Oleh : Ahmad Sastra
Hajinews.id – Indonesia kembali dibuat gaduh karena pernyataan seorang pejabat yang tidak ahli bidang agama. pernyataan yang kemudian didukung oleh pejabat lainnya itu menyebutkan bahwa semua agama benar di mata tuhan. Perkataan ini mirip dengan istilah bahwa semua agama itu sama benarnya.
Ditinjau dari makna bahasa dan realitas, pernyataan ini jelas ngawur. Anak kecil bahkan tahu bahwa di dunia ini tidak mungkin ada sesuatu yang sama persis. Semisal dua anak kembar sekalipun tidak akan sama. Apalagi terkait dengan agama-agama. sederhananya, setiap nama agama berbeda, ajarannya berbeda, tempat ibadahnya berbeda, kitab sucinya berbeda, tradisi dan ajarannya berbeda, bahkan nama tuhannyapun berbeda, antara satu agama dengan agama lainnya. Perbedaan itu fakta empirik, sementara pernyataan bahwa semua agama sama adalah opini.
Pernyataan itu juga secara makna bahasa masih banyak yang perlu dijawab, semisal apa arti kata semua, apa arti agama, apa arti kata benar, apa arti kata sama dan apa arti kata tuhan. Pertanyaan-pertanyaan ini tidaklah mudah dijawab, jika tidak memiliki epistemologi Islam yang kuat atau tidak memiliki worldview. Tapi sudahlah, percuma juga ditanyakan, toh mereka bukan ahli agama.
Tapi ada yang perlu dicatat dengan baik, bahwa pernyataan bahwa semua agama sama atau semua agama benar, bukanlah pernyataan baru, namun telah lama digaung-gaungkan oleh para pengusung liberalisme agama. Pernyataan semua agama sama itu secara teologis merupakan paham pluralisme. Beda antara pluralitas dan pluralisme, yang pertama berdimensi sosiologis dan karenanya boleh, sementara yang kedua berdimensi teologis dan karenanya diharamkan dalam Islam.
Dalam penjelasan terkait fatwa haram pluralism, MUI menegaskan bahwa umat Islam Indonesia dewasa ini tengah dihadapkan pada “perang non-fisik” yang disebut ghazwul fikr (perang pemikiran). Perang pemikiran ini berdampak luas terhadap ajaran, kepercayaan dan keberagamaan umat. Adalah paham sekularisme dan liberalisme agama, dua pemikiran yang datang dari Barat, yang akhir-akhir ini telah berkembang di kalangan kelompok tertentu di Indonesia. Dua aliran pemikiran tersebut telah menyimpang dari sendi-sendi ajaran Islam dan merusak keyakinan serta pemahaman masyarakat terhadap ajaran agama Islam.
Sekularisme dan liberalisme Agama yang telah membelokkan ajaran Islam sedemikian rupa telah menimbulkan keraguan umat terhadap akidah dan sya’riat Islam; seperti pemikiran tentang relativisme agama, penafian dan pengingkaran adanya hukum Allah (sya’riat) serta menggantikannya dengan hukum-hukum hasil pemikiran akal semata. Penafsiran agama secara bebas dan tanpa kaidah penuntun ini telah melahirkan pula faham Ibahiyah (menghalalkan segala tindakan) yang berkaitan dengan etika dan agama serta dampak lainnya.
Sejalan dengan berkembangnya sekularisme dan liberalisme agama juga berkembang paham pluralisme agama. Pluralisme agama tidak lagi dimaknai adanya kemajemukan agama, tetapi menyamakan semua agama. Dalam pandangan pluralisme agama, semua agama adalah sama. Relativisme agama semacam ini jelas dapat mendangkalkan keyakinan akidah.
Secara genealogis, paham pluralisme agama berawal dari agama kristen yang dimulai setelah Konsili Vatikan II pada permulaan tahun 60-an yang mendeklarasikan “keselamatan umum” bahkan untuk agama-agama diluar kristen. Paham pluralisme agama juga berasal dari India, pencetusnya Rammohan Ray (1773-1833) pencetus gerakan Brahma Samaj, ia mencetuskan pemikiran Tuhan satu dan persamaan antar agama (ajaran ini penggabungan antara Hindu-Islam).