Tidak Ada Faedahnya, Haedar Nashir Minta Para Elite Hentikan Berpolemik dan Fokus Urus Rakyat

banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Hajinews,- Jakarta,— Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir mengingatkan kepada para elite pejabat di negeri ini yang sedang berpolemik terkait isu-isu panas, misalnya soal isu presiden tiga periode untuk segera menghentikannya karena hanya menimbulkan kegaduhan sosial yang tidak ada faedahnya.

“Sebaliknya alangkah elok bila dihentikan demi mencegah kedaruratan. Kasihan rakyat kecil yang menanggung beban berat akibat pandemi maupun oleh kondisi kehidupan kebangsaan yang sarat beban,” tekan Haedar lewat keterangan tertulisnya di Twitter, Senin (1/7/2021).

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Ia mengatakan, rakyat kecil itu hanya untuk mempertahankan diri, bisa bekerja serabutan, mencari sesuap nasi saja betapa susah dan sangat tidak mudah. Mereka serba terbatas dalam segala hal, sehingga pandemi ini makin menambah beban hidup rakyat jelata.

Boleh jadi kata Haedar, para elite yang terus berdebat soal-soal bangsa atau isu panas itu tidak terganggu dengan pandemi Covid-19. Mereka sudah mapan atau establish dalam segala hal, bahkan berlebih. Sehingga tidak ada beban dalam situasi berat ini, yang bagi rakyat kecil sungguh sangatlah berat.

Mungkin dengan memproduksi isu-isu kontroversial malah akan mendapat lebih banyak nilai-tambah bagi para elite itu.

“Namun bagaimana dengan tanggung jawab etik dan sosial di tengah bangsa yang tengah menghadapi musibah besar? Di sinilah kearifan para elite sangatlah diharapkan,” tegasnya.

Lebih lanjut ia memaparkan, demokrasi yang sudah menjadi paradigma utama kehidupan kebangsaan di negeri ini sangat membolehkan untuk memperbincangkan isu-isu yang dianggap menyangkut hajat hidup bangsa dan negara.

Sebaliknya tidak ada larangan, bahkan dianggap bertentangan dengan konstitusi dan demokrasi bila ada larangan memperbincangkan isu-isu kebangsaan yang kontroversial sekalipun.

“Tetapi demokrasi juga menuntut pertanggungjawaban moral dan sosial ketika bangsa dan negera saat ini tengah menghadapi masalah yang lebih besar,” cetus Haedar.

Ia menegaskan, demokrasi itu bukanlah tujuan, tetapi instrumen untuk mencapai tujuan negara. Di luar demokrasi masih terdapat aspek moral, etika, dan tanggungjawab atau kewajiban warga negara untuk tegaknya keadilan, kebaikan, perdamaian, persatuan, dan keutuhan Indonesia.

Bila isu yang diperbincangkan itu dianggap untuk mencegah keterbelahan politik Indonesia, sebaliknya maka terbuka pula kemungkinan bahwa melalui isu-isu panas itu malah bangsa Indonesia menjadi terbelah secara nyata.

“Politik Indonesia itu menuntut moral dan nilai “hikmah kebijaksanaan” sebagaimana terkandung dalam sila keempat Pancasila, bukan sekadar politik nilai-guna dan asas kebebasan belaka,” jelasnya.

Selain itu demokrasi dalam praktiknya selama hampir dua dasawarsa ini demokrasi substansial semakin terkalahkan oleh demokrasi prosedural yang pragmatis dan liberal.

“Siapa yang dapat menghentikan politik uang, transaksional, dinasti, dan oligarki akibat demokrasi yang prosedural, liberal, dan overproduktif di negeri ini saat ini,” tandas Haedar.

Ia kembali mempertanyakan, kurang apa lagi demokrasi di negeri ini, yang dalam sejumlah hal dan prosesnya mengalami deviasi dan distorsi dari jiwa Pancasila dan konstitusi yang diletakkan para pendiri Indonesia tahun 1945.

Kontroversi isu atas nama demokrasi juga harus diperhitungkan dampaknya bagi masyarakat.

“Bersikaplah moderat dan tidak radikal-ekstrem dalam memahami serta mempraktikkan demokrasi di Indonesia, karena di landasan politik Indonesia itu ada nilai Pancasila,” imbuhnya.

Letakkan demokrasi dengan segala perdebatannya yang gaduh itu dalam konteks nilai serta kepentingan bangsa dan negara yang lebih luas.

Lebih-lebih ketika Indonesia saat ini tengah sarat beban akibat pandemi Covid-19 dan masalah kebangsaan lainnya, yang dampaknya sangat membuat rakyat menderita.

Ia menekankan kepada para cerdik pandai marilah sebarluaskan dan manfaatkan ilmu dan akses yang dimiliki untuk mencerdaskan, mencerahkan, dan membawa kemaslahatan dalam kehidupan bangsa, negara, dan kemanusiaan semesta.

Ilmu itu memerlukan etika dan kebijaksanaam agar menjadi suluh keadaban dan peradaban. Insya Allah bila para cerdik pandai memanfaatkan ilmu dan kearifannya untuk kemaslahatan umum serta mencegah diri dari kemudaratan.

“Maka para pemilik ilmu akan menjadi pewaris para Nabi yang mengeluarkan umat manusia dari kegelapan pada kehidupan yang bercahaya pencerahan. Ilmunya akan membawa dirinya ke sorga,” cetusnya lugas. (dbs).

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *