Selama Taliban memperoleh kekuasaannya secara murni pada 1990an hanya tiga negara yang memiliki hubungan resmi dengan mereka: Pakistan, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab.
Namun, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab memutus hubungan secara resmi setelah serangan 11 September 2001 di Amerika Serikat.
Bagaimana pun, pendanaan rahasia dari individu-individu Arab Saudi dilaporkan mengalir terus pada tahun-tahun berikutnya.
Pejabat di Arab Saudi sebelumnya membantah adanya kucuran dana resmi ke Taliban, dan mengatakan ada langkah ketat untuk menghentikan aliran dana dari individu-individu.
Namun, dengan protes yang datang dari warga AS terhadap pasukannya di Afghanistan, membuka pintu bagi negara-negara lain untuk bisa melakukan diplomasi.
Bagi Qatar dan Turki, jalinan dengan Taliban dilakukan dengan cara yang berbeda.
Saat pemerintahan Presiden Barack Obama berusaha untuk mengakhiri perang, Qatar menjadi tuan rumah bagi para pemimpin Taliban untuk mendiskusikan upaya damai dari tahun 2011.
Ini telah menjadi proses yang kontroversial dan berubah-ubah. Pengibaran bendera Taliban di pinggiran kota Doha membuat banyak orang tersinggung (mereka memendekkan tiang bendera setelah diminta Amerika).
Bagi Qatar, ini membantu membangun ambisi tiga dekade atas kebijakan luar negeri yang otonom – Di mana hal ini dianggap penting bagi negara yang berada di antara kutub Iran dan Arab Saudi.
Pertemuan di Doha mengalami puncaknya akhir tahun lalu dalam kesepakatan di bawah Presiden Donald Trump untuk menarik pasukannya dari Afghanistan pada Mei tahun ini.
Setelah Joe Biden berkuasa, ia mengumumkan bahwa penarikan pasukan diperpanjang hingga 11 September.
‘Optimisme hati-hati’
Akhir pekan lalu, para pejabat Turki mengadakan pembicaraan dengan Taliban lebih dari tiga jam, menyusul serangan bom bunuh diri di bandara Kabul.
Diskusi di antaranya membicarakan tentang pengoperasian bandara itu sendiri di masa depan, di mana pasukan Turki telah menjaganya selama enam tahun.
Taliban bersikeras pasukan Turki ikut pergi bersama pasukan asing lainnya untuk mengakhiri “pendudukan” Afghanistan. Tapi akhir pekan lalu, pertemuan ini menjadi agenda yang lebih luas, kata analis.
Presiden Recep Tayyip Erdogan mengatakan ia melihat pesan dari pemimpin Taliban dengan “optimisme hati-hati”.
Dia menambahkan, bahwa ia “tidak akan mendapatkan izin dari siapa pun” tentang siapa yang diajak berbicara, ketika menjawab kritik atas hubungan dengan Taliban.
“Ini diplomasi,” katanya dalam konferensi pers.
Dia menambahkan: “Turki bersiap untuk memberikan semua jenis dukungan bagi persatuan Afghanistan, tapi akan mengikuti jalur yang sangat hati-hati.”
Prof Ahmet Kasim Han, pengamat hubungan Afghanistan dari Universitas Altinbas Istanbul, meyakini menjalin hubungan dengan Taliban akan memberikan kesempatan pada Presiden Erdogan.
“Untuk membuat cengkraman kekuasaan mereka berlanjut, Taliban butuh bantuan internasional dan investasi. Taliban bahkan tak bisa membayar gaji pegawai mereka saat ini,” katanya kepada BBC.
Dia mengatakan, Turki mungkin berusaha untuk memposisikan dirinya sebagai “penjamin, mediator dan fasilitator” – lebih terpercaya dari pada Rusia atau China – yang telah membuka kedutaan mereka di Kabul.
“Turki dapat menjalankan peran itu,” katanya.