Heboh Impor Beras 1 Juta Ton, Peneliti Asing: Lagu Lama Politisi Indonesia Untungkan Diri Sendiri

banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Hajinews – Isu impor beras 1 juta ton kembali mengemuka usai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan wacana tersebut dalam rapat kerja Kementerian Perdagangan.

Masalah impor pangan, termasuk impor beras 1 juta ton memang selalu menjadi isu yang ‘seksi’ bagi politisi Indonesia.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Meski slogan swasembada pangan terus digaungkan dalam setiap Pemilihan Presiden (Pilpres), Indonesia seakan sulit untuk melepaskan impor beras.

Peneliti kebijakan beras Asia Tenggara dari National University of Singapore, Jamie S. Davidson sempat menyoroti masalah impor beras ini karena ikut naik daun dalam gelaran Pilpres 2019 silam.

Dikutip Pikiran-Rakyat.com dari The Conversation, kala itu pendukung Prabowo Subianto, calon presiden nomor urut dua mencibir sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang begitu sering menggaungkan swasembada pangan.

Menurut Drajad Wibowo, Ekonom dari kubu Prabowo Subianto, Presiden Jokowi termasuk presiden yang paling ‘hobi impor beras’.

Bahkan, angka impor beras di masa Presiden Jokowi adalah yang tertinggi sejak masa Orde Baru.

Hal ini dibantah oleh Kementerian Perdagangan. Namun, sebetulnya ada hal yang kurang disoroti banyak orang terkait impor beras.

“Tidak ada pejabat dalam pemerintahan Jokowi yang menyangkal tuduhan yang Prabowo buat dalam debat calon presiden Januari 2019 mengenai orang-orang dalam pemerintahan Jokowi yang menguntungkan diri sendiri secara finansial (secara ilegal) dari impor beras,” tulis Jamie S. Davidson.

Jamie menyebut adanya politisi yang memang mengambil keuntungan besar dari impor beras merupakan ‘rahasia umum’ di Indonesia.

Pasalnya, hal tersebut sudah sejak lama menggerogoti sistem impor beras di Indonesia.

“Jadi, apa yang mungkin terjadi di bawah Jokowi bukanlah hal baru,” kata dia.

Oleh karena itu, Jamie menyebut swasembada pangan di Indonesia sebagai ‘janji yang sulit dipegang’.

Ide ini diputar terus oleh politisi berulang-ulang karena ‘kebijakan ini populer’.

Padahal, pencapaian swasembada pangan di Indonesia jarang sekali terjadi setiap tahunnya.

Jamie menemukan dua sebab politisi Indonesia mampu bertahan di atas angin meski seruan ‘swasembada pangan’ mereka hanya omong kosong belaka.

Pertama, masyarakat banyak yang percaya saja pada pemerintah soal penetapan harga domestik meskipun tingginya harga beras dalam negeri cuma membuat rakyat miskin di Indonesia semakin menderita.

Mereka cuma tahu kalau semakin tingginya harga beras domestik, akan semakin tinggi pula pendapatan mereka.

Kedua, gerakan nasionalis dan antikolonial sangat erat kaitannya dengan petani padi yang menjadi simbol kemerdekaan Indonesia.

Oleh karena itu, pemerintah terus membuat citra diri sebagai pelindung petani Indonesia, termasuk Soekarno dan Soeharto.

“Singkatnya, kita harus mempertimbangkan bagaimana sejarah dan ideologi tertentu dapat terus membentuk kebijakan publik yang penting di Indonesia dan di mana pun,” tutur Jamie menyarankan.

“Liberalisasi dapat dicapai dengan mudah dengan goresan pena. Mengubah kepercayaan yang berakar dari masa lalu nasionalis suatu negara tidak bisa dicapai semudah itu,” ucap dia menambahkan. (dbs).

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *