Berbahaya, Kebijakan Keseimbangan Ekonomi Dan Kesehatan, Bersamaan Dalam Pandemi Covid-19

Berbahaya, Kebijakan Keseimbangan Ekonomi Dan Kesehatan, Bersamaan Dalam Pandemi Covid-19
Masrifan Djamil
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh Masrifan Djamil, Dokter, ahli kesehatan masyarakat, ahli manajemen RS, doktor ilmu kedokteran (penyakit infeksi), Pengurus Kolegium Dokter Indonesia dan PB IDI, Ketua PDUI Jateng, dosen, tinggal di Semarang. Di PP IPHI sebagai Ketua Departemen LITBANG, Pengurus PP IPHI

Hajinews.id – LEDAKAN COVID-19 jelas dipengaruhi banyak faktor. Faktor yang harus kita telaah adalah kebijakan keseimbangan ekonomi dan kesehatan, bagaimana efektivitasnya. Pola penanganan Pandemi COVID-19 di negeri kita ini bahkan sudah menjadi jargon para pejabat, “menangani COVID-19 harus seimbang antara kesehatan dan ekonomi”. Dampaknya amat besar dan banyak pro kontra terhadap kebijakan ini. Pelaku ekonomi dan perdagangan pasti termasuk yang pro, namun dampak lainnya perlu kita kaji, apa dampak selain masih bertahannya ekonomi perdagangan di negeri kita. Mau cari faktor lain yang yang berperan dalam peningkatan penularan dan kematian COVID-19 boleh-boleh saja, namun penanganan COVID-19 (pendekatan kesehatan) sebagai prioritas bersamaan dengan tetap memprioritaskan kegiatan ekonomi perdagangan (ek-dag) dalam waktu bersamaan, adalah dua hal yang saling bertentangan.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Ekonomi dan perdagangan pasti mempunyai kontribusi besar dalam penyebaran virus korona penyebab COVID-19, karena kegiatan ek-dag diikuti atau diawali event bertemunya orang, transportasi, berkumpulnya manusia karena tugas atau kegiatan (misal di RS atau pasar, mall dll). Masyarakat kita terbelah dua, sebagian memakai masker dan ikut Prokes 3M, namun banyak yang menolak, mengabaikan atau tidak mengetahui harus melaksanakan prokes. Maka potensi dan risiko penularan menjadi amat besar.

Penularan COVID-19 sudah diketahui adalah karena kontak erat, kurang dari 1 meter antara dua orang, apalagi bila tanpa masker, saling jabat tangan, cipika-cipiki atau kontak tubuh lainnya dan dalam kerumunan (baca: banyak orang bertemu). Cara lain ialah terjadinya kontaminasi alat-alat dengan SARS CoV-2 yang terpegang tangan pengguna (misal tombol lift, handel pintu, meja dll), lalu tangan menyentuh wajah. Manusia umumnya menyentuh wajahnya di 3 lubang yaitu mata (ucek-ucek), hidung (sekedar pegang atau memasukkan jari ke lubang hidung), mulut (tidak sengaja menyetuh bibir atau bahkan memasukkan jari / alat ke mulut).

Jika seorang positif tetapi tidak mengalami gejala (bisa disebut OTG atau asimptomatik, tanpa gejala). Dapat dipastikan, mau tidak mau, menolak (denial) atau menerima fakta ini, terjadilah penularan (transmisi virus) kepada yang belum terinfeksi virus korona. Sudah dibuktikan bahwa varian delta virus SARS CoV-2 lebih cepat dan gampang menular, derajat sakitnya lebih berat dan cepat. Jika varian sebelumnya penderita butuh ICU karena sesak nafas pada hari ke 11, varian ini jauh lebih cepat. Maka destruksi terhadap bangsa dan negara amat besar jika rakyatnya tertular dan menderita sakit hingga meninggal dunia karenanya.

Kebijakan keseimbangan ekonomi dan kesehatan ini terbukti menyebabkan adanya gelombang kedua outbreak COVID-19. Jika tidak terkendali, amat membayakan rakyat, terbukti 401 orang dokter telah wafat, para dosen dengan gelar doktor dan profesor, ulama, pejabat negara dll dalam tugas terkena COVID-19 sejak masa pandemi. Tenaga kesehatan (nakes) lain selanin dokter juga pada posisi yang amat berbahaya misal perawat, bidan, petugas Laborat, dan semuanya yang di pelayanan RS banyak semain banyak yang jatuh sakit berat dan wafat karena tertular COVID-19. Jika kondisi ini berlanjut, bisa jadi akan menimbulkan COLAPS (gagal berfungsinya) RS dan Fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) lainnya, yaitu Klinik, Puskesmas dan praktek dokter. Ini jelas membahayakan negeri kita.

Di dunia tak ada kebijakan mendua yang berhasil mengatasi pandemi COVID-19

Di dunia ini bila sudah situasinya pandemi, kebijakan diprioritaskan kesehatan saja untuk menyetop wabah, misalnya dengan lockdown. Karena wabah yang tidak berhasil distop justru akan merusak ek-dag negara bangsa ybs. Meskipun ada pelaksanaan lockdown yang awalnya kurang efektif karena berbagai sebab. Namun setelah diperbaiki, malah menjadikan kebaikan bagi negara itu, misal Italia. Contoh lain India nyaris berhasil, namun karena kultur dan agama, disertai fatwa pakar kesehatan bahwa India sudah hampir berhasil menangani pandemi, maka boleh relaksasi, malah sebaliknya yang terjadi. Perayaan agama di sungai Gangga akhirnya membawa bencana nasional.

Faktor penentu lockdown adalah pendidikan masyarakat dan penerimaan bahwa COVID itu nyata, tidak ada stigmatisasi dan semua rakyat pasrah ditata oleh kebijakan yang berlaku, dan tegas dilaksanakan. Misal toko, fasilitas ekonomi, hiburan, keagamaan wajib tutup, diterima dengan baik. Maka faktor penentu berikutnya ialah Pemimpin dan kebijakannya. Pemimpin harus bisa memahamkan rakyatnya tentang bahaya pandemi dan cara mengatasinya (health promotion dan health education), dan pemimpin memberi jaminan tersedianya catu makanan dan minuman serta subsidi lain yang diperlukan rakyat selama lockdown. Faktor-faktor tersebut membawa keberhasilan kebijakan lockdown (murni kesehatan yang diprioritaskan). UU Karantina kita juga sudah mengatur demikian, jika diterapkan tentu akan baik bagi rakyat.

Sampai saat ini belum ada negara yang berhasil dengan menambahkan parameter non kesehatan sebagai pendekatan prioritas dalam menangani pandemi COVID-19 sama prioritasnya dengan kesehatan. Jika kita menilik peningkatan kasus dan kematian akibat COVID-19 dan penuhnya RS karena peningkatan kasusnya 1 bulan terakhir ini menunjukkan kurang tepatnya kebijakan. Jika tidak ada perubahan kebijakan yang signifikan, bisa malah menjadi bencana.

Kita perlu takut terhadap ketentuan Allah, Pimpinan yang menetapkan kebijakan PASTI DIHISAB olehNya. Tanggung jawab dan tugas pemimpin ialah melindungi rakyat dari gangguan apapun termasuk pandemi penyakit. Jika ada kekeliruan kebijakan, sehingga semakin banyak yang mengalami sakit pasti dimintai pertanggung jawabannya. Kita tandai, masukan kepada para pemimpin dari para pakar kesehatan demikian banyak dan santer. Hal ini tentu merugikan pemimpin kelak di akherat.

UPDATE cara penularan COVID-19

Saya yakin sejak awal pandemi bahwa COVID-19 menular secara AIR BORNE, yakni ditularkan melalui udara. Hasil penelitian terakhir menujukkan, seorang hanya bicara saja (jika OTG) mengeluarkan virus dengan dua pembawa: (1) droplets, jatuh sekitar 1,5 m ke lantai; (2) aerosol (partikel droplet mikro — yang ukurannya sangat kecil kurang dari 0,5 mikron –padahal virus ukurannya 50-100 nm, jadi aerosol bisa memuat virus, dan ikut terbang bersamanya (sifat aorosol).

Aerosol ini diterbangkan sesuai angin yang ada di ruangan . Jadi semakin ada angin turbulen di ruangan (ada AC berhadapan atau AC sentral dengan semburan udara ke 4 penjuru) dan tidak ada ventilasi –KHAS PADA DESIGN BANGUNAN BER AC, aerosol ini telah diteliti, bisa berputar-putar sampai 6-8 jam di ruangan itu baru jatuh ke lantai. Maka siapa saja yang tidak memakai masker atau membuka masker atau tidak siap masker yang benar (misalnya mulut ditutup hidung terbuka), pasti berpotensi tertular (risiko tinggi).

Oleh karena itu janganlah “kemlinthi” (congkak) atau BODOH dengan tidak berprokes 3M misalnya tanpa masker kemana-mana. Ini membahayakan diri sendiri dan lingkungan jika ia OTG, karena akan menyebarkan virus korona ke sekitarnya terus menerus, terutama jika di ruangan dan banyak manusia berkumpul (masjid, pasar, maal, ruang pelayanan, perjamuan pengantin, rapat, makan bersama di resto atau dimana saja, dll). Jadi berbahaya kepada linkungan tetapi tidak menyadari.

Jangan Takabbur (congkak) atau Bodoh

Ada seseorang di kota saya, entah karena kebodohan atau kecongkaannya, dia bilang: “Aku nggak akan kena covid, wong aku nggak percaya covid”, kemarin dia wafat karena COVID-19 di suatu RS di Semarang. Pokoknya masyarakat dan umat Islam wajib selalu hati-hati, terapkan prokes ketat, ISTIQOMAH, berdoa selalu, mendidik lingkungan dan mengawasinya untuk pencegahan, menjaga umat manusia dari kehancuran.

Dalam situasi demikian, saya usul sebagai berikut:

  1. NU, Muhammadiyah, MUI, semua ormas keagamaan (Islam dan non Islam), para tokoh masyarakat dan tokoh agama, menyerukan kembali shalat jum’at diganti shalat dhuhur di rumah saja dulu, sampai reda pandeminya.
  2. Perlu dilakukan pertemuan besar para tokoh masyarakat dan agama untuk merumuskan action mengatasi pandemi COVID-19 yang semakin berbahaya ini, cukup secara daring.
  3. Pengajian offline, ibadah di gereja, pasar tradisional, mall-mall, restoran, tempat hiburan dll fasum sementara tutup (minimal 15 hari/setengah bulan) secara serentak.

Kalau tidak serentak, misal karena ego pemerintah daerah, atau pemerintah pusat masih ambigu (tidak tegas), dapat dipastikan secara ilmu epidemiologi dan ilmu kesehatan masyarakat, ledakan (outbreak) COVID-19 varian delta ini akan semakin besar dan mengerikan serta lama.

Kesaktian SARS CoV-2 varian delta

COVID-19 yang disebabkan VIRUS SARS CoV-2 varian Delta, jauh lebih gampang dan cepat menular. Keganasan (virulensi) virusnya menyebabkan kerusakan organ yang menyebabkan GAGAL FUNGSI ORGAN yang terkena — ingat ACE2 molekul yang ada di organ yang bersangkutan ini ditumpangi virus untuk masuk ke sel organ. Konsentrasi masing-masing orang berbeda di tiap organ, maka ada yang sesak nafas (sebagian besar), ada yang gagal ginjal, ada yang sesak nafas disertai gagal jantung, bahkan ada yang STROKE. Kerusakan organnya jauh lebih cepat dan ganas (lebih cepat menyebabkan memberatnya penyakit COVID, dibanding varian sebelumnya). Tak heran mereka nyaris bersamaan butuh IGD dan ICU, maka banyak RS kewalahan dan tutup IGDnya. Kalau terus2an begini, BISA COLAPS RSnya, tentu ini lebih bahaya lagi.

Mohon saudaraku bener-benar jangan lengah atau kemaki (congkak) atau bodoh.

Ulama dan umat Islam semakin banyak yang meninggal dunia, jangan kita tidak menyetop pandemi ini. Pandemi ini bisa jadi menyebabkan POPULASI PENDUDUK INDONESIA MENURUN SECARA DRASTIS tampaknya ALAMIAH, termasuk ulamanya akan semakin langka, padahal penggantinya belum ada.

Petugas kesehatan juga dalam situasi berbahaya. Tadi malam (Ahad malam 27 Juni 2021) saya mengikuti rapat Kolegium Dokter Indonesia (lembaga yang menjaga kompetensi dokter umum) bagian dari PB IDI, banyak dibicarakan dokter dan nakes yang masuk ICU, banyak yang REINFECTION bahkan ada yang kena 3 kali “terkena COVID-19”, diantaranya sudah vaksinasi dua kali. Jadi kekebalan tidak terbentuk dengan baik antar varian.

Mohon iqro’ akan peristiwa atau musibah ini disertaio action. Mari kita atasi sama-sama dengan kompak dan serempak, dipimpin Pemimpin kita yang amanah dan selalu kembali kepada Allah Ta’ala. Semoga segera bisa dihentikan “second wafe of COVID-19 Pandemic in our beloved country”. Aamiin

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *