Salah Paham Ayat ‘Dunia Hanyalah Permainan’

Salah Paham Ayat ‘Dunia Hanyalah Permainan’
Salah Paham Ayat ‘Dunia Hanyalah Permainan’. Foto/ilustrasi
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Dr. Mohammad Nasih, Pengasuh Pondok Pesantren dan Sekolah Alam Nurul Furqon (Planet NUFO) Mlagen Rembang dan Rumah Perkaderan & Tahfidh al-Qur’an; Pengajar di FISIP UMJ & Pascasarjana Ilmu Politik UI ( Redaksi Ahli Hajinews.id ).

وَمَا هَٰذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَهْوٌ وَلَعِبٌ ۚ وَإِنَّ الدَّارَ الْآخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُ ۚ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui. (al-Ankabut: 64)

Hajinews.idAyat ini termasuk di antara yang membuat saya melakukan perenungan cukup panjang untuk mencari pemahaman yang tepat. Ada beberapa sebab kenapa saya harus merenung ekstra. Pertama, ayat ini dipahami oleh kalangan muslim kebanyakan sebagai ayat yang mendorong umat Islam untuk mengabaikan dunia.

Kalau dibandingkan dengan ayat-ayat lain yang mendorong umat Islam untuk mendapatkan kebaikan di dunia, bahkan mampu berkompetisi dalam kehidupan dunia, tentu saja pemahaman tersebut harus tidak bisa diterima. Misalnya al-Qur’an menegaskan tentang keseimbangan antara capaian kehidupan dunia dan akhirat yang keduanya harus baik.

وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka”. (al-Baqarah: 201)

Kedua, dalam beberapa forum, saat saya masih mahasiswa, saya mendapatkan pertanyaan tentang bagaimana menyikapi al-‘Ankabut: 64 ini.

Awalnya, saya memberikan analogi tentang permainan yang dikompetisikan, di antaranya: sepak bola, voly, karate, dan badminton. Walaupun semua itu adalah permainan, tetapi kalau sudah dalam kompetisi, tidak boleh dilakukan dengan main-main, melainkan harus dijalankan secara serius, mengerahkan segenap kemampuan, untuk bisa memenangkan permainan.

Karena penanya pada umumnya adalah khalaya’ awam, tidak menguasai bahasa Arab, dan mengetahui ayat itu juga dari sekedar mendengar dari pengajian, tetapi pada dasarnya mereka adalah kalangan yang menginginkan agar Islam dipahami secara tidak fatalistik, maka jawaban saya itu menjadi jawaban yang dianggap progresif dan karena itu bisa dikatakan memuaskan.

Namun, sebenarnya saya menyadari bahwa jawaban analogis saya itu mengandung kelemahan yang sangat terasa, kalau dibedah dengan logika filsafat. Sebab, ada beberapa elemen yang tidak sesuai apabila kehidupan dunia ini dianalogkan dengan berbagai permainan tersebut. Namun, upaya perenungan tentang ayat tersebut tidak kunjung menemukan pemahaman analogis yang tepat dan sederhana, sehingga mudah ditangkap.

Saya baru menemukan analog yang tepat setelah saya memiliki dua anak balita, Hokma dan Hekma, yang masing-masing telah memiliki inisiatif kuat, di antaranya untuk bermain.

Saat itu keduanya sedang asyik bermain mobil-mobilan yang dibelikan oleh eyangnya. Sayangnya, mobil-mobilan itu hanya satu. Entah apa yang terjadi, kemudian terjadi tarik-menarik antara keduanya. Hekma menarik mobil-mobilan itu, karena ingin menguasai sepenuhnya. Sementara Hokma, walaupun berusia belasan tahun lebih tua, tidak mau mengalah, karena dia merasa bahwa mobil-mobilan itu memang dibelikan untuknya.

Seketika itu, saya langsung ingat ayat al-Ankabut: 64 dan beberapa ayat lain yang senada. Saya langsung berinisiatif untuk mencoba menawarkan kepada Hokma untuk memberikannya mobil ibunya yang ada di garasi untuknya sebagai sekedar uji coba tentang respond apa yang akan muncul darinya. Sesuai dugaan saya, dia menolaknya. Dia menginginkan mobil-mobilan yang berada di tangan adiknya.

Begitulah manusia yang tidak kunjung mengalami kesadaran. Mereka tidak menyadari bahwa semua materi duniawi ini ibarat mainan itu. Manusia begitu terpesona, senang, dan bahkan mencintainya sepenuh jiwa. Karena itu, ayat al-Ankabut: 64 di atas tidak bisa dipahami secara literal, tetapi harus dipahami dengan menggunakan perspektif yang di dalam kajian ‘Ulum al-Qur’an disebut dengan al-amtsâl atau perumpamaan. Dalam konteks ini termasuk dalam al-amtsâl al-kâminah.

Al-Qur’an sebagai bacaan dengan bahasa sastra tingkat tinggi sering menggunakan gaya bahasa perumpamaan ini. Dan karena untuk memahaminya memang tidak mudah, al-Qur’an sedari awal mengingatkan bahwa perumpamaan itu tidak akan dipahami kecuali oleh orang-orang yang berilmu.

وَتِلْكَ الْأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ ۖ وَمَا يَعْقِلُهَا إِلَّا الْعَالِمُونَ

Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu. (al-‘Ankabut: 43)

Berdasarkan perpspektif yang diberikan oleh al-‘Ankabut: 43 ini, frase “jika mereka mengetahui” di ujung al-‘Ankabut: 64 sesungguhnya juga sudah menjadi penanda bahwa ayat ini hanya bisa dipahami secara tepat jika menggunakan perspektif amtsâl. Jika tidak, tentu saja akan menghasilkan pemahaman yang tidak tepat.

Memang di dalam al-Qur’an terdapat banyak model perumpamaan. Dan di antaranya bentuknya adalah mengungkapkan perumpamaan tanpa menggunakan kata “matsal”. Cukup banyak perumpamaan di dalam al-Qur’an dalam bentuk ini, misalnya:

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ

Tunjukilah kami jalan yang lurus, (al-Fâtihah: 6)

Jalan yang lurus adalah ungkapan untuk jalan yang benar. Padahal jalan yang benar untuk mencapai tujuan, belum tentu selalu lurus. Bahkan yang umum justru berbelok.

Ayat al-‘Ankabut: 64, dan yang mirip dengannya adalah al-An’âm: 32 dan Muhammad: 36, sesungguhnya bisa mudah dirasakan sebagai perumpaan apabila membaca dan merenungkan ayat-ayat lain yang senada, di antaranya al-Hadid: 20.

اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ ۖ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا ۖ وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ ۚ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur.

Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. (al-Hadid: 20)

Ayat ini memberikan pemahaman bahwa dunia memiliki daya tarik bagi manusia yang tidak mengalami perkembangan nalar spiritual, seperti anak-anak yang belum beranjak kepada nalar manusia dewasa. Nalar manusia dewasa tentu saja sudah memilih mobil yang sesungguhnya.

Mobil-mobilan lebih baik diberikan kepada anak-anak yang masih dalam fase bermain. Demikian juga kepada materi duniawi. Konsentrasi manusia dewasa harus dialihkan dari sekedar senang bermain kepada bekerja serius untuk mendapatkan uang yang bisa digunakan untuk membeli mobil atau kendaraan yang terbaik.

Manusia, dengan panduan al-Qur’an, mestinya memiliki kesadaran yang lebih baik, sampai kepada kesadaran bahwa ia diciptakan oleh Allah untuk beribadah dan diberi kesempatan untuk mencintai dan dicintai oleh Allah.

Di antara prasyaratnya adalah Allah dan rasulNya lebih dicintai dibanding yang selainnya, bahkan dibandingkan diri sendiri. Untuk membuktikan ini tentu saja manusia harus membuktikan diri mampu menguasai materi duniawi.

Namun, materi duniawi itu hanya sampai dalam genggamannya saja dan mudah dilepaskannya, tidak sampai masuk ke dalam hatinya. Sebab, di dalam hatiNya, hanya ada Allah Swt..

Dengan perspektif tersebut, ayat-ayat al-Qur’an yang menyatakan bahwa kehidupan dunia ini adalah permainan tidak seharusnya menyebabkan umat Islam menjadi abai terhadap penguasaan terhadap dunia.

Umat Islam harus menunjukkan diri sebagai umat terbaik dengan keunggulan dalam segala aspek kehidupan, mulai dari sains, teknologi, ekonomi, sampai kepada politik. Dengan kata lain, dunia ini harus dikuasai agar bisa digunakan untuk “membeli” tempat terbaik di akhirat.

Kesadaran spiritual ini akan mengantarkan kepada pemahaman bahwa semakin banyak materi duniawi yang berhasil dikuasai dan kemudian diinfakkan di jalan Allah, maka itulah yang akan menjadi balasan terbaik nanti di akhirat.

Dan balasan itulah yang akan abadi. Di antaranya karena keabadian itulah, maka rumah akhirat disebut oleh al-Qur’an sebagai yang jauh lebih baik. Wallaahu a’lam bi al-shawaab.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *