Sinergi Pesantren Membangun Desa

Sinergi Pesantren Membangun Desa
ilustrasi: pondok pesantren
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh : Tamsil Linrung (Senator DPD RI)

Hajinews – Dukungan pembangunan ekonomi desa yang disampaikan oleh kolega saya, Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia LaNyalla Mattalitti dalam kunjungannya ke Nusa Tenggara Timur baru-baru ini, merupakan salah satu agenda perjuangan di DPD RI. Selain advokasi artikulatif melalui kebijakan secara kelembagaan, sokongan terhadap akselerasi pembangunan desa juga dicanangkan dalam bentuk program-program aspirasi senator.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Di Pangkep, Sulawesi Selatan, saya membangun Pesantren Insan Cendekia Madani (ICM). Institusi pendidikan yang bukan cuma didedikasikan untuk melahirkan insan unggul, namun juga mampu berkontribusi konkret terhadap pembangunan desa berbasis kekayaan sumber daya lokal. Pesantren ini, memang sengaja di bangun di perdesaan.

Desa dan pesantren merupakan dua entitas sosial yang punya interaksi panjang dan saling mempengaruhi, serta mengisi dalam sejarah dinamika bangsa. Keduanya menorehkan warna melukis wajah Indonesia. Di garis terdepan, desa tampil sebagai unit struktural ujung tombak negara. Sementara pesantren, mewakili wajah kultural masyarakat Indonesia yang mayoritas berpenduduk muslim.

Jika desa dalam terminologi kedaulatan adalah delegasi negara, maka pesantren merupakan kristalisasi wajah warga. Kedua entitas ini tumbuh organik. Bersilangan di banyak interaksi, hingga menciptakan asimilasi. Keduanya bahkan dianggap identik. Lahir dari genealogi yang sama. Representasi sub kultur terbesar masyarakat Indonesia.

Sebagai “institusi resmi negara”, perhatian terhadap pembangunan desa tentu saja jauh lebih memadai ketimbang perhatian terhadap pesantren. Di masa lalu kita mengenal berbagai program untuk mengakselerasi desa. Mulai dari pendirian Koperasi Unit Desa untuk menstimulasi ekonomi, program Posyandu di bidang kesehatan, hingga ABRI masuk desa sebagai bentuk proteksi pertahanan dan keamanan dalam pengertian yang lebih luas.

Upaya kontemporer mendorong pembangunan desa bahkan semakin serius sejak disahkannya UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa. Memang terkesan telat, UU itu baru ada setelah 69 tahun Indonesia merdeka. Kendati demikian, kehadiran UU Desa membuktikan upaya negara dalam mengentaskan berbagai problem kebangsaan. Termasuk pekerjaan rumah yang mengendap di desa.

Saban tahun, desa jadi pusat kemiskinan. Data per tahun 2020, sebanyak 12,82% penduduk miskin Indonesia ada di desa. Bandingkan dengan penduduk miskin kota sebesar 7,38%.

Demikian pula potret ketimpangan dan keterbelakangan yang terakumulasi di desa. Bayangkan, ekonomi desa hanya menyumbang 14 persen dari total PDB nasional. Sementara 86 persen sisanya berasal dari perkotaan. Padahal, 46,7% penduduk Indonesia tinggal di desa. Satu gambaran statistik tentang gap realitas sosial yang mengkhawatirkan.

Maka pandangan bahwa desa adalah daerah terbelakang memang punya pijakan sahih. Saking buruknya pandangan terhadap desa, muncul istilah “orang udik” di tengah-tengah masyarakat. Kata ganti yang merujuk pada semua konotasi dan terminologi negatif skala komunal warga desa.

Orang-orang desa menghadapi stigma sebagai warga kelas dua. Identitas ‘kedesaan’ tak jarang disembunyikan. Itu sekelumit citra desa di masa lalu yang terbawa hingga saat ini. Secara aktual, kehidupan desa memang sarat problematika. Meski sebetulnya, problem masyarakat kota tak kalah pelik dan kompleks.

Tapi demikianlah fakta yang kita hadapi. Bahwa desa sebagai wajah utama Indonesia, terkesan lama dilupakan. Syukurnya, belakangan ini, perhatian terhadap pembangunan desa semakin memadai.

Anggaran desa bahkan menjadi satu dari empat pengeluaran negara yang sudah diatur persentasenya dalam undang-undang atau yang biasa disebut mandatory spending. UU Desa mengamanatkan, alokasi dana desa (ADD) paling sedikit 10% dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus.

Pengawalan terhadap akselerasi pembangunan desa tentu saja tidak berakhir sampai di situ. Problem berikutnya, bagaimana para perangkat desa dapat mengelola anggaran yang dititipkan oleh negara.

Tantangan ini tidak mudah. Apalagi, para perangkat desa dengan pendampingan dari Kementerian dan isntansi terkait, masih dalam masa-masa adaptasi mencari model pengelolaan dana desa yang ideal. Agar anggaran tersebut secara efektif menjembatani tercapainya cita-cita pembangunan, pemerataan dan kesejahteraan masyarakat desa.

Di tengah upaya mencoba model ideal pemanfaatan dana desa, dari membenahi infrastruktur pertanian hingga dikelola produktif melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), kita mulai sering mendengar atau membaca berita tentang penyelewengan dana desa. Ini bencana.

Belum lagi, muncul laporan-laporan mengenai penggunaan dana desa secara serampangan karena aparatus desa kurang memahami mengelola dana yang relatif besar itu. Sebetulnya, pendamping desa yang didelegasikan dari pusat patut kita apresiasi. Cuma memang, tidak digaransi berjalan ideal dalam implementasi pendampingannya. Perlu evaluasi dan upgrading berkala. Bahkan penting untuk dibuat key performance indicator (KPI)

Beratnya problem pengelolaan dana desa semakin terlihat dari berbagai indikator statistik. Termasuk penurunan angka kemiskinan yang merangkak sangat lamban. Dalam situasi-situasi ekonomi yang rentan, angka kemiskinan di desa bahkan bergerak naik. Per September 2019 jumlah penduduk miskin di perdesaan sebesar 12,6 persen. Seiring terjadinya pandemi Covid-19, kemiskinan di desa menjadi 12,82%.

Dana desa, tentu bukan faktor tunggal yang diharapkan jadi jamu pamungkas mendongkrak kesejahteraan di desa. Fakta-fakta soal penyelewengan dana desa, proyek asal jadi hingga lambannya pengentasan kemiskinan, sudah cukup sebagai bahan evaluasi. Ada yang harus dibenahi.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *