Mengejutkan! WAWANCARA EKSLUSIF, Ada Pertanyaan TWK Disuruh Pilih Alquran atau Pancasila?

Logo Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



JAKARTA, Hajinews — Penonaktifan 75 pegawai KPK menuai sorotan dalam beberapa pekan terakhir. Dimulai dari pengumuman 75 pegawai tak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) sebagai syarat alih status sebagai ASN pada 5 Mei.

Kemudian para pegawai yang tak lolos dinonaktifkan berdasarkan SK yang diteken Ketua KPK, Firli Bahuri, pada 7 Mei.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Mereka yang tak lolos termasuk penyidik senior Novel Baswedan dan Ambarita Damanik, Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi Giri Suprapdiono, hingga Deputi Bidang Koordinasi dan Supervisi Herry Muryanto.

Para pegawai yang tak lolos TWK diminta menyerahkan tugas dan tanggung jawab ke atasan masing-masing sampai waktu yang tidak ditentukan.

Penonaktifan tersebut menuai kritikan dari sejumlah pihak. Sebab TWK disinyalir dipakai untuk menyingkirkan pihak tertentu di KPK.

Sebab TWK baru muncul dalam Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021 dan diteken Ketua KPK Firli Bahuri pada 27 Januari 2021. Sedangkan UU KPK hasil revisi maupun PP 41 tahun 2020 tidak mencantumkan TWK. Ditambah, materi pertanyaan TWK yang dinilai tidak ada kaitannya dengan tugas KPK.

Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar Komisi dan Instansi (PJKAKI) Sujanarko, mengatakan, sebagian besar pegawai yang dinyatakan tidak lulus itu tidak diberitahu hasil tes tersebut.

Termasuk Sujanarko. “Saya tidak diperlihatkan data detailnya jadi saya tidak tahu itu nggak lulus karena apa nggak tahu,” tutur Sujanarko dalam wawancara eksklusif dengan Tribunnews.com, Selasa (18/5).

Berikut petikan wawancara khusus dengan Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar Komisi dan Instansi (PJKAKI) KPK, Sujanarko:

 

Bagaimana perasaan Anda saat masuk daftar 75 pegawai KPK yang tidak lulus TWK?

Saya bangga masuk daftar 75 orang itu, karena ternyata publik mempersepsikan kami adalah pegawai-pegawai yang konsisten memperjuangkan nilai-nilai KPK. Makanya saya bilang kalau TWK itu remeh temeh.

Perlu disampaikan ke publik, saya pada 2015 dapat penghargaan dari Presiden. Namanya penghargaan Satyalancana Wira Karya. Selama KPK berdiri hanya tiga orang yang pernah menerima penghargaan itu. Saya, Abdullah Hehamahua, dan Ina Susanti. Pada 2015 mereka semua sudah pensiun.

Bunyi dari penghargaan Presiden itu adalah penerima penghargaan itu dianggap punya kontribusi yang sangat besar terhadap nusa dan bangsa. Masak penghargaan ini dikalahkan tes abal-abal yang nggak jelas itu.

 

Pandangan anda tentang TWK tersebut?

Khusus terkait tes ini saya nyatakan tes tersebut diselenggarakan oleh panitia perselingkuhan. Kenapa? Karena KPK itu ‘kawin resminya’ terkait TWK adalah dengan BKN. Itu kawin resmi, ngelamar, diterima oleh BKN, dan BKN mengerjakan. Namun yang terjadi adalah di dalam BKN, proses TWK itu banyak diisi lembaga-lembaga lain di luar BKN.

 

Lembaga apa saja?

Ada Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Intelijen Strategis (BAIS TNI), Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT). Celakanya, metode-metode seperti ini secara profesional, prosedur metodologi itu harus dinilai dulu oleh pengguna, oleh KPK. Ini KPK tidak tahu, Menteri Pendayagunaan dan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN RB) enggak tahu, BKN nggak tahu. Lalu yang membuat soal itu siapa?

Saya ada bukti ini dari testimoni teman-teman. Kebetulan yang kemarin unboxing surat dari BKN dan membacakan detail alasan dia tidak diterima, tidak lulus syarat TWK. Ada alasan yang menarik, satu alasannya katanya sering bertentangan dengan atasan. Yang kedua, katanya sering membocorkan informasi ke media.

Lucunya, dua pertanyaan itu sama sekali tidak pernah muncul saat tes. Di internal KPK yang bersangkutan tidak pernah kena kasus, tidak pernah diperingatkan atasannya, tidak pernah dipanggil pimpinan. Jadi dua alasan ini tiba-tiba muncul jadi alasan seseorang tidak lulus.

Saya tidak diperlihatkan data detailnya. Jadi saya tidak tahu. Jadi hampir 75 orang pegawai itu nggak tahu semua kenapa nggak lulus. Yang tahu itu hanya yang kebetulan dia struktural dan waktu rapat diberi kesempatan unboxing untuk sampling. Tetapi bisa saya yakinkan, karena saya waktu tes Capim KPK dulu sampai ke DPR, maka pertanyaan TWK kemarin sangat tidak berbobot, pertanyaan rendahan.

 

Di antara pertanyaan yang ditanyakan itu apa?

Kalau saya tidak ada yang aneh-aneh ya. Saya yakin pengujinya juga tidak berani. Tetapi pertanyaan-pertanyaan yang sangat rendah dan tidak berintegritas itu diajukan kepada officer-officer yang di bawah.

Kebetulan saya dapat testimoni dari anak buah, tentang lepas jilbab, hasrat. Itu kebetulan anak buah saya. Bahkan disuruh pilih antara Alquran atau Pancasila. Bagaimana pertanyaan kok seperti itu? Itu testimoni yang saya dapat.

 

Siapa pewawancara atau pelaksana tes?

Ini juga suatu keanehan. Karena biasanya kalau konsultan profesional dan berintegritas saat kita masuk dipersilakan duduk, dia memperkenalkan diri dulu sebelum peserta ditanya identitasnya.

Ini diminta nama dia nggak nyebut. Jadi seperti gelap. Kita nggak jelas, minta nomor handphone-nya nggak ada. Pewawancara orang-orang yang tidak mau diketahui identitasnya, tidak profesional banget.

 

Apakah anda mengenal mereka?

Tidak kenal. Tetapi saya yakin pewawancara saya bukan dari BKN. Orang di luar BKN.

Kalau dari sisi jenis-jenis pertanyaan, mereka punya kompetensi intelijen. Orangnya cukup senior.

 

Ketika diberi tahu tidak lolos TWK, apa Anda rasakan?

Kalau saya biasa saja. Tetapi prinsip saya begini, kebenaran tidak boleh takluk. Jadi kalau saya menyatakan saya di jalur kebenaran, maka saya akan tegak berdiri dan melawannya.

 

Bagaimana mekanisme anda mendapat pemberitahuan tidak lolos TWK?

Dengan ramainya publik, ada tekanan-tekanan publik itu, muncullah gagasan menonaktifkan pegawai. Ini juga blunder kedua.

 

Kenapa? Karena tidak ada SOP, mekanisme, peraturan KPK bisa menonaktifkan pegawai tanpa kesalahan.

Kesalahan yang dimaksud di KPK itu bukan kesalahan atas persepsi pimpinan. KPK itu selalu yang disebut kesalahan melalui proses pemeriksaan internal bahkan melalui sidang kode etik.

Jadi setiap pejabat di KPK tidak boleh mempersepsikan anak buahnya punya kesalahan tanpa proses yang adil. Tidak ada proses seperti itu.

Di media saya selalu bilang, tolong segera keluarkan SK-nya supaya pegawai bisa melakukan advokasi. Hari ini saya mengumpulkan 75 orang juga sulit. Kenapa? Karena SK-nya itu diberikan ke masing-masing dan itu lewat atasan masing-masing.

Pimpinan (komisioner KPK-red) sampai hari ini tidak pernah memberi penjelasan, memberi penerangan terhadap 75 pegawai. Itu bagian pimpinan KPK yang tidak kredibel, tidak berani menyatakan, berhadapan secara langsung dengan 75 orang.

 

75 Pegawai itu belum pernah sama sekali bertemu atau ditemui Komisioner KPK?

Belum. Kayaknya nggak berani.

 

Ada rencana bertemu dengan para komisioner KPK?

Kemarin saya bersama 75 orang sudah menyampaikan surat resmi tentang keberatan. Itu pagi, sebelum Presiden pidato.

Intinya, di antaranya adalah kami keberatan tentang apa yang diputuskan pimpinan dan kami mendesak untuk SK 652 tahun 2021 itu segera dicabut dengan berbagai pertimbangan.

Sebanyak 75 orang sudah menyampaikan surat ke komisioner untuk cabut SK itu, karena SK itu tidak ada dasar hukumnya.

 

Secara struktural sebenarnya ini atasannya siapa?

Atasan saya sebenarnya Deputi. Setelah Deputi langsung ke komisioner. Jadi di Kedeputian bidang informasi data.

 

Terkait dengan TWK anda, sebagai pimpinan, apakah Deputi juga mengaku tidak tahu?

Nggak tahu. Dia enggak dilibatkan. Dia itu hanya seperti tukang pos saja. Tidak punya informasi apapun. Hanya menerima surat SK. SK itu pun saya hanya di-WhatsApp saja karena kebetulan saya enggak ada di kantor.

 

Banyak beredar isu yang menyebutkan ada banyak faksi di KPK, apa benar demikian?

Kalau pegawai solid. Pegawai itu memang ada sebagai pegawai yang bekerja saja tetapi ada pegawai yang membawa nilai-nilai idealisme pemberantasan korupsi, diantaranya yang 75 orang itu.

Sebenarnya yang terjadi faksi itu di pimpinan, bukan di pegawai. Yang dimaksud komisioner. Sesuai Undang-Undang Deputi ke bawah itu adalah pegawai.

 

Menurut anda, penting atau tidak, status pegawai KPK menjadi ASN?

Karena saya bekerja sebagai direktur kerja sama, saya banyak belajar ke Hongkong, China, Inggris, ke Australia dan ke seluruh negara. Saya belajar, salah satu faktor terpenting untuk suksesnya peran lembaga antikorupsi itu adalah indepedensi.

Indepedensi itu terkait dengan target, dari sisi rekrutmen, dari sisi menjalankan jabatan, dilindungi saat menjabat. Tentu perubahan menjadi ASN itu akan berpengaruh, khususnya terkait dengan indepedensi. Indepedensi itu adalah salah satu unsur penting supaya lembaga antikorupsi itu kuat.

 

Apa pengaruh buruk ketika pegawai KPK menjadi ASN?

Pertama, dari sisi rekrutmen. Kalau sebelum jadi ASN, KPK bisa memilih sendiri pegawainya. Dari sisi kompetensinya KPK itu berbeda jauh dengan ASN lainnya. Sehingga kita bisa merekrut sesuai nilai-nilai yang ada di KPK.

Hari ini karena kita sudah jadi ASN, maka rekrutmennya harus melalui Menpan-RB. KPK sebagai lembaga tidak bisa lagi memilih sendiri pegawai yang diperlukan.

Yang paling berbahaya itu adalah tidak independen pimpinan. Itu menurut saya sangat berbahaya bagi pegawai. Itu yang sangat berbahaya bagi pemberantasan korupsi.

Bayangkan kalau pimpinan itu tidak kredibel, tidak berintegritas dan KPK dikendalikan dari luar itu bisa untuk menembak musuh politik yang bisa untuk melindungi oligarki. Itu sangat berbahaya bagi publik, khususnya bagi pemberantasan korupsi.(dbs)

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *