Data BPS: Neraca Perdagangan Surplus, Ekonom : Tak Berarti Apapun

banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Hajinews – Data yang diungkapkan Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto tentang neraca perdagangan RI mengalami surplus sejumlah US$1,57 Miliar atau setara nilai Rp22,6 Triliun (kurs dollar, Rp 14.500) pada bulan Maret 2021 mendapatkan tanggapan. Menurut Ekonom Konstitusi Defiyan Cori, angka surplus perdagangan itu tak memiliki arti apapun. Kok bisa?

“Apabila dicermati secara seksama, maka berdasarkan sektor dan penggunaan barang, kinerja ekspor pada bulan Maret 2021 yang meningkat sebesar 30,47 persen tidak ada arti apapun disebabkan oleh adanya kenaikan impor sebesar 25,73 persen, atau selisihnya kurang dari 6 persen,” ujar Defiyan melalui rilis Jumat (16/4/2021).

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Tentu saja, menurut Defiyan, pertanyaan penting dari peningkatan ekspor yang disumbangkan oleh sebagian besar sektor pertanian, industri, maupun sektor pertambangan itu, apakah memberikan dampak signifikan pada kinerja pelaku ekonomi konstitusi, yaitu Koperasi dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN)?

Seperti diketahui, BPS merinci surplus tersebut diperoleh dari total nilai ekspor sejumlah US$ 18,35 Miliar atau senilai Rp266,1Triliun, dikurangi atas impor yang sejumlah US$16,79 Miliar atau setara Rp243,5.

Surplus perdagangan ini, menurut Defiyan, memang lebih baik dibandingkan dengan capaian surplus pada bulan Maret Tahun 2020 maupun pada Tahun 2019, yang pada waktu itu surplus hanya diperoleh sejumlah US$ 0,7 Miliar atau sejumlah Rp1 Triliun saja, berarti ada kenaikan perolehan surplus secara tahunan sejumlah Rp21,6 Triliun.

Defiyan mengungkapkan bahwa disaat yang sama kinerja impornya juga persentasenya tinggi atau naik, disebabkan oleh adanya kenaikan impor baik untuk barang konsumsi, terutama produk-produk kesehatan untuk mengatasi pandemi covid19, dan barang-barang modal. Hal ini tampak pada impor komponen barang konsumsi yang meningkat menjadi sebesar 15,51 persen secara bulanan dan 13,4 persen secara tahunan. Salah satu yang mempengaruhi kenaikan impor tersebut, yaitu permintaan vaksin yang berasal dari Republik Rakyat China.

“Selain itu, impor bahan baku juga mengalami peningkatan 31,1 persen secara bulanan dan 25,82 persen, secara tahunan menunjukkan 2 (dua) hal, bahwa masih ada bahan baku yang tidak tersedia, atau tersedia tapi tidak dalam kuantitas dan kualitas memadai disatu sisi. Disisi yang lain, dapat juga disampaikan bahwa kebiasaan impor yang secara politik masih menjadi kebijakan pemerintah, yang berarti penataan industri sektor hulu tidak berjalan. Bahkan itu juga ditandai dengan impor barang modal yang juga meningkat dua digit, yaitu 11,85 persen secara bulanan dan 33,7 persen secara tahunan,” papar dia.

Disamping itu, menurut dia, kenaikan impor secara bulanan juga diperoleh dari sektor minyak dan gas (migas) dan non migas, yaitu sebesar 26,55 persen, kenaikan masing-masingnya, yaitu sebesar 74,74 persen dan 21,30 persen. Secara tahunan, impor migas mengalami kenaikan yang cukup signifikan, yaitu sebesar 41,87 persen dan impor nonmigas naik sebesar 23,52 persen.

Walaupun menurut Kepala BPS Suhariyanto pergerakan ekspor dan impor yang tinggi tersebut sejalan dengan indikator Purchasing Manager Index (PMI) Manufaktur RepubIik Indonesia yang ekspansif, yaitu sebesar 53,2, namun Defiyan mengungkapkan ekspansifitas daya beli ini dinikmati oleh siapa saja menjadi lebih penting untuk disampaikan.

“Apabila mengacu pada angka kemiskinan dan pengangguran yang masih belum bergerak turun secara signifikan serta permasalahan kinerja beberapa BUMN, maka dapat dipastikan surplus perdagangan dan selisih persentase atas ekspor dan impor pada bulan Maret 2021 tidak berpengaruh pada perbaikan kinerja BUMN dan kesejahteraan rakyat banyak. Justru sebaliknya, masyarakat dihadapkan pada peningkatan harga pada komoditas kebutuhan pokok menjelang puasa Ramadhan 1442 H, seperti beras dan daging, namun kenaikan harga itu hasilnya tidak terdistribusi ke petani dan peternak,” ujar dia.

Oleh karena itu, menurut Defiyan, survei yang diakukan oleh Bank Indonesia (BI) yang termaktub dalam laporan Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) pada kuartal I Tahun 2021 yang menyatakan, bahwa adanya akselerasi dibandingkan dengan kuartal sebelumnya yang ditandai menguatnya permintaan karena dampak stimulus ekonomi dari pemerintah sebesar 4,5 persen atau membaik dari -3,9 persen pada kuartal IV Tahun 2020.

“Did not do anything,” ujar Defiyan Cori. (dbs).

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *