MYANMAR: KAUM MUDA vs MILITER

MYANMAR: KAUM MUDA vs MILITER
Foto: Demonstrasi di myanmar
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Hajinews – Sudah hampir dua bulan kebrutalan dan kekejaman militer berlangsung di Myanmar sejak mereka merebut kekuasaan dari tangan sipil, pada tanggal 1 Februari 2021. Korban tewas terus berjatuhan di pihak rakyat. Mereka tewas ditembus peluru tentara. Hingga hari Kamis (25/3), menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik, sebuah kelompok hak sipil di Myanmar, warga sipil yang  tewas mencapai 320 orang dan 3.000 orang ditahan!

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Menyaksikan semua itu, dunia seperti terpana. Bingung mau berbuat apa. Apalagi berbagai seruan dan ancaman sanksi terhadap Myanmar, tak dipedulikan sama sekali oleh militer yang berkuasa. Dunia yang semestinya membantu seperti telah kehilangan akal menghadapi kebrutalan dan kenekatan militer.

Aktor-aktor luar yang selama ini berperan dalam pembangunan politik dan ekonomi Myanmar—ASEAN, China, Australia, India, Jepang, Korea Selatan, Uni Eropa, AS, dan juga PBB—juga seperti salah tingkah semua. Mau berbuat apa. Ada kepentingan masing-masing negara dengan Myanmar yang dianggap lebih besar ketimbang nyawa anak-anak muda yang terus melayang ditembus peluru.

Gerakan perlawanan kaum muda di Myanmar mengingatkan yang terjadi di Tunisia dan Mesir, 10 tahun silam. Tewasnya seorang pedagang kaki lima Muhammad Bouazizi di Sidi Bouzid, Tunisia tengah, mampu menggerakkan seluruh rakyat dan menyingkirkan penguasa korup, diktator yang sudah berkuasa 23 tahun, Zine El Abidine Ben Ali. Cerita yang hampir mirip terjadi di Mesir.

Kaum muda yang menjadi motor revolusi di kedua negara itu, juga di negara-negara lain di  Timur Tengah. Mereka adalah anak-anak muda yang kurang mendapat akses pekerjaan—30 persen anak muda Tunisia dan 40 persen anak muda Mesir menganggur (social.un.org: Agustus 2010-2011). Sementara keluhannya tidak ditanggapi apalagi ditangani pemerintah. Populasi kaum muda perkotaan meningkat, upah rendah, dan harga pangan yang tinggi yang telah memperburuk ketidakpuasan mereka.

Para demonstran di Myanmar melawan tentara (Foto: Istimewa)

Sebuah Momentum

Apa yang terjadi pada Arab Spring memberikan catatan penting bahwa kaum muda dapat menjadi kekuatan perubahan. Pada tahun 1963 Bob Dylan menulis The Times They Are a-Changin, sebuah lagu yang menggambarkan pemberontakan pemuda tahun 1968 di Eropa dan Amerika Serikat. Kaum muda Indonesia  melakukannya pada tahun 1998. Kini, kemajuan teknologi komunikasi, semisal media sosial telah menjadi alat pemersatu gerakan. Selain itu, ada permeratu lain,  seperti seni dalam beragam bentuk yang dapat berperan dalam advokasi anti-rejim.

Apakah perjuangan rakyat—termasuk kelompok-kelompok yang selama ini dimarjinalkan antara lain kaum minoritas relejius, etnik minoritas yang ditindas, komunitas LGBTQ (National Geographic, 20/3/2021)—kaum muda Myanmar akan berhasil seperti rekan-rekan mereka di negara lain? Hingga saat ini, belum ada yang bisa memastikan. Apakah anak-anak muda yang turun ke jalan mempertaruhkan nyawa mereka pada akhirnya akan tidak berdaya dan kalah? Sekalipun sudah puluhan nyawa melayang, tidak terlihat bahwa ada rasa gentar di antara kaum muda yang melawan kekejaman militer.

Apa yang terjadi sekarang ini sebenarnya adalah momentum kebangkitan kaum muda untuk melawan penindasan, kekejaman, dan pembunuhan terhadap demokrasi. Yang terjadi di Tunisia dan Mesir, misalnya, memang beda dengan yang terjadi di Myanmar. Di hampir ujung perjuangan kaum muda, rakyat sipil di kedua negara itu, militer berpihak pada mereka. Bahkan di Tunisi, militer tidak tertarik masuk ke politik. Sebaliknya, anak-anak muda Myanmar menghadapi tentara yang tega membunuh sesama anak bangsa.

Ini momentum bagi rakyat dan kaum muda Myanmar untuk merebut kedaulatan rakyat, untuk menegakkan demokrasi (yang sekarang berjalan setengah-setengah, karena meskipun militer melepaskan kepala demokrasi tetapi tetap memegang kuat-kuat tiga perempat badannya hingga ekor), untuk menyingkirkan cengkeraman tangan militer terhadap kebebasan mereka.

Tantangan yang harus dihadapi kaum muda dan rakyat sipil, hampir tidak dapat diatasi. Yang paling mencolok adalah kurangnya sumber daya keuangan dan lainnya dari gerakan tersebut dan perbedaan yang sangat besar dalam kekuatan dengan militer — sebuah organisasi yang cerdik, sangat berpengalaman dalam penggunaan taktik divide-and-conquer sebagai alat untuk mensterilkan lawan politik.

Para biksu, turun ke jalan menuntut kebebasan (Foto: Istimewa)
banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *