Beda Ekonomi Manusia dengan Rizki Allah

Beda Ekonomi Manusia dengan Rizki Allah
ilustrasi: rizki dari Allah
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Bahkan sampai hari ini seluruh hidup saya, termasuk bersama KiaiKanjeng, tidak pernah terobsesi dan diseret oleh logika perekonomian manusia, melainkan bekerja keras di dalam kepercayaan kepada rizki Allah. Rutenya iman, percaya total kepada rangsum Allah. Islam, mencampakkan diri bongkokan kepada kebijaksanaan Allah. Dengan amal saleh, tidak berhenti kerja keras dan ikhtiar kreatif. Taqwa, mewaspadai dan berhat-hati terhadap segala hal. Tawakkal, tidak bersombong diri menjangkau yang tak mungkin dijangkau oleh kadar ilmu dan kuasa manusia, sehingga mewakilkannya kepada Allah. Dan semua itu disetiai, dibudidayakan dengan sabar dan shalat.

Mungkin hal ini tampak sepele, tetapi salah satu yang menolong saya adalah dulu ada kurikulum Ilmu Bumi dan Ilmu Alam, dengan kesadaran dan spektrum yang berbeda dibanding sesudah mata pelajaran itu diubah-ubah namanya terus-menerus oleh Kementerian Pendidikan Nasional yang riwayat perjalannya dari era ke era seperti pengidap penyakit jiwa dan mental.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Meskipun saya tidak tamat SDN Bakalan Jombang, tetapi pengalaman pendidikan saya di “sekolah zaman dulu” itu membuat peta desa-desa dan Kecamatan Sumobito, juga seluruh Kabupaten Jombang, Propinsi Jawa Timur, Kepulauan Nusantara hingga benua-benua di Bumi, tergambar cukup jelas di permukaan memori otak saya.

Sampai sekarang di mana letak Purwodadi yang Jawa Timur dan yang Jawa Tengah, sebagaimana juga beda antara Purwokerto dengan Purwakarta, termasuk desa Jombang yang di Jakarta, terekam pemetaannya di layar ingatan. Ibukota semua Negara-negara di dunia. Juga kesadaran arah, utara selatan barat timur, menyatu dengan peta Negara dan Dunia. Ketika di masa dewasa saya hidup di Filipina kemudian Amerika Serikat kemudian Jerman dan Belanda, tak seorang pun bisa saya ajak bicara tentang utara dan selatan. Di seluruh dunia modern kesadarannya sangat lokal, yakni kanan dan kiri, depan dan belakang. Tidak ngasih tahu orang di luar negeri sebuah lokasi dengan menggunakan idiom arah utara selatan.

Dulu anak-anak dididik untuk punya perspektif hidup yang universal-kosmologis. Sekarang anak-anak sekolah dihimpit dan di-pak atau dipaket-paket untuk menjadi makhluk-makhluk lokal. Tahunya kiri kanan, tidak paham utara selatan. Cita-cita tertingginya hanya menjadi Presiden sebuah Negara. Kalau tidak terjangkau ya minimal jadi Walikota. Karena luasan pikiran mereka tidak ditanami benih Irsa` Mi’raj yang mengenali Sidratul Muntaha untuk menyadari ketidaksanggupan ilmunya dalam menjangkau kehidupan.

Semua makhluk Allah dicampakkan oleh Allah dalam ruang dan waktu. Kemudian manusia yang paling pandai dan modern sekarang jarang mengingat atau menyadari bahwa mereka hidup di dalam ruang yang tak terjangkau oleh ilmu mereka, serta digiring oleh waktu yang tidak terbilang oleh perhitungan mereka. Orang modern meremehkan ruang dan waktu dengan cara menyempitkan dan memendekkannya.

قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يُؤْذِينِى ابْنُ آدَمَ يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ

Allah ’Azza wa Jalla berfirman,’Aku disakiti oleh anak Adam. Dia mencela waktu, padahal Aku adalah (pengatur) waktu, Akulah yang membolak-balikkan malam dan siang.

Manusia berani melakukan kejahatan, kedhaliman, kehinaan karena meremehkan waktu. Apalagi peradaban abad 20-21 adalah peradaban mental instan. Peradaban di mana manusia tidak berhitung panjang. Alih-alih sampai Akhirat. Manajemen Indonesia pun tidak mensimulasi waktu yang sangat pendek di depannya, misalnya 100 tahun.

Jadi hampir semua penduduk bumi ini terutama yang masyarakat modern, ternyata adalah Enthung. “Enthung enthung ngendi lor ngendi kidul”. Enthung adalah ulat yang belum menjadi kupu-kupu. Masyarakat modern adalah manusia tradisi atau anak cucu manusia masa silam, yang sebenarnya belum pernah benar-benar mencapai modernitas dan modernisme.

Banyak kasus-kasus peradaban modern, dari kemajuan teknologinya hingga sistem politiknya yang membuat penduduk bumi jaman sekarang merasa merekalah yang paling maju dan paling hebat di antara masyarakat selama peradaban-peradaban sebelumnya.

قَالَ وَمَن كَفَرَ فَأُمَتِّعُهُۥ قَلِيلٗا ثُمَّ أَضۡطَرُّهُۥٓ إِلَىٰ عَذَابِ ٱلنَّارِۖ وَبِئۡسَ ٱلۡمَصِيرُ

Dan kepada orang yang kafir pun Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.

Anak-anakku Maiyah mengembangkan kewaspadaan dan ketajaman untuk melihat-lihat kembali hidupnya. Kalau kesenangan dan kemakmuran yang kalian nikmati ternyata hanyalah “faumatti’uhu qalilan”, maka bersegera dan perbanyaklah istitighfar.

Abad 20-21 ini pencapaian ummat manusia bisa didaftarkan untuk masuk kategori “baldatun thayyibatun” tetapi terlalu dhalim dan kemproh untuk bisa masuk “wa Rabbun Ghofur”. Indonesia sedikit pun belum menyentuh prestasi Sila-5 yang dibikinnya sendiri: “Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Jangan lupa “gemah ripah loh jinawi” dari filosofi Jawa itu hasil karya Allah. Sedangkan manusia memperjuangkan “tata tenterem kerta raharja”, dan belum pernah tercapai sampai hari ini.

Kalau kau ilmuwan, cobalah eksplorasikan dan simulasikan hipotesis dasar itu menuju pembidangan yang bermacam-macam dengan beribu contoh teoretis maupun empirisnya. Masih mending Kakek kita dulu yang pelajaran dasarnya adalah “Sangkan paraning dumadi”. Dibanding anak-anak dunia modern yang semakin lama semakin primordial, semakin sempit cara pandangnya, sehingga sikap hidupnya semakin sektarian dan eksklusif. Justru kondisi konkret itu yang menyebabkan mereka sangat merindukan inklusivisme. Saking eksklusifnya hidup mereka.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *