Buya Hamka dan Toleransi Fiqih

Buya Hamka dan Toleransi Fiqih
Buya Hamka dan Toleransi Fiqih
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Hajinews.id – Berbicara Buya Hamka dan toleransi fiqih di Indonesia, tentu sangat menarik. Meski beliau dikenal sebagai tokoh Muhammadiyah dan Al-Azhar yang beraliran modernis, namun jika dibaca dari hayatnya, Buya termasuk sosok ulama yang toleran dalam masalah fiqih misalnya dengan kalangan ulama atau orang yang berpaham tradisionalis.

Beberapa kisah ini menunjukkan betapa Buya Hamka sangat bertoleransi dan bertenggang rasa dalam masalah perbedaan fiqih. Di sisi lain juga menunjukkan kelapangan jiwa beliau dalam menyikapi perbedaan yang bukan fundamental dalam agama Islam.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Dalam buku Mengenang 100 tahun Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka), disebutkan bahwa Hamka adalah sosok yang mengutamakan silaturahim ketimbang meributkan perbedaan tak prinsip. Ada beberapa contoh yang menunjukkan toleransi Haji Abdul Malik Karim Amrullah ini dalam menyikapi perbedaan furu’iyah (cabang/parsial).

Sejak dibukanya Masjid Agung Al-Azhar, Buya sudah mengedepankan tasamuh (toleransi). Waktu itu, Hamka ikut hadir dan duduk bersebelahan dengan tokoh NU KH Idham Chalid. Hamka tak segan untuk ikut berdiri dan membacakan asrakai pada Maulud Diba. (Shobahussurur, 2008).

Pada momen lainnya, ketika KH Abdullah Syafi’i menunaikan shalat Jum’at di Masjid Al-Azhar. Waktu itu, Buya Hamka sudah terjadwal sebagai khatib. Melihat kedatangan KH Abdullah Syafi’i, seketika Buya “memaksa” beliau menggantikan dirinya. Buya juga meminta adzan dikumandangkan dua kali sebagaimana tradisi Nahdhiyin yang dipegang Syafi’i.

Peristiwa lain yang perlu dicatat juga di sini adalah saat Hamka dan Idham Chalid berada dalam satu pesawat menuju Mekah. Masing-masing bergantian menjadi imam shalat Shubuh. Saat Idham menjadi imam, beliau tidak membaca qunut karena ada Hamka di belakangnya. Demikian juga Hamka, saat menjadi imam, beliau membaca qunut karena ada Idham Chalid di belakangnya. (Abdillah Mubarak Nurin, Islam Agama Kasih Sayang, 86).

Jauh sebelum itu, Haji Raja Rosli bercerita bahwa pada tahun 1967, saat ia pergi naik haji, kebetulan satu kapal dengan Buya Hamka. Waktu itu hari Jum’at, Buya Hamka diminta oleh anak buah kapal melalu Rosli, jadi imam dan khatib. Buya menolak karena alasan musafir.

Akan tetapi, keinginan mereka untuk menjadikan Buya Hamka sebagai imam tidak surut. Pada waktu shalat Shubuh, Buya pun bersedia menjadi imam. Menariknya, pada rakaat kedua, pasca ruku’, beliau berdiri lama sekali.

Beliau terlihat diam tidak membaca qunut Shubuh. Rupanya, setelah shalat, Buya Hamka menjelaskan alasannya bahwa ia berdiri lama karena ingin memberi kesempatan kepada orang yang biasa qunut Shubuh untuk berqunut. Kisah ini bisa dibaca dalam majalah Panji Masyarakat No. 708 (XXXIV, 1992).

Kisah-kisah tersebut, menunjukkan betapa tolerannya Hamka dalam masalah perbedaan fiqih. Lain halnya kalau urusan yang prinsipil, maka secara tegas beliau menolak, walau harus melepas jabatan. Seperti kasus pengharaman menghadiri natal bersama pada era Soeharto. Ketika diminta untuk mencabut fatwa, beliau tidak mau, dan rela melepas jabatannya sebagai Ketua MUI. Demikian di antara contoh Hamka dan toleransi fiqih di Indonesia.

 

 

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *