Partai Demokrat Dan Ambiguitas Demokrasi

Partai Demokrat Dan Ambiguitas Demokrasi
KLB Partai Demokrat
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Radhar Tribaskoro

Hajinews – Pembegalan Partai Demokrat oleh Moeldoko dkk melalui KLB Sibolangit semakin membuktikan betapa rendah kualitas demokrasi Indonesia. Tanpa hujan dan angin, tanpa mempedulikan AD/ART, segelintir kader menggelar KLB dan menetapkan Moeldoko sebagai ketua umum menggantikan AHY yang baru terpilih setahun lalu.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Para pelaku KLB mendasarkan perbuatannya kepada dalil “penguasa tertinggi partai adalah DPC” untuk mengelak dari kewajiban memenuhi syarat-syarat KLB sesuai AD/ART partai. Tetapi sekalipun kehadiran DPC di KLB Sibolangit sangat minim mereka tidak berkeberatan meneruskan niatnya.

Publik menyaksikan dengan mata telanjang bahwa apa yang tersurat tidak selalu sama dengan apa yang tersirat. Pelaku KLB mengklaim bahwa tujuan mereka adalah “melawan tirani” dan “membangun demokrasi”. Tetapi publik bisa menilai bahwa kekuatan mereka bukan pada tujuan itu melainkan kepada kekuasaan yang berada di belakang tokoh yang mereka angkat menjadi Ketum: Moeldoko.

Ideal-ideal yang mereka serukan itu hanya omong kosong, sejatinya mereka hanya peduli kepada perebutan kekuasaan. Moeldoko, dengan kekuasaan yang dimilikinya selaku Kepala Staf Presiden, memberi mereka keyakinan akan menang dalam perebutan kekuasaan itu.

Moeldoko sendiri bukan pejabat yang sekadar didaulat. Ia adalah pelaku utama pembegalan Partai Demokrat. Publik sejak sebulan lalu telah mendapat informasi keterlibatan dirinya dalam persiapan KLB. Moeldoko berulangkali menyangkal keterlibatan itu, tetapi keterpilihan dirinya sebagai Ketum membuktikan bahwa penyangkalan itu kebohongan belaka.

Moeldoko adalah “orang istana” pertama yang secara terbuka dan terang-terangan mengambil-alih kepemimpinan suatu partai. Soeharto dulu, melalui asisten pribadinya Ali Murtopo, juga aktif mengangkat dan mengganti pemimpin-pemimpin partai, namun semua dilakukan melalui operasi tertutup. Apakah Moeldoko seperti halnya Ali Murtopo, hanya pion dari penguasa tertinggi?

Mensesneg Pratikno sebulan yang lalu mengesankan bahwa Presiden Jokowi tidak tahu-menahu persoalan KLB Partai Demokrat. Ia menjawab surat Ketum AHY menanya keterlibatan KSP Moeldoko dalam KLB dengan lisan, “Itu murni persoalan internal Partai Demokrat”. Namun terpilihnya KSP Moeldoko sebagai Ketum dalam KLB mengungkap jawaban sebaliknya. Langkah KSP Moeldoko, tangan kanan presiden, menerima jabatan Ketum Partai Demokrat tidak bisa dianggap urusan personal. Itu adalah urusan negara yang presiden wajib tahu dan menyetujuinya.

Kegagalan Demokrasi Internal Partai

Pemerintahan Jokowi memiliki rekam jejak “membesarkan anjing hutan di hadapan singa”. Dalam persaingan politik Aburizal Bakrie vs Agung Laksono di Golkar, Agung mendapat angin dari pemerintah sehingga akhirnya Aburizal harus mundur untuk membuka jalan bagi “orang Jokowi”, Airlangga Hartarto, menggantikannya.

Demikian pula terjadi di PPP. Konflik memisah Ketum Suryadharma Ali dengan sekjennya Romahurmuziy. Konflik berawal dari dukungan Suryadharma kepada Prabowo dalam pilpres 2014, sementara Romy mendukung Jokowi. Konflik tersebut berkepanjangan bahkan setelah Djan Faridz menggantikan Suryadharma. Seperti diduga, pemerintahan Jokowi memenangkan kubu Romy dengan secara sepihak mengesahkan kepengurusan PPP di bawah pimpinan Romy.

Intervensi pemerintah yang berlebihan terjadi juga di tubuh Partai PAN dan Berkarya. Kongres PAN di Kendari tahun lalu dibanjiri oleh ribuan polisi untuk meloloskan Zulkifli Hasan menjadi ketua umum yang baru. Partai Berkarya juga beralih kepengurusan melalui munaslub yang disahkan Menkumham Yasona begitu saja.

Semua peristiwa pendongkelan kepengurusan di atas menyiratkan bahwa demokrasi di Indonesia, khususnya demokrasi di partai, tidak berjalan. Aturan internal partai tidak dipatuhi sehingga demokrasi partai gagal mengatasi konflik. Kegagalan itu membuka jalan bagi penguasa untuk mengintervensi. Keharusan bahwa kepengurusan suatu partai disahkan oleh Menkumham menjadikan pemerintah memiliki kartu truf yang bisa digunakan untuk mendiktekan kemauannya kepada partai-partai politik. Kartu truf itu mengakhiri demokrasi partai dan mentahbiskan dominasi elit yang ingin menegakkan negara kekuasaan.

Ketidakberdayaan demokrasi internal partai berkaitan langsung dengan sistem demokrasi yang berlaku. Secara formal Negara Republik Indonesia mengakui kedaulatan rakyat seperti disiratkan oleh Sila ke-4 Pancasila dan Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 yangmenyebutkan “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar”. Namun sistem politik yang terbentuk berdasarkan perundang-undangan berlaku gagal mendudukkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.

Rakyat cuma diklaim saja. Seperti pelaku KLB Sibolangit, mengklaim dukungan DPC Partai Demokrat se Indonesia padahal yang datang hanya segelintir dan bukan pengurus. Begitu pula Agung Laksono di Golkar, Romahurmuziy di PPP, Zulkifli Hasan di PAN dan Muchdi PR di Berkarya. Celakanya, sistem berlaku memenangkan semua tukang klaim itu.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *