Ngeri! Ekonom: Bunga Utang Indonesia Memprihatinkan, Sudah Diambang Bahaya

Ilustrasi dolar
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



JAKARTA, Hajinews.id — Dosen Ekonomi Institut Pertanian Bogor Iman Sugema menyoroti beban pembayaran bunga utang Indonesia sudah relatif tinggi.

Hal itu tercermin dari rasio pembayaran bunga utang terhadap penerimaan yakni sudah menyentuh level 19 persen, padahal standar internasional 11 persen.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

“Dalam arti beban bunga dan pembayarannya. Kalau bandingkan terhadap GDP masih rendah, tapi kemampuan bayar (bunga utang) kita diambang berbahaya,” ujarnya dalam webinar “Pemanfaatan Utang Negara bagi Anak Cucu Kita”, Kamis (7/10/2021).

Kemudian, dia menjelaskan, tingkat kerentanan lainnya ada di sisi rasio pembayaran utang pokok dan bunga utang luar negeri atau debt service ratio (DSR) terhadap penerimaan transaksi berjalan pemerintah pada 2020 mencapai 46,77 persen.

“Tingkat kerentanan fiskal yakni debt to service ratio sudah hampir 47 persen dari 19 persen di 2019 dan pembayaran bunga utang (terhadap penerimaan) 19 persen dari 8 persen di 2011,” katanya.

Meski selama 10 tahun terakhir Indonesia mengalami penumpukan beban utang relatif agresif, debt to GDP ratio atau rasio utang terhadap GDP relatif datar.

“Sekarang sudah menyentuh 39 persen, tapi kalau itu dibanding negara lain relatif rendah. Hal ini karena ada kebutuhan di 2021 dan 2022 untuk penanganan Covid-19, terdapat kecenderungan bahwa negara-negara jor-joran menggenjot defisit,” pungkas Iman.

 

Posisi utang

Jumlah utang pemerintah kembali mengalami kenaikan.

Sebelumnya, sejumlah pihak termasuk ekonom sudah mengingatkan beban utang pemerintah.

Ekonom senior Faisal Basri bahkan menyebut, beban utang pemerintah Indonesia sudah melampaui standar dari Bank Dunia atau IMF dan punya risiko cukup tinggi.

Adapun posisi utang negara saat ini totalnya mencapai Rp 6.625,43 triliun.

Utang pemerintah di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) memang terus mengalami kenaikan, baik di periode pertama maupun periode kedua pemerintahannya, demikian dilaporkan Kompas.com

Dikutip dari laman APBN KiTa Setember 2021 yang dirilis Kementerian Keuangan, Rabu (29/9/2021), utang pemerintah per Agustus 2021 tersebut naik dibandingkan sebulan sebelumnya, di mana utang per Juli 2021 sebesar Rp 6.570,17 triliun.

Dengan kata lain, dalam sebulan, pemerintah Presiden Jokowi sudah menambah utang baru sebesar Rp 55,26 triliun.

Selain kenaikan utang, Kementerian Keuangan juga mencatatkan kenaikan rasio utang pemerintah pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB).

Pada Juli 2021, rasio utang pemerintah terhadap PDB tercatat sebesar 40,51 persen. Sementara di Agustus 2021, rasionya sudah naik menjadi 40,85 persen.

Dari total utang sebanyak Rp 6.625,43 triliun tersebut, porsi utang pemerintah terbesar disumbang dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 5.792,39 triliun.

SBN ini terdiri dari surat utang domestik yakni Surat Utang Negara (SUN) sebesar Rp 3.693,18 triliun disusul Surat Berharga Syariah Negara atau sukuk sebesar Rp 824,53 triliun.

Saat Ini Sementara itu, pemerintah juga menerbitkan SBN dalam bentuk valas terdiri dari SUN valuta asing atau valas sebesar Rp 989,27 triliun dan SBSN valas sebesar Rp 285,40 triliun.

Selain penerbitan surat utang, pemerintah juga menarik pinjaman sebesar Rp 833,04 triliun.

Rinciannya yakni pinjaman luar negeri sebesar Rp 820,4 triliun dan sisanya pinjaman dalam dalam negeri Rp 12,64 triliun.

Pinjaman luar negeri yang ditarik pemerintah berasal dari pinjaman bilateral Rp 308,96 triliun, pinjaman multilateral sebesar Rp 468,67 triliun, dan sisanya dari pinjaman commercial banks sebesar Rp 42,78 triliun.

 

Sri Mulyani minta jangan musuhi utang

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menegaskan utang bukanlah sesuatu yang harus dimusuhi, melainkan harus didudukkan sebagai sebuah instrumen kebijakan yang tetap dikelola pemerintah dengan sangat hati-hati dan bertanggung jawab.

“Utang adalah instrumen, bukan merupakan tujuan dan bukan sesuatu yang mungkin dimusuhi,” tegas Sri Mulyani dalam acara Pelantikan Pejabat di Lingkungan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dilansir dari Antara.

Maka dari itu, ia meminta jajarannya agar bisa mengedukasi masyarakat mengenai peran utang sebagai instrumen dalam memajukan Indonesia, mengingat lingkungan politik dan persepsi yang cenderung memandang negatif mengenai instrumen pinjaman.

Komunikasi kepada publik mengenai cara Indonesia yang mampu mengelola pinjaman dan menggunakan instrumen pinjaman dengan baik harus dilakukan lebih sering.

“Ini merupakan bagian dari pendidikan dan komunikasi publik mengenai apa manfaat dari pinjaman tersebut,” ucap Sri Mulyani.

Selain itu, ia juga meminta jajarannya agar bisa menjelaskan efektivitas dari pinjaman tersebut kepada publik, karena menjadi salah satu bagian dari akuntabilitas keuangan negara kepada masyarakat.

“Tunjukkan dengan bukti bahwa pemerintah mengelola seluruh utang dan pinjaman secara bertanggung jawab, berhati-hati, dan berhasil guna,” ungkapnya.

 

Kritik pengamat

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan, rasio utang pada bulan Agustus 2021 tersebut sudah memprihatinkan.

“Posisi utang tersebut sudah lampu merah. Bukan tak mungkin, rasio utang pada PDB bisa meningkat ke depannya. Bahkan, kekhawatirannya bisa naik hingga lebih dari batas 60 persen PDB,” ujar Bhima kepada Kontan.co.id.

Bhima mewanti-wanti, dengan kondisi saat ini yang pemerintah masih butuh anggaran jumbo untuk penanganan pandemi dan butuh untuk menambal defisit anggaran, bisa-bisa rasio utang bisa melebar ke 70 persen PDB hingga 80 persen PDB dalam 2 hingga 3 tahun ke depan.

Potensi tersebut juga didukung dengan mulai normalisasi kebijakan moneter (tapering off) The Federal Reserve (The Fed) di tahun 2022.

Tapering off ini akan melemahkan nilai tukar rupiah dan bahkan inflasi. Tak hanya itu, bisa saja ini akan memicu kenaikan suku bunga utang.

Kalau suku bunga utang naik, maka beban bunga utang di tahun depan bahkan bisa lebih berat dari tahun ini.

“Inflasi dan tapering off ini bisa sebabkan beban bunga utang naik. Jadi ini harus diantisipasi. Karena, banyak belanja yang prioritas, tetapi belanja bunga utang memegang porsi yang meningkat. Harus ada manuver,” tambah Bhima.

Kemudian, Bhima menawarkan solusi untuk mengantisipasi beban bunga utang agar tidak semakin membengkak di tengah risiko tersebut. Pertama, pemerintah harus menggenjot penerimaan pajak.

Namun, harus jeli, agar peningkatan pajak ini jangan sampai mengganggu pemulihan ekonomi.

Kedua, pemerintah harus makin mengencangkan ikat pinggang dengan melakukan pengendalian belanja. Jadi, belanja yang bersifat rutin seperti belanja pegawai dan belanja barang harus dipangkas.

Ketiga, pemerintah harus kreatif untuk mengurangi ketergantungan utang yang mahal. Ia mengambil contoh, dalam hal pembangunan infrastruktur daripada dibiayai dengan utang, baiknya bekerja sama dengan pihak swasta.

Kemudian, melakukan pinjaman dengan denominasi mata uang yang bunganya relatif rendah.

Kalau dollar AS dirasa mahal, lebih baik pilih mata uang lain seperti Yuan atau Yen, sehingga ini juga menekan beban bunga utang.(dbs)

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *