Idul Fitri Ke Mana Dicari

Idul Fitri Ke Mana Dicari
Emha Ainun Nadjib
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh Emha Ainun Nadjib

Hajinews.id – Karena sangat sibuk seharian, pada puasa terakhir Ramadan kemarin kami mencari tempat berbuka di luar rumah. Bersama Rampak dan Ibunya kami menemukan warung dekat rumah Almarhumah Neneknya Rampak yang dipanggil Allah beberapa tahun silam.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Sebulan Ramadan kami lalui tidak dengan prestasi kekhusyukan yang hebat atau tinggi, tapi tiba-tiba sudah tiba hari terakhirnya seperti sangat sebentar dan tidak terjadi kesulitan atau rasa berat apa-apa.

Alhamdulillah akhirnya Idul Fitri tiba-tiba saja sudah di depan mata, kami membayangkan tahun depan kami akan harus siap tiba-tiba Ramadan sudah nongol lagi

Allahu Akbar. Allahu Akbar. Wa lillahil hamd.

Tengah menikmati keindahan takjil dan bergairah akan merasakan nikmatnya berbuka, dari Masjid sebelah terdengar takbir. Solo berselang-seling koor.

Subhanallah walhamdu lillah wala Ilaha illallahu Allahu Akbar.

Suaranya hamba Allah yang bertakbir cukup buruk. Notasi Takbirannya juga sama sekali tidak terlatih. Motifnya jelas notasi Arab Bayati, tetapi tanpa rasa estetika. Tetapi tidak menjadi masalah karena mayoritas yang bersuara adalah anak-anak.

Diam-diam hati saya diiris oleh semacam keprihatinan dan sedikit kesedihan tentang budaya kependidikan Islam. Tetapi saya tidak mau diseret oleh perasaan sedih apapun karena dalam batin saya sendiri terus takbiran.

Tetapi kemudian tiba-tiba muncul suara takbiran lainnya yang lebih keras dan lebih riuh rendah. Vokalis takbirnya lumayan bagus dan terdidik secara estetika mengaji. Tetapi takbiran yang indah itu secara ritmis dan berdisiplin diiringi oleh perkusi dan gendang dangdut.

Memang bisa saja secara musikal kita lantunkan Takbiran dengan latar ritme dan hitungan ketukan berbagai Genre musik. Bisa Blues, Bossanova, bahkan Rock atau Jazz.

Tapi dangdutan takbir ini faktanya bukan hanya mengiris perasaan saya, lebih dari itu juga memukul dan menyiksa. Tentu bukan masalah dangdutnya. Bukan masalah fiqih atau syariat Takbiran boleh pakai dangdut atau tidak. Bukan masalah hukum musiknya.

Semua kita Kaum Muslimin bersepakat bahwa di lapangan atau Masjid besok kita takbiran tidak boleh pakai musik. Tentu maksudnya tidak usah pakai group Orkestra, kelompok terbang ataupun gitar tunggal.

Tetapi kalau Takbiran tidak boleh pakai musik, lantas bagaimana melaksanakannya. Kalau dilarang pakai notasi, menaik-turunkan nada suara, rasa estetika, dhouq jamalah atau rasa keindahan, bagaimana caranya melantunkan Takbir.

Bahkan kalaupun nada dan notasi adalah musik, dan musik itu haram, tatkala kita takbiran tanpa nada itu pun tidak bisa menghindarkan diri dari rasa musikal atau musikalitas. Setiap patahan bunyi yang kita deret-deretkan, setiap hentakan atau lantunan meskipun datar saja, tetaplah itu sebuah komposisi musik.

Bahkan tidak mungkin manusia berbicara, berkomunikasi atau omong-omongan dengan bebas musik. Sedangkan perkutut, manuk puter, katak, lalat berdengung, bahkan hembusan angin, tetap itu semua adalah musik.

Bagi setiap manusia yang di dalam jiwanya terdapat alat perasa keindahan, sistem atau sensor estetika, sunyi pun musik. Keseluruhan hidup ini sangatlah musikal. Tangis bayi tergolong estetika musik tingkat tinggi.

Pendapat fiqih bahwa musik itu haram atau makruh, maksudnya pasti perlu dipahami melalui proporsi budaya, empan papan, etika bebrayan atau keenakan bersama tentang apapun yang terdengar dan terlihat dalam komunikasi antar manusia. Haram atau makruhnya musik tidak terletak pada spektrum entitas musik itu sendiri, melainkan berperspektif silaturahmi, spektrum budaya dan akhlaqul karimah, baik dalam skala horizontal maupun vertikal.

Misalnya Khatib Idul Fitri atau Imam shalat Ied tidak melantunkan bacaan-bacaannya seperti Bung Karno, Bung Tomo atau Kahar Muzakkar berpidato. Atau tidak seperti “penjual jamu” di halaman pasar. Tidak seperti semangat para penonton sepakbola di pinggiran dalam Stadion. Atau tidak seperti para petani ngajag tikus karena tanamannya rusak oleh hama. Atau tidak seperti anak-anak kecil riuh rendah berkejaran di halaman Sekolahan.

Qiro`atul Qur`an tidak usah pakai alunan biola dan keyboard. Karena musikalitas dan estetika tilawah sudah berada pada level tertinggi dari tataran keindahan musik, sehingga tidak memerlukan alat bantu benda-benda penghasil bunyi. Takbiran sebaiknya tidak usah diiringi orchestra, ensemble, band atau perkusi-perkusi, termasuk komposisi dangdut atau rock. Kecuali ketika dimaksudkan sebagai bagian dari suatu pertunjukan musik di panggung.

Dan itu parameternya bukan diambil dari lingkup fiqih eksklusif, melainkan justru menggali dari makna universalitas musikal, tata etika sosial dan pertimbangan-pertimbangan budaya pada lingkar masyarakat tertentu. Para Fuqaha` atau ahli Fiqih biasanya justru tidak punya penguasaan wawasan dan ilmu tentang keluasan itu.

Jadi kita tidak menolak bahwa apapun saja ekspresi manusia, termasuk musik, tidak ada yang merdeka dari parameter wajib-sunnah-mubah-makruh-haram. Tetapi cara mengukurnya juga harus tepat dan pada maqamat urusannya. Boleh tidaknya, bagus jeleknya, mashlahat mudlaratnya suatu ekspresi yang selama ini Kaum Ulama menyebutnya sebagai “musik”, berada pada ranah akhlaq manusia kepada Allah, kepada rasa nurani kemanusiaan di antara sesama manusia. Para ahli Fiqih sebaiknya bermusyawarah tidak di antara mereka, melainkan mendengarkan pakar etika sosial, ahli kebudayaan, penimbang etika dan sopan santun, serta Ulama-ulama Akhlaq dan ‘Aqidah.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *