Keuangan Indonesia Yang Berdarah-darah

Keuangan Indonesia Yang Berdarah-darah
Keuangan Indonesia Yang Berdarah-darah
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh Amir Hamzah, Pengamat kebijakan Publik Budgeting Metropolitan Watch (BMW)

KEUANGAN negara disinyalir tengah berdarah-darah akibat penanganan ekonomi yang lebih berorientasi impor dan lebih memprioritaskan pembangunan infrastruktur, lalu dihajar pandemi Covid-19.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Hajinews.id – Indikasi itu antara lain terlihat dari tindakan perintah melalui Satgas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang mengorek kasus lama demi mendapatkan dana segar, dan adanya permintaan pemerintah kepada Bank Indonesia (BI) agar membeli Surat Berharga Negara (SBN) dengan nilai total mencapai Rp439 triliun.

Langkah pemerintah mengorek kembali kasus BLBI mengindikasikan kalau pemerintah sedang panik dan kebingungan membiayai operasionalnya, dan menggaji para aparatur sipil negara (ASN)-nya.

Karena pandemi Covid-19 tidak hanya memukul sektor kesehatan, tapi juga menghantam sektor perekonomian, sehingga banyak pengusaha dan masyarakat yang tercatat sebagai wajib pajak (WP), tidak mampu lagi memenuhi kewajibannya karena mengalami penurunan pendapatan akibat usaha yang mengalami kemunduran, bahkan bangkrut, dan banyaknya pekerja yang dirumahkan serta di-PHK.

Sementara di sisi lain, pada 28 Juni 2021 lalu Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengaku kalau negara mengalami kesulitan menarik pajak dari para orang kaya, karena terbentur pada masih lemahnya aturan fringe benefit di Indonesia.

Fringe benefit adalah tambahan kompensasi yang diberikan perusahaan kepada karyawan. Lemahnya aturan ini membuat berbagai fasilitas yang dinikmati para orang kaya, seperti insentif atau belanja pajak (tax expenditure), tak dapat dikenai pajak karena tidak menjadi objek pajak.

Upaya pemerintah mendapatkan dana dari kasus BLBI antara lain dengan cara memanggil pengusaha Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto. Karena putra mantan Presiden Soeharto itu ditengarai memiliki tunggakan sebesar Rp2,61 triliun dalam perkara yang terjadi pada tahun 1998 itu.

Kabarnya, panggilan itu ditanggapi Tommy dengan akan melaporkan Satgas BLBI ke polisi.

Permintaan pemerintah kepada BI agar membeli SBN menunjukkan kalau surat utang yang dikeluarkan pemerintah tak lagi diminati oleh investor di dalam maupun dari luar negeri.

Permintaan itu disetujui BI dengan telah disusunnya Surat Keputusan Bersama (SKB) III sebagai pelaksanaan burden sharing (menanggung beban bersama) atas pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021 dan APBN 2022.

Dengan adanya SKB itu, BI akan membeli SBN yang nilai totalnya mencapai Rp439 triliun untuk membiayai APBN 2021 dan 2022.

Untuk pembelian tahap pertama yang digunakan untuk membiayai APBN 2021, SBN yang dibeli senilai Rp215 triliun, sementara untuk pembelian tahap II yang akan digunakan untuk membiayai APBN 2022, nilainya mencapai Rp 224 triliun.

Pemerintah kini juga sedang semakin panik, karena di tengah tekanan kejenuhan likuiditas, ada utang yang akan jatuh tempo pada bulan depan (September 2021) yang harus dibayar, yang jumlahnya mencapai triliunan rupiah.

Menurut data Bank Indonesia, pada akhir triwulan II-2021 atau Juni 2021, utang luar negeri (ULN) Indonesia mencapai US$ 415,1 atau Rp5.977 triliun dengan kurs 14.400/dolar AS, turun 0,1% dibanding triwulan I-2021 sebesar US$ 415,3 miliar atau Rp 5.980 triliun.

Pencetakan uang untuk menutupi defisit APBN dan menanggulangi pandemi Covid-19 telah pernah diusulkan Badan Anggaran DPR pada Mei 2020 lalu. Kala itu DPR menyarankan BI mencetak uang sebesar Rp 400-600 triliun.

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet kepada Detikcom pada 10 Mei 2020 lalu mengatakan, pencetakan uang itu salah satunya akan berdampak pada kenaikan inflasi yang sangat tinggi (hiperinflasi) seperti yang terjadi pada 1961, di era Demokrasi Terpimpin.

Hiperinflasi merupakan laju inflasi yang mencapai kisaran 100%, bahkan lebih. Ini berarti kenaikan harga barang rata-rata bisa mencapai 100% lebih.

“Pencetakan uang sama dengan menebar likuiditas. Jika penambahan likuiditas melebihi pengadaan barang, maka akan mendorong inflasi lebih cepat. Secara teoritis, jika pencetakan uang berujung peredaran uang yang lebih cepat dibandingkan pengadaan barang, bisa mendorong terhadap inflasi,” jelas Yusuf.

Saat hiperinflasi terjadi di era demokrasi terpimpin, harga barang naik hingga 635%, sehingga jika suatu barang pokok berharga Rp100 rupia, kala itu naik hingga Rp735.

Hiperinflasi juga pernah terjadi di Zimbabwe, sehingga harga sosis naik menjadi 30 juta dolar Zimbabwe dari sebelumnya hanya 379 dolar Zimbabwe.

Keputusan pemerintah meminta BI membeli SBN senilai Rp439 triliun, dapat membawa Indonesia justru pada posisi yang kian sulit jika BI benar-benar akan mencetak uang sebanyak itu.

Daripada pemerintah pusing mencari uang ke sana ke mari, dan memaksa BI mencetak uang baru, sebaiknya segera gunakan global collateral account (GCA) milik Inderawan Hery Widyanto (IHW).

Keputusan itu solusi paling cepat, aman dan jitu, karena hanya dikenai royalti 0,5% dari dana yang pakai dari rekening itu.

Artikel asli

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *