Blanko Kosong Perang Melawan Teror

Blanko Kosong Perang Melawan Teror
farid Gaban
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Telah 20 tahun kita didera terorisme, yang memakan banyak nyawa para korban, yang bikin banyak penderitaan bagi keluarga korban, dan yang memicu saling curiga antar umat beragama.

Mengapa teror bisa mengharu-biru kita begitu lama dan bertubi-tubi?

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Menurut saya, karena kita cenderung memberi blanko kosong pada “perang melawan teror”; perang yang bermula dari Amerika dan sekarang ini terbukti manipulatif.

Banyak dari kita menerima begitu saja dalih polisi, BNPT serta aparat intel bahwa teror di Indonesia itu beranak-pinak di bawah tanah, membentuk sel-sel yang sulit dideteksi.

Bahkan sekarang, katanya, muncul teroris individual (lone wolf), yang lebih mustahil lagi bisa dilacak.

Kita juga cenderung percaya begitu saja ketika seluruh narasi teror yang dulu dinisbahkan kepada Al Qaidah kini diatribusikan kepada ISIS, seolah ISIS adalah metamorfosis logis dari Al Qaidah.

Menurut saya, kita tak bisa melawan “hantu”, sesuatu yang tidak bisa dideteksi, yang motifnya tak dipahami dan yang aksinya begitu random tak bisa diantisipasi. Jika kita menerima dalih itu, sampai kapanpun takkan pernah kita bisa menghentikan terorisme.

Tapi, bukankah bahkan jasad renik virus corona, serta varian-variannya yang terus bermutasi, bisa dideteksi sehingga bisa dilawan?

Mungkin tidak gampang mendeteksi virus. Tapi, itu tetap pertama-tama menjadi tanggungjawab aparat untuk mengatasi dan mencegahnya. Tanggungjawab BNPT dan polisi.

Tapi, alih-alih menagih tanggungjawab polisi, Densus, BNPT dan badan intelijen, kaum intelektual, akademisi serta jurnalis cenderung percaya begitu saja cerita mereka.

Memberi blanko kosong kepada polisi dan intel punya konsekuensi luas bagi demokrasi kita dan bagi civil society keseluruhan (tak hanya bagi umat Islam yang selalu dijadikan sasaran kecurigaan).

Pada 2003, Human Rights Watch membuat laporan yang menyimpulkan bahwa “war on terror” dimanfaatkan oleh para despot dan diktator sebagai dalih untuk mempersempit kebebasan sipil, memberangus oposisi dan meredam protes.

Lewat “perang melawan teror”, kekuasaan polisi dan aparat intel makin kuat. Tak hanya anggaran makin besar, tapi juga kekuasaannya, yang jarang dipertanyakan.

Kita tidak peka lagi terhadap standar normal kehidupan bernegara. Kita cenderung membiarkan polisi melenggang begitu saja meski telah membunuh 100 lebih terduga teroris tanpa proses hukum (extra-judicial killing).

Kita tidak peka lagi ketika kekuasaan polisi/intel dipakai untuk memberangus demonstrasi damai.

Kita menutup mata bahwa polisi menangkap 5.000 demonstran dalam dua gelombang besar demonstrasi: anti-korupsi dan anti-Omnibus Law dua tahun terakhir.

Kekuasaan besar polisi dan aparat intel akan cenderung mengarah pada pendekatan keamanan dan negara-polisi (police state). Memberi impunitas kepada aparat dan mendorong satu warga memata-matai warga lain.

Dan itu tak hanya merugikan aktivisme Islam. Kekuasaan polisi dan aparat intel dipakai juga untuk meredam demonstrasi tanpa motif agama, aspirasi politik lokal seperti Papua, aktivisme sosial melawan penggusuran dan aktivis pembela lingkungan.

Lebih segalanya, blanko kosong kekuasaan besar polisi dan aparat intel akan memperkuat posisi kaum oligark, melindungi perselingkuhan politisi dan bisnis yang makin korup dan menindas

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *