Kemendikbud Disusupi PKI? Fadli Zon; Dirjen Kebudayaan Mau Belokan Sejarah

Fadli Zon (foto: ist)
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Hajinews — Penghapusan mata kuliah Pancasila dan Bahasa Indonesia sebagai mata kuliah wajib perguruan tinggi menjadi sorotan.

Pengahapusan mata kuliah tersebut menjadi polemik di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Republik Indonesia

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Tak hanya penghapusan mata kuliah Pancasila dan Bahasa Indonesia sebagai mata kuliah wajib perguruan tinggi, Kemendikbud pun dinilai disusupi oleh pendukung Partai Komunis Indonesia (PKI).

Hal tersebut disampaikan Fadli Zon merujuk Direktur Jenderal (Dirjen) Kebudayaan Kemendikbud Republik Indonesia, Hilmar Farid.

Dalam status twitternya, @FadliZon; pada Rabu (21/4/2021), Anggota DPR Republik Indonesia itu menilai Hilmar Farid membela sejarah versi PKI.

Hilmar katanya menyebut Orde Baru dan TNI merupakan pihak bersalah.

Sementara PKI menjadi korban atas legitimasi pemerintahan Orde Baru.

Hilmar pun disebutkan Fadli Zon mau membelokkan sejarah kelam atas kudeta dan pembantaian para Jenderal TNI pada tahun 1965 silam.

“Dlm soal PKI, Dirjen Kebudayaan ini jelas bela sejarah versi PKI, menyalahkan Orde Baru n TNI. Tak akui PKI lakukan kudeta, malah PKI sbg korban,” tulis Fadli Zon, dilansir Tribunnews, Rabu (21/4/2021).

“Ia tdk sebut G30S/PKI tp G30S saja, Ia cb menepis penyiksaan thd para Jenderal di Lubang Buaya dg hasil visum. Ia mau belokkan sejarah,” tegas Fadli Zon.

Hal tersebut disampaikan Fadli Zon menanggapi postingan Mustofa Nahrawardaya lewat akun twitter @TofaTofa_id, pada Rabu (21/4/2021).

Dalam postingan, Mustofa menyebutkan polemik yang terjadi di Kemendikbud Republik Indonesia tidak mengejutkan.

Dirinya beralasan polemik sudah terjadi di jajaran Kemendikbud sejak lama, merujuk pandangan Hilmar Farid yang menjabat sebagai Dirjen Kebudayaan Kemendikbud Republik Indonesia.

Hilmar menyebut Orde Baru berdiri karena memanipulasi sejarah yang dimulai dengan G30S PKI pada 30 September 1965 silam.

Hilmar menyatakan Partai Komunis Indonesia (PKI) hanya menjadi korban dan dijadikan Soeharto sebagai alat untuk melegitimasi pemerintahan Orde Baru menggantikan Kepemimpinan Soekarno.

“Polemik di Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, bagi saya, TIDAK MENGAGETKAN SAMA SEKALI,” tulis Mustofa.

“Kalau enggak percaya, silahkan tonton Pandangan Bapak Hilmar Farid yang sekarang menjabat Dirjen Kebudayaan ini, tentang sejarah PKI. Simpan videonya!,” jelasnya.

Penghapusan Mata Kuliah Pancasila

Diberitakan sebelumnya, keputusan Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo yang menghapus mata kuliah Pancasila dan Bahasa Indonesia sebagai mata kuliah wajib di perguruan tinggi disoroti Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra, Fadli Zon.

Fadli Zon menilai keputusan yang terangkum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan itu merupakan kesalahan yang sangat fatal.

“Hal ini mengingatkan kita pada hilangnya frasa ‘agama’ dalam draft ‘Peta Jalan Pendidikan 2020-2035’ yang disusun oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Sehingga, tak heran jika ada sejumlah kalangan menilai ini bentuk kesengajaan,” ungkap Fadli Zon dalam siaran tertulis pada Selasa (20/4/2021).

Mungkin, lanjutnya, ada sejumlah ahli di Kemendikbud yang berpandangan bahwa agama, Pancasila, dan Bahasa Indonesia tidaklah penting.

Dirinya juga mengetahui ada pandangan bahwa pelajaran agama, menjadi beban bagi dunia pendidikan.

“Kita memang tak bisa mengetahui dengan pasti apakah hilangnya frasa agama, mata kuliah Pancasila serta mata kuliah Bahasa Indonesia merupakan kesengajaan, atau sekadar produk kecerobohan Pemerintah belaka,” ungkap Fadli Zon.

“Yang jelas, kesalahan ini fatal!,” tegasnya.

Merujuk Pasal 31 Ayat (3) UUD 1945, dipaparkannya, dengan jelas dimandatkan oleh konstitusi bahwa, ‘Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang’.

Sehingga menurutnya, pemerintah wajib menyelenggarakan sebuah ‘pendidikan nasional’.

Apa yang dimaksud sebagai ‘pendidikan nasional’ itu ditekankan Fadli Zon bukan saja mencakup skalanya, yaitu sebuah pendidikan yang diselenggarakan secara nasional, dari Sabang sampai Merauke; namun juga mencakup sifatnya, yaitu sebuah pendidikan yang memiliki ciri kebangsaan.

“Di poin kedua inilah letak posisi vital ‘agama’, Pancasila serta bahasa Indonesia dalam sistem pendidikan kita. Ketiganya adalah ciri dari pendidikan nasional kita,” jelas Fadli Zon.

“Tanpa ketiganya, pendidikan yang diselenggarakan pemerintah jadi kehilangan sifat kenasionalannya,” tegasnya.

Protes keras yang disampaikan berbagai kalangan katanya tidak merevisi konsep Peta Jalan Pendidikan.

Sebab diamatinya, frasa agama tetap tidak dicantumkan dalam dokumen Peta Jalan Pendidikan.

Padahal, sebagai produk turunan kebijakan, dokumen Peta Jalan Pendidikan yang dirumuskan oleh tim Kemendikbud semestinya merunut pada hierarki hukum dan tak boleh berbeda dari peraturan di atasnya, baik Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional maupun UUD 1945.

Seperti dalam Pasal 31 UUD 1945, baik Ayat (3) maupun (5), disebutkan secara eksplisit bahwa agama adalah unsur integral di dalam pendidikan nasional.

Karena itu, hilangnya frasa ‘agama’ dari Peta Jalan Pendidikan adalah sebuah peristiwa hukum dan ketatanegaraan yang serius.

Tidak masuknya frasa ‘agama’ dalam draf Peta Jalan Pendidikan Nasional diungkapkan Fadli Zon membuktikan dua hal.

Pertama, penyusunan roadmap ini ahistoris, karena telah mengabaikan pertimbangan historis, sosiologis, sekaligus yuridis yang mestinya hadir dalam penyusunan kebijakan pendidikan.

“Tim perumus harus diisi mereka yang benar-benar paham sejarah pendidikan nasional. Mereka yang tak tahu sejarah masa lalu, tak mungkin tahu apa yang terjadi masa kini,” papar Fadli Zon.

“Mereka yang tak tahu apa yang terjadi masa kini, tak mungkin bisa merancang masa depan,” jelasnya.

Kedua, penyusunan roadmap ini tidak melibatkan stakeholder terkait.

Adanya protes Muhammadiyah dan kelompok keagamaan lain adalah buktinya.

Padahal, ormas seperti Muhammadiyah, misalnya, telah menyelenggarakan kegiatan pendidikan jauh sejak sebelum Republik ini lahir.

Kasus hilangnya mata kuliah Pancasila dan Bahasa Indonesia dari PP No. 57/2021 lebih aneh lagi, karena PP tersebut seolah seperti hendak mengamandemen UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, yang menegaskan bahwa kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat mata kuliah agama, Pancasila, kewarganegaraan, dan bahasa Indonesia.

“Hilangnya mata kuliah Pancasila dan Bahasa Indonesia dari PP Nomor 57 Tahun 2021 menunjukkan Pemerintah tidak belajar dari kesalahan hilangnya frasa ‘agama’ dari Peta Jalan Pendidikan,” tegasnya.

Jika semula tuduhan kecerobohan hanya tertuju ke Kemendikbud, maka kasus kedua ini telah melebar.

Sebab dalam penyusunan peraturan pemerintah ada peran Sekretaris Kabinet, Sekretaris Negara dan Menteri Hukum dan HAM.

“Siapa yang paling bertanggung jawab atas terjadinya kecerobohan esensial semacam ini?,” imbuhnya.

Fadli Zon pun meminta agar pemerintah tidak menyalahkan publik apabila melontarkan beragam pertanyaan.

Seperti kebijakan-kebijakan pendidikan semacam ini sebenarnya datang dari mana?

Apakah benar-benar dari internal Kemendikbud dan pemerintahan?

Atau konsep yang lahir dari lembaga lain di luar?

“Kita paham, Mendikbud kita hari ini tak punya basis kuat dalam bidang pendidikan, sehingga ia tentu dibantu sejumlah tim pemikir di sekitarnya,” ungkap Fadli Zon.

“Masalahnya siapa saja mereka? Ini bukan kali pertama kebijakan Pemerintah dalam bidang pendidikan mendapat sorotan demikian tajam dari masyarakat,” jelasnya.

Kalau benar-benar lahir dari internal Kemendikbud, lanjut Fadli Zon, biasanya para birokrat pemerintahan tak akan pernah seceroboh itu dalam menyusun legal drafting kebijakan, apalagi yang sifatnya sensitif.

“Tapi, kalau konsep-konsep ini lahir dari lembaga luar, Pemerintah, terutama Kemendikbud, perlu menjelaskan, siapa lembaga atau konsultan yang mereka tunjuk untuk menyusun kebijakan-kebijakan tadi, agar publik menjadi tahu,” tutupnya.(ingeu/dbs)

 

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *