Idul Fitri Ke Mana Dicari

Idul Fitri Ke Mana Dicari
Emha Ainun Nadjib
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Ketika kemarin senjahari saya mendengar bunyi Takbiran yang diiringi musikalitas dan ritme perkusi dangdut, yang membuat saya terpukul adalah bahwa estetika tingkat tinggi Takbir serasa direndahkan oleh pilihan ekspresi bunyi para pelantunnya.

Bunyi Takbiran dengan iringan perkusi dangdut membuat Takbir kehilangan keagungannya, ketinggian martabat rohaninya, kehilangan daya magisnya bagi romantisme hamba-hamba Allah yang sedang memesrai keagungan dan kesucian Allah mereka.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Qiro`ah dan Takbir menurut saya adalah hidayah Allah tingkat tinggi kepada keindahan jiwa manusia. Itu kekayaan sangat mahal yang mengatasi dan mengungguli seluruh khazanah kreativitas musik kebudayaan dunia.

Maka saya pulang dari berbuka di warung kemarin senja dengan hati yang terluka. Dengan rohani yang serasa dikotori dan direndahkan. Di tengah jalan ketemu pula dengan rombongan anak-anak muda berpawai Takbiran, yang juga dengan semangat dangdut atau jaran kepangan.

Selalu demikian setiap tahun. Suasana malam Lebaran melemparkan saya menjauh dari area rohani Idul Fitri. Padahal selama hari demi hari sepanjang setahun juga terus merasa dicederai dan dicederai. Oleh mozaik kedhaliman umat manusia. Oleh kebrutalan kekuasaan. Oleh kemunafikan politik. Oleh kebudayaan dan seluruh peradaban manusia yang “dholuman jahula”.

Allahu Akbar. Allahu Akbar. Walillahil hamd. Ke mana hamba harus melangkahkan kaki untuk menemukan Idul Fitri. Masyarakat mengidulfitrikan diri sejauh-jauhnya hanya dengan mengirim Selamat Hari Raya dan Mohon Maaf Lahir Batin atau saling berkunjung dan berkerumun dengan keluarga. Tetapi yang paling bersalah dalam kehidupan ini tidak pernah menyatakan bahwa mereka bersalah dan minta maaf. Belum pernah ada Presiden kita sejak 1945 dulu yang kalau tiba Hari Raya lantas memohon maaf kapada seluruh rakyatnya. Yang mereka lakukan justru sebaliknya. Mereka buka “Open House”. Membuka pintu rumah dinasnya atau Istana untuk dikunjungi oleh rakyatnya yang akan minta maaf.

Padahal kalau kita melihat, mengamati dan mempersaksikan kehidupan dunia dan Negara ini dari titik pijak Allah, dari koordinat kefithrian hidup, dari hati nurani Allah Swt, betapa mengerikan kesalahan, kedhliman, kebodohan, dan kemunafikan yang tersebar secara global dan nasional.

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِن بَنِي آدَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ
وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ ۖ
قَالُوا بَلَىٰ ۛ شَهِدْنَا ۛ أَن تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ
إِنَّا كُنَّا عَنْ هَٰذَا غَافِلِينَ

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul Engkau Tuhan kami, kami menjadi saksi”. Kami lakukan yang demikian itu agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami anak turun Adam adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”.

Di wilayah perilaku budaya sebelah mana yang mencerminkan “Betul, Engkau adalah Tuhan kami”. Di langkah pembangunan yang mana. Di keputusan Pemerintah yang mana. Di kiprah perekonomian dan industri yang mana. Di pertemuan, musyawarah rapat dan sidang yang mana. Di wilayah kemajuan modern yang mana yang Allah dituhankan? Kaum intelektual, kaum seniman dan kaum profesional mana yang dari kiprahnya tercermin bahwa di dalam jiwa mereka ada nilai dasar “Betul Engkau Tuhan kami, kami menjadi saksi“. Pun juga tidak seorang pun mewakili siapapun menyatakan pengakuan kepada Allah “Sesungguhnya kami anak turun Adam adalah orang-orang yang lengah terhadap keniscayaan Tuhan”.

Bahkan tak usah berkonteks sosial, kemasyarakatan, kenegaraan dan globalisme, saya pribadi ini sendiri pun serasa buta untuk melangkahkan kaki agar menemukan Idul Fitri. Kredit kesalahan hidup saya bertumpuk-tumpuk. Tidak sedikit orang yang bukan hanya tidak memaafkan saya. Bahkan juga dengki dendam seumur hidup kepada saya, yang hanya berakhir kalau ada di antara kami yang mati. Tidak sedikit orang yang tidak ikhlas bukan hanya terhadap ucapan dan perilaku saya, tetapi lebih dari itu mereka tidak rela atas kehidupan saya, tidak ikhlas kepada kenyataan bahwa saya ini ada di dunia dan Indonesia.

Saya yang sudah setua renta ini, bukan hanya tidak dimaafkan, tetapi juga tidak dikehendaki adanya saya. Banyak manusia yang baru merasa aman dan lega kalau saya mati atau tidak ada.

Jadi ya Allah, di mana di seantero kehidupan dunia ini akan bisa kutemukan Idul Fitri bagiku? Ke mana kaki hamba ini melangkah agar berjumpa dengan Idul Fitri?

Akhirnya tidak ke belahan dunia manapun aku pergi. Aku masuk menyelami jiwaku sendiri. Aku menyelam sampai ke lubuk sejati roh kehidupan yang berpusat dan bersumber pada-Mu.

Sesampainya di rumah, sambil sayup-sayup terdengar suara-suara Takbiran dari sekeliling kampung dan rumahku, aku berwudhu, aku bersujud. Aku bersila. Aku mengupayakan muthmainnah. Aku napaskan La Ilaha Illallah.

Sumber: caknun

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *