“Banalitas Intelektual”

"Banalitas Intelektual"
foto/ilustrasi: intelektual
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Rusman Ghazali, Analis Universitas Nasional

Hajinews – Guru Besar Universitas Indonesia (UI) Prof Dr Sulistyowati Irianto (Prof. SI) viral di kanal Youtube (21/4/21), seakan menerobos blokade banyak ilmuan/intelektual yang terus menghamba pada kekuasaan. Paling tidak ada tiga poin pernyataan yang sungguh brilian dari Prof. SI menurut saya. Pertama, beberapa tahun belakangan ini marak fenomena kaum intelektual menghamba pada penguasa dan birokrasi. Kedua, para ilmuan hanya berpikir jabatan, gaji, dan tidak segan bertindak tidak terpuji dan oportunis. Ketiga, para dosen tidak berani berdiri kokoh di atas isu-isu kemanusiaan, dan tidak berani mengkritik agar pemerintahan menjadi bersih meski isu itu adalah keahliannya.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Meski Prof. SI juga memberi catatan, bahwa masih ada sejumlah kecil dosen yang tetap kritis meski harus melawan dosen lain yang justru berdiri di sisi pemerintahan. Mendengar pernyataan “keras” dari SI tersebut, saya langsung teringat dengan dua tulisan yang pernah saya baca, yaitu tulisan Haryatmoko (2010) dan Heru Nugroho (2012) tentang banalitas intelektual. Jika tidak keliru, kedua beliau sepertinya terinspirasi dari tulisan Hannah Arendt, A Report on the Banality of Evil di Jerusalem. Nah, menarik untuk mengaitkan pernyataan Prof. SI dengan banalitas intelektual kini, yang intinya adalah “kejahatan yang telah kehilangan ciri kejahatannya”.

Artinya kejahatan-kejahatan intelektual yang dilakukan sudah dianggap wajar dan normal. Mungkin kejahatan dibenak mereka tinggal tindakan pembunuhan dan kekerasan fisik, bahkan pembunuhan secara tidak wajar (di luar peri kemanusiaan) dalam berbagai kasus tanpa suara kaum intelektual yang memadai. Ini menunjukkan sensitifitas terhadap kemanusiaan sudah merosot tajam. Parahnya, kondisi tersebut merasuk menggorogoti dunia kampus, pemikiran kritis mahasiswa dimatikan oleh doktrinasi para dosen tanpa akal di ruang-ruang kelas untuk memaksa mahasiswa membenarkan kebijakan pemerintah yang sama sekali tidak memenuhi syarat-syarat logika. Suara kritis kaum intelektual bukan hanya sunyi-lenyap tapi dimatikan dari garis edar kemuliaan demi penghambaan pada kekuasaan.

Pendangkalan intelektual terjadi-nyata kini, kualitas akademik jatuh-tajam tertutup pekatnya nilai pragmatis. Para akademisi tidak lagi tegak melihat kemanuaian dan keadilan sebagai sesuatu yang abadi, tapi sibuk melantunkan kepentingan kekuasaan. Tidak ada lagi penggunaan dan refleksi teori-teori kebenaran dalam membangun narasi argumen, demi status ekonomi dan identitas kulturalnya. Moga apa yang dinyatakan Prof. SI menjadi titik balik bagi kaum intelektual penghamba segera sadar dan bangkit kembali menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran akademik.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *