirkannya, membawanya ke meja-meja perundingan, masalah demi masalah tidak pernah bisa selesai. Tindakan ekstrem mesti dilakukan, menurutnya. Revolusi sosial di kumandangkan. Rezim mesti diganti dan seterusnya. Hasilnya, tidak juga mampu mendatangkan kebahagiaan. Mereka lalu menyimpulkan sebagaimana yang ribuan tahun yang lampau telah disimpulkan, “kebahagiaan tidak terletak pada objek, namun pada kesejahteraan subjektif”

Para ahli biologi modern lalu meneliti faktor-faktor subjektif yang dapat memicu kebahagiaan. Uji laboratorium mereka lakukan, lalu mereka berkesimpulan bahwa “sistem kompleks saraf, neuron, sinapsis, dan berbagai zat biokimiawi seperti serorotin, dopamin dan aksitosin yang terlibat membuat manusia bahagia. Maka para biologist melihat aneh kelakukan para politisi, sosiolog yang mengutak-atik sistem ketatanegaraan, sistem hukum dan politik, sistem ekonomi, demi mencari kebahagiaan. Kata mereka “dungu”, kebahagiaan itu adalah dengan memanipulasi unsur-unsur kimiawi. Mereka membuat aneka produk kecantikan bagi perempuan yang menderita tidak bahagia karena kerutan di wajah, pergerakan lemak, dan seterusnya. Merk demi merk mereka hasilkan. Hasilnya? Mereka menambah penderitaan perempuan yang tidak mampu membeli produk mereka. Mengurangi jatah jajan putra putri mereka demi ingin tampil cantik. Nonsense kebahagiaan tidak mampu diberikan oleh produk kecantikan hasil rekayasa kimiawi para biologist.

Umumnya setelah faktor-faktor objektif seperti uang, kesehatan, rumah, mobil, pangkat dan seterusnya diyakini tidak mampu memberikan kebahagiaan, agama jadi tumpuan harapan. Mereka yang sakit dan tidak kunjung sembuh berdoa. Namun karena tidak yakin doanya diterima, karena tahu banyaknya dosa yang telah di lakukan, mereka menyewa ahli agama untuk mendoakan. Maka agamawan melihatnya ketidakbahagiaan para pendosa sebagai sumber ekonomi. Di masa lampau surat-surat pengampunan dosa di bandrol mahal. Amplop para agamawan meningkat seiring dengan kepercayaan terhadap agama. Mereka sekali lagi keliru, doa demo doa ahli agama tidak memunculkan kebahagiaan yang dicarinya. Sekalipun ahli agamanya telah bergelar professor, doktor, kiyai, uskup besar, biarawan elit. Kepercayaan kepada agama runtuh, tidak ada gunanya. Hanya menghasilkan ekstrimisme kata sebagian peneliti keagamaan.

Semua cara telah ditempuhnya hingga seolah tidak ada jalan lagi untuk menemukan kebahagiaan yang di carinya.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *